Leluhur Prabu Kalmashapada, Prabu Aya, Dasarata, dan Sri Ramawijaya yang terkenal bernama Prabu Sagaradewa. Sang raja keturunan kesekian dari Batara Surya itu memiliki 60 orang anak lelaki yang tampan-tampan dan gagah perkasa. Mereka dianugerahi berbagai nikmat namun hal itu membuat mereka angkuh dan sombong.
Pada suatu hari, Prabu Sagaradewa melakukan sesaji Aswameda (kurban kuda). Ke-60 putra sang prabu yang dipimpin Raden Aswanjasa, putra tertua Prabu Sagaradewa mengejar kuda-kuda itu. Salah satu kuda lari ke gua tempat pendeta sakti bernama Resi Kapila menyepi.
Dengan tidak sopannya, mereka membangunkan paksa sang pendeta menanyakan kemana kuda mereka. Karena kemarahannya dan ketidaksopanan mereka, Resi Kapila yang dianugerahi ajian Netrageni membakar para putra Sagaradewa. Prabu Sagaradewa yang mendengar kabar kematian para putranya menjadi sedih lalu memilih bunuh diri.
Tiga generasi berlalu, putra Raden Aswanjasa yang bernama Prabu Ansuwan berputra Prabu Diliparupa. Prabu Dilaparupa mendapat wangsit untuk mengambil air Dewi Gangga di kahyangan untuk menyucikan arwah kakeknya ayahnya, dan 59 saudaranya. Namun sewaktu di tengah perjalanan, Prabu Diliparupa sakit keras dan akhirnya meninggal.
Waktu lalu beralih ke generasi keempat dari Prabu Sagaradewa. Putra satu-satunya prabu Diliparupa yakni Prabu Bhagirata naik takhta. Selama pemerintahannya, sang Prabu sering dihantui roh ayah, kakek dan 59 saudaranya juga roh kakek buyutnya, prabu Sagaradewa yang gentayangan karena tidak ada penghormatan terakhir yang layak bagi mereka. Prabu Bhagirata sampai stres berat karena gangguan-gangguan itu.
Akhirnya ia memutuskan meninggalkan sementara kerajaan dan menyepi di gua di tengah hutan, tempat para kakeknya terbakar. Di sana ia bertemu dengan Resi Kapila laku ia mencurahkan isi hatinya "oh Resi Kapila, sang pendeta agung.....sesungguhnya aku sedang kalut karena roh leluhur saya menghantui kehidupan." sang resi lalu berkata "oh Paduka prabu, sungguh besar kekeliruan saya telah membakar leluhur Paduka, Tuanku. Sebagai permohonan maaf, saya akan membantu Paduka.
Sesungguhnya ayahanda Paduka, Prabu Diliparupa pernah mendapat wangsit meminta air Dewi Gangga namun ayah Paduka gagal dan meninggal dengan penuh kesedihan. Mungkin jika Paduka mau meneruskan tugas ayahanda paduka, teror ini akan berakhir. " prabu Bhagirata serasa telah tersiram air sewindu mendengar kata-kata Resi Kapila. Lalu ia bersumpah akan meminta Dewi Gangga turun dan memberikan sebagian airnya.
Lalu dimulai pertapaan yang keras bagi sang prabu Bhagirata. Sang prabu melakukan tapa ngidang, duduk bersila di mulut gua dengan kepalanya terus menengadah mengikuti arah cahaya matahari memohon agar Dewi Gangga mau turun ke bumi dan memberikan sedikit airnya.
Prabu Bhagirata juga mulai berhenti makan selama tiga hari. Setelah di hari keempat, ia hanya makan rumput dan akar-akaran lalu lanjut melakukan tapa brata. Itu dilakukannya selama nyaris selama 10 tahun sehingga kurus keringlah tubuh sang prabu.
Matanya menjadi cekung. Raut wajahnya yang awalnya ceria berubah menjadi keruh dan kisut. Rambutnya mulai memanjang tak beraturan dan menggimbal. Tapa brata Prabu Bhagirata dikabulkan Batara Brahma.
Batara Brahma sendiri kesulitan bila meminta Dewi Gangga turun ke Bumi karena ia sendiri tak bersedia memberikan airnya kepada manusia. Batara Brahma menyarankan untuk meminta bantuan Batara Guru (Batara Shiwa) yang juga ipar Dewi Gangga.
Prabu Bhagirata kembali melakukan tapa brata. Kali ini lebih keras. Sang prabu melakukan tapa ngalong dan hanya makan apa yang jatuh di mulutnya. Semakin keringlah tubuhnya bahkan karena tapa yang teramat keras ini hampir membunuh sang prabu.
Batara Guru terkesan lalu datang memenuhi permintaan Prabu Bhagirata. Sang penghulu para dewa itu meminta sang ipar agar mau mengabulkan permintaan kecil dari seorang manusia.
