Adat istiadat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan- aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, berisi tata cara dan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh pasang,an pengantin dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya se¬hingga peikawinan ini mendapat pengabsahan di masyarakat, tata cara, rangkaian adat istiadat perkawinan itu terangkai dalam suatu rentetan kegiatan upacara perkawinan.
Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku resmi yang dibakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia. Oleh sebab itu dalam setiap upacara perkawinan, kedua mempelai ditampilkan secara istimewa, dilengkapi dengan tatarias wajah, tatarias sanggul, serta tatarias busana yang lengkap dengan berbagai adapt istiadat sebelum perkawinan da sesudahnya.
Berikut ini akan diuraikan gambaran adat istiadat dan upacara perkawinan pada masyarakat Betawi.
Tujuan Perkawinan
Pada masyarakat dan budaya Betawi, beranggapan bahwa per¬kawinan mempunyai tujuan mulia yang wajib dipenuhi oleh setiap warga masyarakat yang sudah dewasa dan memenuhi syarat untuk itu. Orang Betawi yang mayoritasnya memeluk agama Islam, yakin bahwa perkawinan adalah salah satu sunnah (petun¬juk lewat perbuatan dan perkataan) Nabi Muhammad SAW bagi umatnya, sehingga dapat dipandang sebagai suatu perintah agama untuk melengkapi norma-norma kehidupan manusia sebagai mahluk sosial dan ciptaan Tuhan yang mulia.
Alasan keagamaan yang mereka kemukakan di atas, menye¬babkan orang Betawi beranggapan bahwa proses perkawinan harus dilakukan sebaik mungkin menurut ketentuan-ketentuan adat perkawinan yang sudah dilembagakan. Ketentuan-ketentuan adat perkawinan tersebut diberi nilai tradisi yang disakralkan, sehingga harus dipenuhi dengan sepenuh hati oleh warga masyarakat dari generasi ke generasi.
Ketentuan-ketentuan adat setempat memang masih cukup kuat pengaruhnya terhadap pola-pola kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga pergaulan muda-mudi pun berorientasi kepada norma-norma adat dan agama. Karena itu tidak heran kalau peranan orang tua masih cukup besar dalam menentukan pemilihan jodoh dan perkawinan bagi anak-anak mereka.
Di bawah ini akan digambarkan secara ringkas bagaimana nilai-nilai budaya diaktifkan dalam berbagai gejala kehidupan sosial budaya masyarakat Betawi, terutama dalam masalah perkawinan dan hubungan kawin.
Perkenalan
Perkenalan adalah suatu saat di mana kedua remaja itu saling tertarik satu dengan yang lainnya. Begitu seorang anak tumbuh menjadi seorang pemuda atau gadis remaja, orang tua mereka su¬dah bersiap-siap mencarikan jodoh yang sesuai dengan kedudukan dan martabat keluarga mereka. Dahulu, perkenalan biasanya melalui perantaraan seorang kerabat atau yang dituakan; pada masa sekarang perkenalan dengan usaha sendiri hanyak dilakukan. Setiap muda mudi boleh dikatakan mencari jodohnya sendiri, orang tua hanya memberi putusan terakhir atas pilihan teman hidup anak-anak mereka.
Jika ternyata kedua remaja itu memang sudah saling men¬cintai, maka dapat dilanjutkan dengan acara pertunangan. Sebelum proses menuju pertunangan, kedua remaja segera memberitahukan kepada orang tua mereka masing-masing. Masa perkenalan sampai saat-saat sebelum pertunangan atau perkawinan dikenal dengan istilah "masa besukaan" atau "masa demenan".. Ada juga yang menyebut dengan istilah, "ngelancong". Cara ngelancong yang baik adalah membawakan sekedar buah tangan, teman minum kopi untuk orang tua si gadis.
Persetujuan kedua belah pihak si gadis dan si pemuda secara resmi diikrarkan dalam sebuah ikatan pertunangan. Pertunangan secara resmi ditandai dengan pemberian sesuatu (bisa dalam ben¬tuk uang atau barang), sebagai pengikat dan bukti kesungguhan kedua belah pihak. Upacara pertunangan ini hanya dihadiri oleh kedua belah pihak, beberapa wakil dan keluarga, satu atau dua tokoh informal dalam masyarakat.
Ikatan pertunangan ini, biasa ditandai dengan memakai cincin di jari manis sebelah kiri kedua belah pihak si gadis dan si pemu¬da. Semenjak itu, maka si gadis dan si pemuda tidak diijinkan lagi menjalin hubungan dengan pemuda/gadis lain. Jika si gadis akan bepergian ke tempat lain, maka ia harus meminta persetujuan dari pemuda tunangannya, begitu pula sebaliknya.
