Prabu Pandu Dewanata di Kerajaan Hastina sedang memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma, Adipati Dretarastra, Raden Yamawidura, Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Suman.
Mereka sedang membicarakan putra kedua Prabu Pandu, yaitu Raden Bima yang sejak lahir ke dunia berada dalam bungkus dan diletakkan di Hutan Mandalasana. Tak terasa kini sudah memasuki tahun keempat belas sejak peristiwa kelahiran tersebut terjadi.
RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA DITUGASI MENJEMPUT RADEN BIMA
Hari demi hari Prabu Pandu menunggui kapan kiranya Pandawa nomor dua tersebut dapat keluar dari dalam selaput yang selama ini membungkusnya. Sebenarnya ia sudah beberapa kali mencoba untuk membuka bungkus tersebut. Namun, tiada satu pun senjata yang mampu merobek selaput pembungkus Raden Bima.
Hingga akhirnya, tadi malam Prabu Pandu mendapat petunjuk dewa bahwa putra keduanya itu akan segera keluar dari dalam bungkus. Ia pun berniat pergi ke Hutan Mandalasana untuk menyaksikan detik-detik keluarnya Raden Bima dan menjemputnya pulang ke istana.
Arya Suman satria Plasajenar maju menyampaikan usulan, bahwa akan lebih baik jika Prabu Pandu tetap berada di istana untuk mempersiapkan upacara penyambutan Raden Bima. Urusan menjemput kepulangan Raden Bima cukup diserahkan kepada para punggawa saja.
Dalam hal ini ia siap melaksanakan tugas penjemputan tersebut. Adipati Dretarastra membenarkan usulan Arya Suman dan ia pun ikut menyarankan agar Prabu Pandu menugasi salah seorang di sini untuk pergi ke Hutan Mandalasana.
Prabu Pandu menimbang-nimbang usulan Arya Suman dan Adipati Dretarastra tersebut. Ia akhirnya menyerahkan tugas penjemputan tersebut kepada adiknya, yaitu Raden Yamawidura dengan ditemani Patih Gandamana. Bagaimanapun juga tugas menjemput kedatangan sang putra kedua akan lebih baik diserahkan kepada anggota keluarga, bukan kepada punggawa biasa.
Menerima tugas tersebut, Raden Yamawidura dan Patih Gandamana menyatakan sanggup. Mereka lalu mohon pamit meninggalkan istana. Setelah dirasa cukup, Prabu Pandu pun membubarkan pertemuan. Ia kemudian masuk ke dalam kedaton di mana Dewi Kunti dan Dewi Madrim telah menunggu di gapura.
ARYA SUMAN MENDAHULUI KEPERGIAN RADEN YAMAWIDURA
Arya Suman merasa kesal karena Prabu Pandu tidak memercayai dirinya untuk melaksanakan tugas menjemput kepulangan Raden Bima. Sebenarnya, ia sudah merencanakan pembunuhan terhadap putra dalam bungkus tersebut, karena ia yakin bahwa Pandawa nomor dua ini akan menjadi batu sandungan bagi kemuliaan anak-anak Adipati Dretarastra, atau yang disebut para Kurawa.
Karena tidak mendapat izin dari Prabu Pandu, maka Arya Suman pun menjalankan rencana kedua, yaitu mengirim pasukan dari Kerajaan Gandaradesa yang dipimpin adiknya, bernama Aryaprabu Sarabasanta untuk membunuh Raden Bima bungkus. Adapun adiknya yang lain, yaitu Aryaprabu Anggajaksa ditugasi untuk menghambat perjalanan Raden Yamawidura dan Patih Gandamana agar tidak mencapai Hutan Mandalasana tepat waktu.
Begitu mendapat perintah dari sang kakak, Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta segera membagi pasukan Gandaradesa menjadi dua. Pasukan yang pertama berangkat bersama Aryaprabu Sarabasanta menuju ke Hutan Mandalasana, sedangkan pasukan yang kedua bersama Aryaprabu Anggajaksa menghadang perjalanan Raden Yamawidura dan Patih Gandamana.
