Kisah Legenda Cupu Linggamanik

BATARA GURU MEMBANGUN KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA

 Di Kahyangan Argadumilah, Batara Guru bersama para putra, yaitu Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu sedang membicarakan berita meninggalnya Nabi Isa yang kemudian dibangkitkan kembali dan diangkat naik ke Surga. Tak terasa sudah lima belas tahun para dewata berkahyangan di Pulau Jawa, dan inilah saatnya untuk kembali lagi ke Pegunungan Himalaya.

Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun memimpin perjalanan para dewata kembali menuju Gunung Tengguru. Kahyangan Argadumilah di Gunung Mahendra seketika menjadi kosong tak berpenghuni setelah kepergian mereka.



Sesampainya di Pegunungan Himalaya, para dewata sangat prihatin melihat keadaan Kahyangan Tengguru yang porak poranda akibat serangan burung dara berbisa ciptaan Nabi Isa dulu. Batara Guru berpendapat, kahyangan yang sudah rusak sebaiknya tidak ditempati lagi. Ia kemudian terbang ke angkasa untuk melihat ke sekeliling Pegunungan Himalaya. Akhirnya, pilihan pun jatuh kepada sebuah gunung bernama Gunung Kailasa.

Batara Guru lalu membangun kahyangan baru di atas Gunung Kailasa tersebut. Balai Marcukunda dan Balai Marakata ditempatkan di dalamnya, serta dibangun pula sepasang pintu gerbang bernama Kori Selamatangkep yang bisa membuka dan menutup sendiri tergantung tamu yang datang berniat baik ataukah buruk.

Kahyangan baru tersebut akhirnya selesai dibangun dan diberi nama Kahyangan Jonggringsalaka, karena memancarkan sinar putih keperakan. Para dewa juga membangun kahyangan pribadi sebagai tempat tinggal masing-masing.

Batara Sambu tinggal di Kahyangan Suwelagringging, Batara Brahma tinggal di Kahyangan Duksinageni, Batara Indra tinggal di Kahyangan Karang Kaindran, Batara Bayu tinggal di Kahyangan Swargapanglawung, Batara Wisnu tinggal di Kahyangan Utarasegara, Batara Yamadipati tinggal di Kahyangan Yamaniloka, Batara Kamajaya tinggal di Kahyangan Cakrakembang, dan masih banyak lagi yang lainnya.

PARA DEWA BERTEMU MAHARESI KANEKAPUTRA

 Beberapa tahun kemudian Batara Guru melihat adanya sinar teja atau pelangi tegak lurus di sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Ia pun memerintahkan para putra untuk menyelidiki asal-usul sinar teja tersebut. Batara Sambu lalu berangkat bersama keempat adiknya.

Para dewa itu terbang menuju selatan dan akhirnya sampai di Samudera Hindia. Mereka melihat seorang laki-laki bertapa dengan duduk samadi di atas ombak laut sambil tangannya menggenggam sebuah cupu yang bersinar indah. Batara Sambu dan yang lain pun membangunkan laki-laki itu dan menanyakan apa maksud dan tujuannya bertapa.

Laki-laki itu mengaku bernama Maharesi Kanekaputra yang bertapa ingin menjadi penasihat raja dewa. Batara Sambu dan para adik pun menertawakannya, kecuali Batara Wisnu yang memiliki firasat kalau laki-laki ini benar-benar memiliki kesaktian dan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi.

Maharesi Kanekaputra tidak peduli dan kembali bertapa. Batara Sambu merasa diacuhkan, dan ia pun memerintahkan para adik untuk membangunkan petapa itu dengan paksa. Tiba-tiba saja tubuh Maharesi Kanekaputra mengeluarkan tenaga dahsyat yang mendorong para dewa itu terlempar kembali ke utara, kecuali Batara Wisnu yang sejak awal tidak ikut mengganggunya. Batara Wisnu mohon pamit dengan hormat lalu melesat menyusul kakak-kakaknya.