Peranan orang tua kedua belah pihak menjadi penting sekali dalam menjaga masa pertunangan yang dianggap kritis ini. Keselamatan mereka harus tetap dijaga sebaik mungkin sampai selamat ke gerbang perkawinan. Soal waktu pertunangan sampai saat per¬kawinan tidak tentu, adakalanya enam bulan atau lebih singkat biasanya tidak lebih dan dua tahun.
Syarat- Syarat Perkawinan
Perkawinan sebagai salah satu pranata sosial meliputi sejum¬lah norma yang mengatur perkawinan itu, termasuk syarat-syarat untuk kawin menurut adat. Yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan menurut adat, adalah usaha-usaha tertentu yang harus diPenuhi oleh kedua helah pihak, agar ikatan perkawinan sah dan diakui masyarakat_ Selama syarat-syarat ini belum dipenuhi, per¬kawinan Itu dianggap tidak sah dan tidak diakui oleh masyarakat. Jadi, betapapun berat syarat-syaratnya, kedua belah pihak akan tetap memenuhinya sebagaimana yang akan diadatkan.
Umur Perkawinan
Pada setiap perkawinan secara adat, umur calon pengantin ti¬dak menjadi syarat perkawinan yang harus dipenuhi. Adat perka¬winan tidak menetapkan ketentuan umur berapa sebaiknya sese¬orang dapat melangsungkan perkawinan. Dalam menentukan umur, seorang wanita sudah boleh menikah jika si gadis telah mendapat haid. walaupun tingkah lakunya masih kanak-kanakan. Demikian juga bagi seorang laki-laki, apabila perkembangan fisiknya telah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia adalah seorang laki-laki dewasa atau perjaka, maka pemuda tersebut telah dianggap matang dan siap untuk kawin. Jadi, pada masyarakat Betawi, perkawinan dalam usia demikian itu dianggap wajar dan baik.
Pada masa sekarang, anggapan-anggapan tentang umur perka¬winan seperti yang telah dijelaskan di atas, umur perkawinan yang demikian dianggap sebagai perkawinan muda dan dianggap kurang baik. Dan beberapa keterangan yang diperoleh menyatakan bahwa perkawinan yang diharapkan pada seorang anak perempuan adalah antara 17-20 tahun, dan untuk laki-laki sebaiknya berumur antara 22-25 tahun,. Umur demikian dianggap sudah matang dan siap untuk berumah tangga.
Mas kawin dan Serahan
Penyerahan mas kawin, biasa dilakukan sebelum upacara akad nikah dilaksanakan, dibawa oleh pihak laki-laki, biasanya berupa uang tunai, perhiasan emas, atau seperangkat alat sembahyang dengan kitab suci Al Quran, disimpan di atas sebuah nampan.
Acara serahan, biasa dilaksanakan beberapa hari sebelum pesta perkawinan, yaitu mengatur sejumlah harta benda, diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan yang biasanya berupa perhiasan, uang, dan peralatan rumah tangga seperti: tempat tidur, lemari, peralat¬an dapur, dan sebagainya. Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon mempelai laki-laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat melihatnya. Jumlah mas kawin dan serahan ti¬dak ditentukan jumlahnya, tetapi semakin besar jumlah mas ka¬winnya, derajat pihak keluarga calon mempelai laki-laki pun makin tinggi.
Ngelamar
Gadis Betawi yang sederhana biasanya akan menikah pada usia sekitar 16-17 tahun. Sedangkan pemuda Betawi pada usia sekitar 22-24 tahun. Ikatan batin antara sepasang muda-mudi yang telah erat terjalin dalam proses "demenan" atau "ngelancong", akan berlanjut, di mana sang pemuda memberitahukan kepada pihak orang tuanya agar pergi melamar gadis idamannya. Jadi, lamaran atau pinangan pada masyarakat Betawi dilakukan oleh pihak laki¬-laki kepada pihak perempuan.
Pelaksanaan peminangan ini dilakukan berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Biasanya dilakukan pada siang hari. Pihak keluarga wanita biasa menyiapkan jamuan makan dan minum un¬tuk menyambut kadatangan keluarga yang akan bermaksud mela¬mar anak gadisnya.