Setelah kedua adiknya berangkat, Arya Suman lantas mengajak kedua keponakannya, yaitu Raden Suyudana dan Raden Dursasana untuk mengamati dari kejauhan. Kurawa nomor satu dan nomor dua itu pun bertanya mengapa sepupu mereka, yaitu Raden Bima harus dibunuh.
Arya Suman menjawab bahwa putra Prabu Pandu dalam bungkus tersebut harus disingkirkan kerena bisa menjadi penghalang bagi Raden Suyudana untuk mendapatkan takhta Kerajaan Hastina. Sejak kecil, para Kurawa terutama Raden Suyudana memang telah dihasut Arya Suman untuk selalu membenci putra-putra Prabu Pandu, serta menganggap mereka sebagai musuh yang harus disingkirkan.
Setelah mendapat penjelasan demikian, Raden Dursasana hanya tertawa-tawa sedangkan Raden Suyudana tampak masih bimbang. Arya Suman tidak mau membuang-buang waktu. Ia pun memerintahkan kedua keponakannya itu untuk segera naik kuda, lalu mereka pun bersama-sama mengikuti pasukan Gandaradesa yang menuju Hutan Mandalasana.
ARYAPRABU ANGGAJAKSA MENGHADANG RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA
Aryaprabu Anggajaksa bersama pasukannya mengenakan topeng supaya tidak dikenali oleh Raden Yamawidura dan Patih Gandamana. Mereka pun menghadang perjalanan kedua orang itu agar tidak dapat mencapai Hutan Mandalasana tepat waktu.
Karena dihadang secara tiba-tiba oleh kawanan manusia bertopeng, Patih Gandamana dan Raden Yamawidura segera membela diri. Patih Gandamana seorang diri bertarung melawan para prajurit Gandaradesa, sedangkan Raden Yamawidura menghadapi Aryaprabu Anggajaksa.
Setelah bertempur agak lama, Patih Gandamana dan Raden Yamawidura akhirnya berhasil memukul mundur pasukan dari Gandaradesa tersebut. Setelah pihak musuh melarikan diri, Raden Yamawidura pun mengajak Patih Gandamana melanjutkan perjalanan.
ARYAPRABU SARABASANTA DITERJANG SI BUNGKUS
Sementara itu, Aryaprabu Sarabasanta dan pasukannya telah sampai di Hutan Mandalasana. Mereka melihat si bungkus tampak mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas, sambil sesekali terdengar suara menggeram seperti singa dari dalam benda itu. Tanpa banyak bicara, mereka pun segera menghujani si bungkus dengan berbagai macam senjata.
Namun demikian, tidak ada satu pun senjata mereka yang mampu merobek selaput pembungkus Raden Bima. Justru sebaliknya, Raden Bima bungkus tiba-tiba bergerak menggelinding menghantam orang-orang Gandaradesa suruhan Arya Suman tersebut.
Aryaprabu Sarabasanta beserta pasukannya kelabakan menghadapi terjangan si bungkus. Mereka kalang kabut berhamburan, bagaikan dihantam batu besar yang menggelinding ke sana kemari. Tidak hanya itu, si bungkus ternyata mampu mengeluarkan angin topan yang membuat orang-orang Gandaradesa itu terhempas jauh keluar dari Hutan Mandalasana.
Arya Suman, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana merasa ngeri melihat pemandangan ini. Mereka pun bergegas pergi dan menunda rencana membunuh Raden Bima sampai kelak jika sudah keluar dari bungkusnya saja.
BATARA BAYU DAN GAJAH SENA MENDAPAT TUGAS MERUWAT SI BUNGKUS
Sementara itu di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dan Batara Narada sedang membahas tentang Pandawa nomor dua, yaitu Raden Bima yang sudah saatnya keluar dari dalam bungkus. Sudah empat belas tahun lamanya Raden Bima bertapa di dalam bungkus dan kini ia akan keluar menjadi kesatria berkekuatan dahsyat yang lahir untuk membela kebenaran. Batara Guru lalu memanggil Batara Bayu dan kendaraannya yang berwujud gajah, bernama Gajah Sena untuk menghadap.