Namun Dewi Gangga bersikap congkak dan berkata "aku tak sudi memberikan airku! Airku terlalu suci untuk jiwa manusia yang terlalu berdosa. Daripada aku memberikannya, lebih baik akan ku sapu seluruh dunia ini dengan air bah.
" Batara Guru mengingatkan "Gangga, jangan bertindak sombong. Kau sendiri telah terkotori nafsumu sendiri dan aku bersumpah kelak menjelang Mahapralaya dunia ini, airmu tak akan ada gunannya dan mengering seperti gurun pasir!" Sumpah dari seorang Mahadewa langsung tak dihiraukan Dewi Gangga. Maka ia turun ke bumi dan dengan congkaknya, ia membuat air bah.
Batara Guru yang sudah bersedia, dengan tenang melakukan triwikrama. Lalu ia membuka mahkota dan ikat rambutnya. Tergerailah rambut panjang sang Otipati. Dewi Gangga yang turun pun terjebak di rambut Batara Guru. Air bah ciptaan Dewi Gangga yang tadinya deras menerjang menjadi perlahan dan berubah menjadi air terjun berarus kecil.
Di dalam jebakan rambut sang ipar, Dewi Gangga menangis dan menyesali dosa yang ia perbuat. Ia sadar bahwa hatinya telah dikotori kesombongannya dan kini ia terjebak juga karena kesombongannya sendiri.
Setelah menjebak Dewi Gangga dengan rambutnya, Batara Guru melakukan tapa brata yang sangat dalam. Hal itu membuat Bhagiratha tidak berani mengganggunya. Untuk mengeluarkan sang Dewi tanpa menimbulkan kemurkaan sang Batara, Prabu Bhagiratha memohon kepada Batari Durga, istri Batara Guru, supaya diberi jalan keluar.
Lalu sang Batari memanggil dua putranya, Batara Rare Kumara dan Batara Ganesha. Atas saran Ganesha, Prabu Bhagiratha meminta bantuan seorang pendeta muda pemilik padepokan Argastina di Gunung Sukendra yakni Resi Gotama, sebab hanya dia yang dapat membuat ayahandanya itu terkesan. Ganesha, Bhagiratha, dan Rare Kumara menuju padepokan Resi Gotama dengan menyamar sebagai cantrik pengelana.
Dengan kekuatan pikirannya, putra sang Mahadewa yang berjulukan Gajamukha membuat sapi di asrama tersebut menjadi gila. Dengan kekuatan pesona, Rare Kumara membuat anak-anak para cantrik di padepokan menjadi ribut dan menangis terus menerus.
Karena hal tersebut, Tapa brata sang resi gagal dan ia menjadi sangat kesal. Lalu dengan beringasnya, sang resi memukul sapi tersebut hingga mati lalu sang resi juga memukul para cantriknya karena tak mampu menenangkan anak-anak sampai mereka pingsan.
Setelah Resi Gotama membunuh seekor sapi dan memukul para cantrik sampai pingsan, suasana padepokan menjadi gempar sebab sang resi melakukan sebuah dosa besar. Ganesha menyarankan agar sang resi menyucikan dirinya dengan air Dewi Gangga yang terdapat di dalam rambut sang Otipati.
Sang resi mematuhi saran tersebut, lalu ia memuja Batara Guru dan memberinya persembahan sehingga Mahadewa terkesan. Atas permintaan Resi Gotama, Batara Guru mengizinkan Dewi Gangga keluar dari rambutnya dengan memberikan suatu celah kecil.
Air tersebut menyucikan sang resi. Dalam perjalanannya, Dewi Gangga pergi melewati dunia bawah tanah, ia sempat membuat aliran air yang bercabang-cabang di muka bumi untuk menolong jiwa-jiwa malang yang ada disana. Akhirnya jiwa-jiwa itu termasuk para leluhur Prabu Bhagirata tersucikan dan bisa masuk ke swargamaniloka.
Setelah air Dewi Gangga menyucikan Resi Gotama, Batara Ganesha meminta ma'af kepada sang resi karena ia telah membuat sang resi melakukan kesalahan. Resi Gotama tersentuh dengan kejujuran Batara Ganesha. Ia juga memberkati Prabu Bhagiratha setelah tahu bahwa raja tersebut telah membuat Dewi Gangga turun ke bumi.
Sejak saat itu, Dewi Gangga mengabdikan diri menyucikan siapapun yang mandi atau bersuci dengan airnya. Dengan kekuatannya, Dewi Gangga menciptakan sebuah sungai besar. Sungai ini lalu disebut Bengawan Gangga atau Silugangga.
Dewi Gangga dan Batari Durga adalah bersaudara dimana Batari Durga adalah kakak kembar Dewi Gangga. kelak Resi Gotama akan menikahi Dewi Indradi, kekasih Batara Surya yang akan melahirkan Dewi Anjani (ibu Hanoman), Guwarsa (Subali), dan Guwarsi (Sugriwa).