BATARA GURU MENGHADAPI MAHARESI KANEKAPUTRA

 Batara Guru datang menemui Maharesi Kanekaputra setelah mendapat laporan kekalahan putra-putranya. Batara Guru sangat heran mengapa ada seorang maharesi yang bertapa ingin menjadi penasihat kahyangan. Maka, selaku raja dewa ia pun mengajukan beberapa pertanyaan untuk menguji ilmu pengetahuan petapa tersebut.

Maharesi Kanekaputra menjawab setiap pertanyaan Batara Guru dengan gaya bercanda, namun setiap jawabannya selalu benar. Batara Guru merasa kagum sekaligus kesal melihat Maharesi Kanekaputra yang tingkah lakunya seperti pelawak itu. Maka, ia pun tak kuasa menahan diri dan menyebut lawan bicaranya itu seperti badut.

Ucapan tersebut disertai Aji Kawastrawam sehingga wujud Maharesi Kanekaputra dalam sekejap berubah bentuk menjadi laki-laki bertubuh pendek dan gemuk seperti badut, dengan wajah lucu yang selalu mendongak ke atas.

Batara Guru menyesali ucapannya namun semuanya sudah terlambat. Ia kemudian menelusuri asal-usul Maharesi Kanekaputra yang tidak lain adalah kakak sepupunya sendiri, yaitu putra Sanghyang Caturkaneka, atau cucu Sanghyang Darmajaka.

Batara Guru pun memohon maaf dan mengabulkan keinginan Maharesi Kanekaputra menjadi penasihat kahyangan, karena selama ini ia sering berbuat khilaf karena terlalu berkuasa tanpa ada yang mengendalikan. Maharesi Kanekaputra menerima permohonan tersebut, dan ia pun memakai nama Batara Narada.

Sejak saat itu Batara Narada menjadi penasihat Batara Guru, dan ia mendapatkan Kahyangan Sidiudal-udal sebagai tempat tinggal. Ia juga menyerahkan Cupu Linggamanik yang selalu digenggamnya sewaktu bertapa kepada Batara Guru sebagai pelengkap pusaka Kahyangan Jonggringsalaka. Cupu Linggamanik tersebut adalah pemberian ayahnya, yaitu Sanghyang Caturkaneka yang berisikan air Tirta Mayahadi.

BATARA ANANTABOGA DAN BATARA BASUKI

Pada suatu hari Cupu Linggamanik tiba-tiba terbang sendiri meninggalkan ruang pusaka Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru memerintahkan para dewa untuk mencari ke mana hilangnya cupu pusaka tersebut.

Cupu Linggamanik ternyata masuk ke Kahyangan Saptapretala di dasar bumi dan ditemukan oleh seekor naga yang sedang bertapa. Naga itu bernama Adisesa yang langsung menangkap cupu pusaka tersebut dengan mulutnya.

Para dewa datang dan menuduh Naga Adisesa telah mencuri Cupu Linggamanik. Naga Adisesa tidak terima dan terjadilah pertempuran. Tidak lama kemudian muncul adik Naga Adisesa bernama Naga Basuki yang segera membantu sang kakak. Para dewa terdesak kewalahan dan akhirnya kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melaporkan apa yang terjadi.

Batara Guru dan Batara Narada kemudian datang ke Kahyangan Saptapratala untuk menanyai Naga Adisesa dan Naga Basuki secara baik-baik. Ternyata Batara Guru dapat menebak asal-usul kedua naga tersebut yang terhitung masih kerabat sendiri. Ayah Batara Guru yaitu Sanghyang Tunggal memiliki adik perempuan bernama Dewi Suyati yang menikah dengan jin berwujud naga bernama Anantawasesa. 

Dari perkawinan itu lahir dua ekor naga bernama Anantaswara dan Anantadewa. Anantaswara memiliki anak perempuan bernama Dewi Basu, sedangkan Anantadewa memiliki putra bernama Anantanaga. Anantanaga dan Dewi Basu kemudian dinikahkan, sehingga lahir dua ekor naga bernama Adisesa dan Basuki tersebut.