Setelah keduanya hadir, Batara Guru pun menyampaikan perintahnya. Batara Bayu mendapat tugas untuk masuk ke dalam bungkus dan memberikan pakaian lengkap kepada Raden Bima. Nanti jika sudah selesai, maka Gajah Sena ditugasi untuk merobek selaput pembungkus Raden Bima. Hal itu karena di muka bumi hanya gading milik Gajah Sena saja yang mampu merobek bungkus tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun mempersilakan keduanya berangkat. Keduanya lalu mohon diri untuk melaksanakan tugas tersebut.
BATARA BAYU MEMBERIKAN PAKAIAN KEPADA RADEN BIMA
Batara Bayu dan Gajah Sena telah sampai di Hutan Mandalasana. Dengan kekuatan gaibnya, Batara Bayu pun masuk menyusup ke dalam bungkus dan menemui Raden Bima. Ia memperkenalkan diri sebagai ayah angkat Raden Bima, serta menjelaskan bahwa orang tua kandungnya berada di Kerajaan Hastina, bernama Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunti.
Raden Bima bertanya kapan dirinya akan keluar dari dalam bungkus untuk melihat dunia luas. Batara Bayu menjelaskan bahwa sebentar lagi akan ada Gajah Sena yang datang untuk merobek bungkusnya. Namun sebelum itu, Batara Bayu akan memberikan pakaian lengkap terlebih dulu kepada Raden Bima.
Pakaian tersebut berupa Pupuk Mas Jarot Asem, Anting Panunggul Manik Warih, Sumping Pudak Sinumpet, Kain Poleng Bang Bintulu Aji, Gelang Candrakirana, Kelatbahu Cepok Manggis, dan Ikat Pinggang Cinde Bara.
Setelah Raden Bima mengenakan semua pakaian tersebut, Batara Bayu segera keluar dari dalam bungkus dan memberi isyarat kepada Gajah Sena, lalu ia pun terbang ke angkasa.
GAJAH SENA MEROBEK BUNGKUS RADEN BIMA
Begitu menerima isyarat dari Batara Bayu, Gajah Sena segera maju dan mulai berusaha membuka bungkus Raden Bima. Ia menginjak-injak bungkus tersebut dan juga membelitnya dengan belalai. Hingga akhirnya, kedua gadingnya pun menembus dan merobek bungkus Raden Bima.
Begitu pembungkusnya terbuka, Raden Bima langsung keluar dan berdiri tegak di hadapan Gajah Sena. Sungguh Gajah Sena merasa kagum melihat Raden Bima yang baru berusia empat belas tahun namun bertubuh tinggi besar melebihi orang dewasa.
Tiba-tiba ia teringat ucapan Batara Guru bahwa Raden Bima terlahir menjadi pria perkasa yang senantiasa membela kebenaran. Hal itu menyebabkan terlintas keinginannya untuk bersatu jiwa raga dengan pemuda tersebut.
Maka, Gajah Sena pun segera maju menyerang Raden Bima untuk memancing amarahnya. Raden Bima yang terkejut karena diserang secara tiba-tiba segera membela diri. Ia pun bergulat menghadapi gajah kahyangan tersebut. Setelah bertarung cukup lama, akhirnya Raden Bima berhasil mematahkan kedua gading di mulut Gajah Sena.
Begitu gadingnya patah, Gajah Sena langsung musnah dan berubah menjadi cahaya, kemudian masuk ke dalam tubuh Raden Bima. Tidak hanya itu, kedua gading milik Gajah Sena pun bersatu pula di dalam jempol tangan kiri dan kanan Raden Bima, membentuk semacam kuku yang sangat tajam.
RADEN BIMA BERTEMU RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA
Tidak lama kemudian Raden Yamawidura dan Patih Gandamana datang di Hutan Mandalasana. Raden Bima langsung menyerang mereka karena mengira keduanya adalah teman Gajah Sena. Patih Gandamana maju menghadapinya. Keduanya pun bergulat sama-sama kuat tidak ada yang kalah. Dalam hati Patih Gandamana merasa heran mengapa ada anak muda yang begitu perkasa dan mampu menyamai kekuatannya.