Memastikan seorang gadis sebagai calon mempelai ditandai de¬ngan upacara "nentuin", yaitu orang tua calon mempelai laki-¬laki bersama teman-teman dan keluarganya yang berjumlah 10 hingga 15 orang, datang ke tempat orang tua calon mempelai wanita. Mereka datang membawa makanan seperti gula, kopi, dodol, uli, wajik, pisang nanas, dan lain-lain. Pada saat itu, orang tua pihak calon mempelai laki-laki sudah memastikan calon gadis yang akan dilamar.
Acara dilanjutkan dengan acara "adat melamar" yang disertai acara "nyerahi duit''. Sebelumnya pihak calon mempelai laki-laki sudah harus mengetahui apakah pihak tuan rumah akan bicara sendiri atau diwakilkan kepada seorang wakil dalam upacara lamaran ini. Hal ini perlu diketahui sebelumnya, karena bila pihak calon mempelai wanita menggunakan wakil, maka pihak pria akan menggunakan wakil pula. Dengan atau tanpa wakil uang yang di¬berikan oleh pihak laki-laki akan diterima oleh calon mempelai wanita.
Pada kesempatan ini dijelaskan kalau terjadi perceraian, sementara kesalahan ada di pihak wanita, maka ia harus mengembalikan jumlah uang tersebut sebanyak dua kali lipat. Sedangkan bila ke¬salahan ada pada pihak laki-laki, ia hanya menerima salah saja.
Dalam acara ini juga dilaksanakan acara ''kudangan'', yaitu orang tua si gadis yang ditujukan bagi anak gadisnya. Permintaan ini biasanya menyangkut suatu keinginan anak gadis, misalnya keinginan untuk memakai perhiasan. Dalam hal ini ayah si gadis biasanya akan berkata,
"Nanti kalo udah besar, baek bicara lu, ada jodoh lu, gue kudangin kalung emas".
Berat ringannya kudangan selalu dipenuhi dan merupakan tang¬gungan laki-laki, dan pihak laki-laki akan berusaha keras untuk memenuhi kudangan tersebut. Kudangan harus dipenuhi, karena sebenarnya kudangan adalah keinginan istri yang akan mengan¬dung dan melahirkan anak.. Dengan demikian, sudah seharusnya kalau kudangan ini dipenuhi.
Setelah tanda lamaran diterima, tahap ini biasanya ditandai dengan saling mengantarkan makanan oleh kedua belah pihak.
Pelaksanaan Upacara Perkawinan Upacara Serahan
Upacara Serahan biasa dilaksanakan di rumah kediaman pihak mempelai wanita. Waktunya ditentukan pada waktu acara mela¬mar. Acara serahan dilaksanakan sehari sebelum hari perkawinan, waktunya pagi hari, kadangkala dilaksanakan juga sore hari. Pada acara serahan ini, pihak mempelai laki-laki datang membawa barang-barang tertentu dan sejumlah uang, istilahnya "bantu hajatan".
Pada acara serahan ini, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita mengundang para kerabatnya. Pihak wanita yang mene¬rima serahan tersebut terdiri dari kedua orang tuanya, nenek atau kakeknya dan kerabat dekat lainnya. Barang serahan terdiri dari : uang (tidak ditentukan jumlahnya, tergantung pada kemampuan), peralatan rumah tangga, tempat tidur, lemari, peralatan dapur, dan juga beberapa macam kue-kue yang dihias dan diletakkan di atas nampan.
Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon mempelai laki-¬laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat melihatnya dan mengetahui barang-barang apa saja yang dibawa¬nya, semakin banyak barang bawaannya, maka pihak calon mem¬pelai laki-laki akan semakin meningkat pula deraiatnya di mata masyarakatnya.
Dalam kesempatan ini secara tidak resmi juga pihak mempelai laki-laki membantu siempunya hajat dengan mengantar bahan-bahan yang diperlukan untuk kepentingan pesta, seperti misalnya: beras, ayam, daging, sayuran, bumbu, dan lain-lain.
Sementara itu pihak mempelai wanita mengurus pelaksanaannya. Kerabat mempelai wanita datang untuk membantu memasak, bahkan mereka yang tinggal jauh di tempat lain, dalam kesempatan seperti ini biasanya akan datang dan menginap untuk memBantu.
Kedatangan rombongan pihak mempelai laki-laki pada acara serahan ini disambut dengan ramah tamah oleh pihak keluarga mempelai wanita. Setelah barang-barang bawaan diserahkan, dilanjutkan dengan acara pengajian oleh sekelompok ibu-ibu pengajian yang terdiri dari 10 sampai 15 orang. Setelah selesai acara ini, tamu-tamu disuguhi makanan dan kue-kue. Tamu dari pihak laki-laki kembali ke rumah masing-masing, dan bersiap¬siap untuk keesokan harinya guna menghadiri upacara akad nikah.
