Sukolilo - berasal dari dua suku kata Suko berarti senang dan Lilo yang berarti ikhlas. Dengan harapan masyarakat Sukolilo memiliki budi pekerti senang, ikhlas, saling menolong dan senang memberi.
Soal sejarah nama Sukolilo sendiri belum diketahui secara pasti. Namun Desa Sukolilo sering dihubungkan dengan legenda Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Pada saat itu Ki Ageng Pemanahan sedang mencari kakak seperguruannya Ki Ageng Giring. Setelah sampai, Ki Ageng Pemanahan dijamu oleh Nyai Ageng Giring (istri Ki Ageng Giring).
Singkat cerita, Ki Ageng Pemanahan diberi jamuan air kelapa oleh Nyai Ageng Giring. Saat mengetahui hal tersebut Ki Ageng Giring marah kepada Nyai Ageng. Ternyara air kelapa yang diminum oleh Ki Ageng Pemanahan memiliki petuah, niscaya siapapun yang meminum air kelapa tersebut akan melahirkan raja-raja ditanah Jawa.
Ki Ageng Giring meminta kepada Ki Ageng Pemanahan untuk menjadikan agar kelak merelakan anaknya (Ki Ageng Giring) menjadi raja pada keturunan ketiga. Mendengar permintaan tersebut Ki Ageng Pemanahan menolak dan melanjutkan negosiasi, hingga menghasilkan kesepakatan kelak pada keturunan ketujuh menjadi raja ditanah Jawa.
“Dhi, sampai sini saja saya dapat mengantarkan adhi,” kata Ki Ageng Giring saat mengantarkan Ki Ageng Pemanahan sampai Tulang Tumenggung (lokasi penyebrangan aliran sungai Sumber Lawang yang memiliki dua muara).
“Ya, Kang, Trimakasih atas keluhuran budi kakang terhadap saya.. lelakon sing wis dak tindakake wingi-wingi, mengepokan karo degan sing tak ombe banyune aku yo ora ngerti sak sukolilamu aku njaluk pengapuro” Ki Ageng Pemanahan berpesan.
“ Yo, dhi, podho-podho pengapurane”.
Talang Tumenggung merupakan saksi ucapan Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, hingga menjadi nama “Sukolilo”.
Meron merupakan tradisi yang ada di Desa Sukolilo. Meron merupakan tiruan adat Sekatenan menyambut Maulid Nabi Muhammad S.A.W di Mataram atau Yogyakarta.
Sejarah Tradisi Meron berawal dari Desa Sukolilo yang merupakan Kademangan dibawah kekuasaan Kadipaten Pati Pesantenan. Usai perang Kesultanan Mataram menumpas perlawanan Adipati Pati, sekitar tahun 1600 sisa-sisa prajurit Mataram yang bertugas di Kademangan Sukolilo tidak pulang ke Mataram namun mesanggrah (beristirahat) di Kademangan Sukolilo.
Para prajurit ingat setiap tanggal 12 Maulud di Mataram menyelenggarakan upacara Sekaten menyambut Maulid Nabi S.A.W. Para prajurit ijin untuk tidak pulang dengan alasan berjaga-jaga agar tidak terjadi pembangkangan, dan juga menyampaikan permohonan untuk menyelenggarakan upacara Sekatenan di Sukolilo.
Berkat ijin tersebut Kademangan Sukolilo diperkenankan mengadakan upacara serupa (Sekaten) setiap tahunnya di Sukolilo. Namun tidak lagi menggunakan nama Sekaten tetapi menjadi Meron. Tradisi ini setiap tahunnya dilestarikan oleh masyarakat Sukolilo hingga sekarang.