Tiba-tiba dari angkasa turun Batara Narada dan Batara Bayu yang melerai mereka. Raden Bima yang mengenali Batara Bayu segera menghentikan perkelahian, begitu pula dengan Patih Gandamana. Batara Narada pun memperkenalkan Raden Bima adalah putra kedua Prabu Pandu yang telah keluar dari dalam bungkusnya. Raden Yamawidura dan Patih Gandamana sangat gembira mendengar itu. Mereka pun bergantian memeluk sang keponakan.
Batara Narada juga berpesan kepada Raden Bima apabila ingin bertemu dengan kedua orang tua kandungnya, maka harus mengikuti Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pulang ke Kerajaan Hastina. Raden Bima pun menurut.
Setelah berkata demikian, Batara Narada memungut selaput bekas pembungkus tubuh Raden Bima yang berserakan di tanah, lalu membawanya terbang menuju ke Kadipaten Banakeling.
Setelah Batara Narada pergi, Batara Bayu pun berpesan kepada Raden Bima bahwa sepasang gading milik Gajah Sena yang kini bersatu di kedua jempol tangannya dapat menjadi pusaka yang ampuh. Apabila Raden Bima berkehendak, maka kedua kuku jempol tersebut dapat memanjang sampai satu jengkal dan dapat digunakan untuk membunuh musuh.
Sepasang kuku pusaka tersebut hendaknya diberi nama Kuku Pancanaka. Selain Raden Bima, ada putra angkat Batara Bayu lainnya yang juga memiliki Kuku Pancanaka, bernama Kapi Anoman. Batara Bayu meramalkan bahwa suatu saat nanti Raden Bima pasti dapat bertemu dengan tokoh wanara bernama Kapi Anoman tersebut.
Batara Bayu melihat Gajah Sena kini telah bersatu jiwa raga dengan Raden Bima. Maka, ia pun memberikan nama baru kepada putra angkatnya itu, Raden Bimasena. Setelah berkata demikian, ia lalu undur diri kembali ke kahyangan. Raden Yamawidura, Patih Gandamana, dan Raden Bimasena memberikan penghormatan, lalu mereka kembali ke Kerajaan Hastina.
BATARA NARADA MENEMUI ADIPATI SAPWANI DAN DEWI DRATA
Sementara itu, Batara Narada telah mendarat di Kadipaten Banakeling, yang masih termasuk bawahan Kerajaan Hastina. Kadipaten Banakeling sendiri dipimpin oleh raja tua bernama Adipati Sapwani yang semasa muda dulu pernah menyerang Kerajaan Hastina dan ditaklukkan oleh Resiwara Bisma.
Sudah puluhan tahun lamanya Adipati Sapwani menikah dengan Dewi Drata namun tidak juga dikaruniai keturunan. Mereka pun tekun bertapa di Gunung Gihacala untuk memohon kemurahan dewata agar bisa segera mendapatkan putra.
Batara Narada yang telah hadir di Gunung Gihacala segera membangunkan suami istri yang sedang bertapa tersebut. Adipati Sapwani dan Dewi Drata membuka mata kemudian menyembah hormat. Batara Narada menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa dewata telah mengabulkan permohonan Adipati Sapwani dan Dewi Drata untuk mendapatkan putra.
Sebagai sarananya, Batara Narada menyerahkan selaput pembungkus Raden Bima kepada Adipati Sapwani agar direndam di dalam Tirta Kaskaya selama tujuh hari tujuh malam. Adapun Tirta Kaskaya adalah air hujan yang pertama kali turun dan ditampung dalam sebuah wadah. Setelah itu, air rendaman tersebut harus diminum Adipati Sapwani dan Dewi Drata sebelum melakukan hubungan badan.
Batara Narada berkata bahwa Tirta Kaskaya bekas rendaman selaput pembungkus Raden Bima berkhasiat menyuburkan benih Adipati Sapwani dan Dewi Drata. Kelak Dewi Drata akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Batara Narada berjanji akan datang lagi untuk “menjedi” bayi tersebut sehingga tumbuh dewasa dalam waktu singkat. Putra yang dibesarkan dalam waktu singkat itu kelak hendaknya diberi nama Raden Jayadrata.