Pesta Perkawinan
Pesta perkawinan dilaksanakan setelah selesai upacara "akad nikah". Upacara akad nikah ini biasanya dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Waktu pelaksanaan akad nikah biasanya diten¬tukan dengan perhitungan orang-orang tua, dengan maksud supaya selamat, agar segalanya berjalan dengan lancar, dan baik. Upacara ini biasa dilakukan pada pagi hari. Ada juga yang melaksanakan akad nikah di masjid.
Pada waktu yang telah ditentukan, mempelai laki-laki dibawa dalam sebuah prosesi adat ke rumah mempelai wanita untuk melaksanakan upacara akad nikah. Dalam prosesi itu mempelai laki-laki diiringkan oleh para kerabat dekatnya, teman-teman, kedua orang tuanya, para tokoh adat, dan lain-lain. Untuk mengawal mempelai wanita disiapkan pula dua orang pengiring gadis-gadis cilik.
Di belakang pengantin laki-laki berjalan para pengiring yang diiringi dengan musik terompet atau "rebana ketimpring". Pengantin laki-laki membawa seikat kembang yang akan diserahkan nanti kepada pengantin wanita. Pengantin laki-laki ini berjalan sambil dipayungi oleh seorang anak muda. Para pengiringnya membawa bendera yang terbuat dari kertas warna-warni.
Pengantin laki-laki mengenakan busana adat pengantin Betawi, yaitu berupa "pakaian haji" dan "alpiah" (peci), lengkap dengan perhiasannya yang diatur oleh juru rias. Pengantin wanita memakai busana adat Betawi, berupa baju kurung yang mengkilap dan memakai perhiasan lengkap dengan hiasan mahkota yang berjum¬bai.
Sebelum rombongan pengantin laki-laki berangkat menuju rumah pengantin wanita, biasa diadakan jamuan alakadarnya kepada semua yang akan ikut mengantarkan pengantin. Dengan diawali ucapan "Bismillaahirrakhmaanirrakhim", maka berangkat¬lah rombongan menuju rumah calon mempelai wanita, dengan diawali juga dengan bunyi mercon. Mercon ini dibunyikan lagi tatkala rombongan ini tiba di rumah mempelai wanita.
Setibanya di rumah mempelai wanita, dan para tamu telah duduk di tempat yang telah disediakan, maka seseorang yang ber¬tindak sebagai wakil rombongan pengantin laki-laki memberikan salam dengan ucapan "Assalaamualaikum". Salam disambut oleh pihak pengantin wanita dengan ucapan "Waalaikumsallam". Selesai bersalaman, pengantin laki-laki duduk di atas "taman", (puade) di mana telah duduk pengantin wanita, dan mereka duduk bersanding.
Tempat duduk pengantin dan perlengkapannya dikenal dengan nama "taman". Dalam pelaksanaan akad nikah ini, pengantin pria didampingi oleh kedua orang tuanya. Demikian pula pengantin wanita di¬dampingi oleh kedua orang tuanya yang sekaligus bertindak sebagai wali yang mensahkan perkawinan
Upacara akad nikah dipimpin oleh seorang penghulu, dan di¬awali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran. Kemudian di¬sampaikan pidato sambutan dari penghulu yang menjelaskan tentang maksud-maksud upacara. Pidato ini biasanya di sertai juga dengan pemberian nasihat dan petunjuk-petunjuk mengenai hidup bersuami istri yang patut ditiru oleh kedua mempelai.
Selanjutnya dilakanakan upacara sesuai dengan ketentuan akad nikah menurut ajaran Islam. Jika akad nikah sudah selesai dibacakan oleh pengantin pria, maka dibacakanlah doa selamat oleh penghulu diikuti bersama-sama oleh para tamu dan kerabat yang hadir. Mas kawin biasa berupa uang tunai atau seperangkat alat sembahyang lengkap dengan kitab suci Al Quran diserahkan setelah selesai upacara akad nikah. Pada kesempatan ini pihak mempelai wanita mengajukan wakilnya untuk menjelaskan kepada para tamu yang hadir, bahwa mas kawin dan uang serta barang serahan telah diterima, dengan demikian menantu pun diterima.
