Tak hanya suku Jawa, Kemben juga merupakan pakaian adat dari berbagai suku di Nusantara. Berbagai jenis kain kemben dari berbagai daerah dapat dilihat di Museum Tekstil Jakarta.
Biasanya, kemben digunakan sebagai daleman dari suatu baju resmi. Contohnya, Jenis Kain kemben yang dapat dilihat di Museum Tekstil Jakarta, berasal dari daerah di ujung Pulau Jawa yaitu Banten.
Kain Kemben tradisional dari daerah Banten, sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat Banten dalam. Contohnya, para suku Baduy dalam, luar maupun dangka.
Kain kemben Banten banyak terbuat dari macam-macam kain, tetapi yang diamati adalah dari katun. Memiliki motif ragam hias garis-garis bersilangan.
Di Bali, kain kemben sudah menjadi tradisi bagi para wanitanya. Mereka menggunakannya hampir setiap hari sampai ke acara-acara besar atau peringatan agama. Di jogja biasanya abdi dalem keraton (pembantu keraton) menggunakan dodot nama lain dari kemben di daerah tersebut.
Berdasarkan gambaran relief, Inda Citraninda Noerhadi melihat masyarakat Jawa biasanya tak memakai perhiasan. Mereka yang berkedudukan tinggi secara sosial seperti bangsawan saja lah yang mampu memakai beragam perhiasan, seperti mangkota, anting, kelat bahu, kalung, gelang, gelang kaki, dan sebagainya.
“Pada masyarakat berstatus rendah pakaian fungsinya menutupi dan melindungi, sedangkan untuk yang berstatus tinggi berfungsi menghias tubuh,” tulisnya dalam “Busana Jawa Kuna”.
Berbeda pula dengan busana yang digunakan oleh kaum brahmana, Inda melihat para pendeta yang digambarkan berjubah yang bahu kanannya terbuka. Dalam prasasti para pendeta diberi pakaian khusus yang disebut sinhel.
Hal ini juga diperkuat dalam catatan Sejarah Dinasti Liang dari abad ke-6 M, yang mengungkapkan, bahwa tatanan masyarakat di Jawa, baik pria maupun wanita tak ada yang mengenakan penutup dada.
Namun, busana masyarakat Jawa dikatakan dalam catatan itu hanya mengenakan sarung katun untuk menutupi bagian bawah tubuh, dan bahkan Rambutnya dibiarkan tergerai.
Sementara dikatakan, bahwa kalangan bangsawan dan raja mengenakan kain bergambar bunga yang tipis (selendang) untuk menutupi bagian atas tubuh. Mereka pun mengenakan ikat pinggang emas dan anting-anting emas.
“Gadis-gadis muda menutupi tubuh mereka dengan kain katun dan mengenakan ikat pinggang sulam,” ungkap catatan yang diterjemahkan W.P. Groeneveltdt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa itu.
Tak cuma dari cara berpakaian, jenis kain pun menunjukkan identitas sosial. Sejarawan dan juga merupakan Dosen di Universitas UI, Dr. Supratikno Rahardjo, M.Hum mengatakan, dalam Peradaban Jawa mengungkapkan (berdasarkan data prasasti) pakaian laki-laki biasanya disebut wdihan. Sedangkan pakaian untuk perempuan disebut kain atau ken.
“Saat upacara sima, di awal rangkaian acara pimpinan desa, yang mendapat anugerah sima dari raja, membagikan harta kekayaannya kepada anggota masyarakat yang berasal dari berbagai lapisan sosial, salah satunya pakaian,” ungkapnya.
beberapa jenis kain yang dikenal dalam sumber-sumber Jawa Kuno. Kain yang masuk dalam jenis wdihan adalah:
Ganjar Haju Patra Sisi, Ganjar Patra Sisi, Ganjar Haji, Ganjar Patra, Jaro Haji, Jaro, Bwat Kling Putih, Bwat Pinilai, Pinilai, Bwat lwitan, Kalyaga, Pilih Angsit, Rangga, Tapis, Siwakidang, Bira/Wira, Jaga, Hamawaru, Takurang, Alapnya, Sularikuning, Ragi, Pangalih, Ambay-ambay, Lunggar, Bwat waitan, Cadar, Lwir Mayang, Putih, Raja Yoga, Pamodana, Ron Paribu, Suswan, Prana, Sulasih, Tadahan, Syami Himi-himi.
Sementara, yang termasuk ken/kain adalah:
Jaro, Kalagya, Pinilai, Bwat Wetan, Bwat Lor, Pangkat, Bwat Ingulu, Kalangpakan, Atmaraksa. Kaki, Putih, Rangga, dan Kalamwetan.
kain tersebut diberikan kepada seseorang sesuai status sosialnya. Dalam Prasasti Rukam 829 saka (907 M) disebutkan kain jenis Ganjar Patra diberikan kepada Rakaryan mapatih i hino, gelar untuk putra sulung raja. Sementara dalam Prasasti Tunahan 794 saka (872 M) ganjar patra diberikan kepada Sri Maharaja.
Pilih Maging dalam Prasasti Sangsang (829 saka) juga diberikan kepada Sri Maharaja. Sementara dalam Prasasti Lintakan (841 saka) kain yang sama diberikan kepada Rakryan i hino.
“Di dalam Prasasti Poh (827 saka) wdihan kalyaga diberikan kepada rakryan mapatih i hino, halu, sirikan, wka, sang pamgat tiruan,” ungkap Inda.
Di dalam Prasasti Mulak 800 saka (878 M), telah disebutkan kain jenis Wdihan Rangga diberikan kepada Makudur. Dalam Prasasti Humanding 797 saka (875 M) Wdihan Angsit diberikan kepada Samgat Wadihati. Wdihan Bira dalam Prasasti Kwak I (801 saka) diberikan kepada Pejabat Halaran,Pangkur, Tawan, Tirip, dan sebagainya.
Dalam Prasasti Gandhakuti (1042 M) pun turut disebutkan, bahwa penerima hak istimewa diperbolehkan memakai apa saja yang biasa dipakai di dalam nagara.
Mereka diperbolehkan memakai pakaian pola Ringring Bananten yang mungkin artinya kain halus, Patarana Benanten, kain berwarna emas, pola Patah, Ajon berpola belalang, berpola kembang, warna kuning, bunga teratai, berpola biji, kain awali, dulang pangdarahan, dodot dengan motif bunga teratai hijau, sadangan warna kunyit, kain Nawagraha, dan Pasilih Galuh.