Adipati Sapwani dan Dewi Drata berterima kasih atas sarana yang diberikan dewata kepada mereka. Namun, mereka merasa heran mengapa putra mereka kelak jika lahir harus dijedi supaya bisa menjadi dewasa dalam waktu singkat? Batara Narada pun menjawab bahwa Raden Jayadrata ditakdirkan menjadi jodoh Dewi Dursilawati, yaitu satu-satunya Kurawa yang berkelamin wanita.
Saat ini Dewi Dursilawati sudah berusia empat belas tahun, sehingga Raden Jayadrata kelak jika sudah lahir harus dijedi menjadi dewasa dalam waktu sekejap, agar bisa serasi dengan Dewi Dursilawati.
Mendengar penjelasan demikian, Adipati Sapwani dan Dewi Drata merasa lega. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun terbang kembali ke kahyangan.
RADEN BIMASENA BERTEMU KEDUA SAUDARANYA
Sementara itu di Kerajaan Hastina, Raden Puntadewa dan Raden Permadi, yaitu putra pertama dan ketiga Prabu Pandu telah mendengar kabar bahwa hari ini Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pergi ke Hutan Mandalasana untuk menjemput kepulangan saudara mereka.
Keduanya merasa gembira dan memutuskan untuk menyusul ke hutan. Mereka sengaja tidak memberi tahu sang ayah karena pasti akan dilarang jika pergi ke sana.
Namun di tengah jalan, Raden Puntadewa dan Raden Permadi dihadang Arya Suman bersama Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Karena rencananya untuk membunuh Raden Bima telah gagal, Arya Suman pun memerintahkan Raden Suyudana dan Raden Dursasana untuk memukuli Raden Puntadewa dan Raden Permadi sebagai pelampiasan. Mendapat perintah demikian, Raden Suyudana dan Raden Dursasana segera maju menyerang kedua Pandawa itu.
Raden Permadi berusaha membela diri, sedangkan Raden Puntadewa mempersilakan jika Raden Suyudana dan Raden Dursasana ingin memukul dirinya. Ia rela tidak melawan apabila itu memang bisa membuat kedua sepupunya tersebut merasa bahagia.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul pemuda bertubuh tinggi besar yang langsung menerjang Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Pemuda tinggi besar itu tidak lain adalah Raden Bimasena yang langsung menghajar mereka. Karena merasa kewalahan, Raden Suyudana dan Raden Dursasana pun memilih kabur, dengan diikuti Arya Suman, paman mereka.
Raden Puntadewa dan Raden Permadi berterima kasih atas pertolongan Raden Bimasena. Raden Yamawidura pun menjelaskan bahwa Raden Bimasena ini adalah saudara mereka yang nomor dua, yang baru saja keluar dari dalam bungkus. Raden Puntadewa dan Raden Permadi terharu bahagia, lalu mereka pun berangkulan dengan Raden Bimasena.
Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pun memperkenalkan kedua pangeran remaja itu kepada Raden Bimasena. Raden Puntadewa yang kini berusia enam belas tahun adalah kakak sulung Raden Bimasena, sedangkan Raden Arjuna atau Raden Permadi yang kini berusia dua belas tahun adalah adiknya.
Mereka lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan pulang ke Kerajaan Hastina. Raden Puntadewa pun meminta kepada mereka semua untuk tidak menceritakan perbuatan Raden Suyudana dan Raden Dursasana tadi kepada keluarga di istana.
PRABU PANDU MENYAMBUT KEPULANGAN PUTRA KEDUANYA
Demikianlah, Raden Yamawidura dan rombongannya telah sampai di istana Kerajaan Hastina. Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan segenap anggota keluarga lainnya menyambut kedatangan Raden Bimasena dengan penuh perasaan haru dan bahagia.
Prabu Pandu kagum melihat putra keduanya itu bertubuh tinggi besar dan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Ia teringat dewata pernah berpesan bahwa penempatan Raden Bima bungkus di tengah Hutan Mandalasana bukanlah sebagai pembuangan, melainkan sebagai sarana bagi Pandawa nomor dua tersebut untuk melakukan tapa brata selama empat belas tahun. Teringat pada hal itu, maka Prabu Pandu pun memberikan nama tambahan untuk Raden Bimasena, yaitu Raden Bratasena.