Acara selanjutnya, pengantin laki-laki bersujud kepada kedua mertuanya serta kedua orang tuanya. Kemudian diikuti oleh pengantin wanita yang juga bersujud kepada mertua dan kedua orang tuanya. Dalam acara ini biasanya diiringi dengan tangis kedua pengantin maupun kedua orang tuanya. Tangisan ini biasa¬nya merupakan tangis haru, di mana masa remaja telah dilalui dan mulai dengan menempuh hidup baru.
Sebelum acara pemberian selamat kepada kedua mempelai dan menikmati hidangan, biasanya terlebih dahulu dibunyikan mercon, pertanda acara yang dianggap sakral telah selesai. Sampai di sini, tugas penghulu dianggap telah selesai, dan ia pun biasanya segera meninggalkan tempat upacara.
Kedua mempelai duduk bersanding di atas "taman" atau "puade", didampingi oleh gadis cilik sebagai pendamping dalam busana adat, serta orang tua kedua belah pihak. Kemudian kedua mempelai menerima ucapan selamat dari para tamu. Para tamu yang terdiri dari para kerabat, teman dan handai taulan berdatangan memberikan selamat dengan cara menjabat tangan kedua mempelai serta kedua orang tuanya. Setelah itu mereka menikmati hidangan yang telah disediakan.
Dalam pesta perkawinan ini, ada hal yang menarik, di mana mempelai wanita sering kelihatan duduk di atas "taman" ditemani oleh para teman wanitanya yang sebaya. Sebaliknya, pengantin Iaki-laki tampaknya lebih bebas bergerak, kadangkala ia berada di tengah-tengah para undangan bersama kawan-kawannya, di muka panggung, atau bergabung dengan para tamu.
Pada malam harinya biasa dimeriahkan dengan kesenian, seporn lenong, topeng, tanjidor, gambang kromong, cokek, wayang kulit, dan sebagainya.
Adat Menetap Setelah Menikah
Yang dimaksud dengan adapt menetap sesudah menikah adalah pola menetap di lingkungan mana pengantin baru bertempat tinggal. Ada yang menetapkan bahwa pengantin baru harus mene¬tap di lingkungan pihak wanita atau harus menetap di pihak laki-laki. Bahkan norma-norma adat memberi kebebasan memilih di lingkungan mana pengantin baru hendak menetap. Ada ber¬macam-macam bentuk adat menetap sesudah menikah yang di¬kenal oleh masyarakat dan kebudayaan di dunia (Koentjaraning¬rat, 1967 : 97-98). Dalam masyarakat dan kebudayaan tertentu, adat menetap sesudah menikah dianggap sangat penting sebab adat menetap sesudah menikah biasanya berhubungan erat dengan prinsip garis keturunan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, sehingga pengantin baru serta keturunannya dapat dipengaruhi oleh lingkungan mereka bertempat tinggal.
Dalam masyarakat dan kebudayaan Betawi, adat tidak me¬nentukan di lingkungan mana pengantin baru itu harus tinggal menetap. Pengantin baru diberi kebebasan memilih di mana mereka akan tinggal menetap. Dalam hal ini pengantin baru boleh memilih apakah mereka akan menetap di lingkungan suami atau di lingkungan keluarga istri. Pola menetap sesudah menikah seperti ini dikenal sebagai adat menetap yang ambilokal atau kadang-¬kadang disebut juga utrolokal. Ada juga pengantin baru yang lebih suka tinggal di tempat lain yang tak ada hubungannya dengan lingkungan keluarga masing-masing pihak. Pola menetap seperti ini dikenal sebagai adat neolokal (Koentjaraningrat,1967 : 97-98).
Walaupun pada masyarakat dan kebudayaan Betawi berlaku Pola menetap yang ambilokal/utrolokal, tetapi ada kecenderung¬an pada pola menetap yang matrilokal/unorilokal. Artinya, pe¬ngantin baru cenderung untuk tinggal menetap di sekitar ling¬kungan keluarga istri.
Sangatlah ideal bagi pengantin baru bila mereka dapat segera menetap di tempat kediaman mereka yang baru. Akan tetapi mengingat biaya, hal ini hampir tidak mungkin dijalankan. Untuk itu pasangan pengantin baru biasanya tinggal di rumah orang tua salah satu pihak yang mampu dan mau menerima mereka. Meski¬pun demikian, orang lebih suka kalau pengantin baru tinggal di rumah orang tua laki-laki, untuk kemudian biasanya setelah lahir anak pertama, dengan bantuan orang tua mereka, mereka pindah ke rumah sendiri.
Tags
Budaya