Karena Batara Guru datang secara baik-baik, Naga Adisesa pun menyerahkan Cupu Linggamanik dengan cara yang baik pula. Sebagai rasa terima kasih, Naga Adisesa dan Naga Basuki diangkat menjadi dewa dan masing-masing diberi gelar Batara Anantaboga dan Batara Basuki. Batara Anantaboga ditunjuk sebagai pemimpin para ular yang hidup di darat, sedangkan Batara Basuki menjadi pemimpin para ular yang hidup di air.

Setelah dirasa cukup, Batara Guru dan Batara Narada pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka dengan membawa Cupu Linggamanik.

KELAHIRAN BAYI DARI BUAH RANTI

Sejak kepergian Batari Uma menjadi Batari Durga yang tinggal di Kahyangan Setragandamayit, Batara Guru merasa kesepian dan kehilangan rekan untuk dimintai pertimbangan. Ia pun meminta kepada mertuanya, yaitu Saudagar Umaran untuk dicarikan istri yang wajahnya mirip dengan Batari Uma. Saudagar Umaran tidak tahu bagaimana caranya, namun ia juga tidak berani menolak permintaan sang raja dewata.

Saudagar Umaran kemudian pulang ke Kerajaan Merut dan bersamadi di kebun buah ranti di pekarangan istananya. Setelah beberapa lama, tapa brata Saudagar Umaran tersebut akhirnya dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.

Tiba-tiba saja ada sebutir buah ranti yang membesar ukurannya sedikit demi sedikit. Saudagar Umaran lalu membuka buah ranti berukuran besar tersebut, ternyata di dalamnya berisikan seorang bayi.

Akan tetapi, bayi ajaib itu tiba-tiba terbang melesat ke arah timur. Saudagar Umaran pun bergegas mengejar ke mana perginya. Ternyata bayi itu melayang-layang memasuki Kahyangan Jonggringsalaka dan membuat suasana menjadi gempar.



Para dewa berusaha menangkapnya namun tidak ada yang mampu. Saudagar Umaran datang melapor kepada Batara Guru bahwa bayi itu adalah bayi ajaib yang tercipta dari dalam buah ranti di pekarangan istananya.

Batara Guru pun turun tangan berusaha ikut menangkap si bayi namun selalu gagal. Ia merasa sangat kesal dan berkata andai saja dirinya memiliki empat lengan, tentu bisa menangkap bayi tersebut. Seketika ucapan yang disertai Aji Kawastrawam itu menjadi kenyataan.

Tiba-tiba saja lengan Batara Guru berubah menjadi empat. Tanpa pikir lagi, ia pun melesat dan berhasil menangkap kedua tangan dan kedua kaki si bayi menggunakan keempat lengannya itu.

BATARA GURU MENIKAHI BATARI UMARANTI

Batara Guru mengamati wujud si bayi ajaib yang ternyata memiliki kelamin ganda. Ia lalu meruwat bayi tersebut menggunakan siraman air Tirta Mayahadi dalam Cupu Linggamanik, sehingga kelamin laki-laki pada si bayi musnah dan yang tertinggal hanya kelamin perempuan saja. Batara Guru lalu menyiramkan Tirta Mayahadi untuk yang kedua kalinya. Secara ajaib, bayi itu langsung berubah menjadi perempuan dewasa seketika.

Batara Guru dan Saudagar Umaran sangat gembira karena wajah perempuan tersebut sama persis dengan Batari Uma. Batara Guru juga berkenan menjadikannya sebagai istri sebagai pengganti Batari Uma. Perempuan itu lalu diberi nama Batari Umaranti, karena tercipta dari buah ranti.

Pernikahan antara Batara Guru dengan Batari Umaranti akhirnya dikaruniai tiga orang putra, yaitu Batara Mahadewa, Batara Cakra, dan Batara Asmara.

Sumber

Post a Comment

Previous Post Next Post

AdSense

Contact Form