Batara Guru sang Raja alam semesta

 Batara Guru, di dunia pewayangan, adalah pemuka para dewa yang memerintah kahyangan, yaitu alam yang dihuni para dewa. Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa, Batara Guru dilukiskan bertangan empat, bertaring kecil, berleher biru, kakinya apus (semacam penyakit polio), dan hampir selalu mengendarai Lembu Andini.

Batara Guru


la juga dikenal dengan nama lain, yakni Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagadnata, Nilakanta, Trinetra, Girinata, dll. Dalam pewayangan Batara Guru bersaudara dua orang, Hyang Maha Punggung dan Hyang Ismaya. Ayah ketiga bersaudara itu adalah Sang Hyang Tunggal. Ibunya bernama Dewi Rekatawati.

Suatu saat Dewi Rekatawati melahirkan anak berujud sebutir telur yang memancarkan cahaya terang. Dengan kesaktian yang dimilikinya Hyang Tunggal mengubah ujud telur itu. Kulit telurnya berubah ujud menjadi Hyang Maha Punggung, dia dianggap sebagai anak sulung.

Putih telurnya menjadi Hyang Ismaya, ia dianggap sebagai anak nomor dua. Dan kuning telurnya menjadi Hyang Manikmaya, dianggap sebagai anak bungsunya. Kedua kakaknya diberi tugas menjadi pamong umat manusia di dunia, sedangkan Sang Hyang Manikmaya bertugas mengepalai para dewa di kahyangan.

Mengenai pembagian tugas ini, dalam pewayangan diceritakan bahwa pada mulanya ketiga bersaudara itu saling memperebutkan hak menjadi penguasa di alam kahyangan. Karena tidak satu pun di antara mereka yang mau mengalah, Sang Hyang Tunggal lalu memberi syarat, siapa di antara ketiganya yang dapat menelan Gunung Mahameru, lalu memuntahkannya kembali dalam keadaan utuh, ialah yang berhak memerintah kahyangan.

Syarat dan ujian yang berat ini disetujui ketiga bersaudara itu. Sebagai anak yang dianggap sulung, Sang Hyang Maha Punggung memperoleh kesempatan pertama untuk membuktikan kesaktiannya. Ia mencoba menelan Gunung Mahameru.

Dikerahkannya segala kesaktian yang dimilikinya. Tetapi sampai mulutnya robek, gunung itu tidak dapat masuk ke dalam mulutnya. Akhirnya terpaksa ia menyerah kalah. Giliran kedua, dengan mengerahkan seluruh kesaktiannya Sang Hyang Ismaya mencoba menelan Gunung Mahameru itu.

Ia berhasil, namun ketika berusaha memuntahkannya kembali ia tidak sanggup. Lalu dicobanya untuk mengeluarkan Gunung Mahameru itu lewat jalan anus, juga tidak bisa. Gunung itu malahan tetap bersemayam dalam pantatnya. Akibatnya, Sang Hyang Manikmaya tidak mendapat kesempatan mencobakan kesaktiannya.

Karena itu Sang Hyang Tunggal lalu menetapkan Manikmayalah yang berhak memerintah kahyangan. Keputusan Sang Hyang Tunggal ini diterima baik oleh Sang Hyang Maha Punggung maupun Sang Hyang Ismaya.

Bagi penganut agama Hindu Batara Guru adalah sebutan lain dari Batara Siwa. Karena agama Hindu yang pertama-tama menyebar ke Indonesia adalah ajaran Resi Agastya dari Sekte Saiwa (Syaiwa, Syiwa, atau Siva), untuk menghormati dan mengagungkannya, Resi Agastya disebut pula Batara Guru. 

Tetapi dalam pewayangan, khususnya jenis-jenis Wayang Purwa yang tersebar di Pulau Jawa, Batara Guru sering diberi kesan berbeda dengan Batara Siwa atau Siwah. Lagi pula, sebagai salah satu tokoh wayang, walaupun tergolong dewa, Batara Guru bukanlah makhluk yang sempurna.

Seperti juga manusia dan dewa lainnya, ia pun sering berbuat salah. Dalam berbagai lakon Wayang Purwa, Batara Guru diceritakan beberapa kali tidak dapat mengendalikan nafsu birahinya, amarah, dan dendamnya.

Bahkan menurut Serat Kanda, Manikmaya disebut sebagai iblis yang bernama Idajil, yang mengaku-aku dan merasa dirinya sebagai Tuhan. Namun pengertian bahwa Batara Guru adalah Idajil seperti itu tidak pernah ditampilkan dalam pergelaran dan hanya disebut-sebut dalam sebagian buku pewayangan.

Bathara Guru


Dalam pewayangan, banyak tindakan Batara Guru yang dikoreksi oleh Batara Narada dan juga oleh Ki Lurah Semar, walaupun kedudukannya dalam pewayangan adalah pemuka para dewa.

Sementara itu, menurut S. Probohardjono, budayawan ahli wayang di Surakarta, yang juga dikenal dengan nama K.R.T. Mloyodipuro, dalam bukunya Pakem Pedalangan Lampahan Wayang Purwa, menceritakan lain lagi. Dalam lakon Jagad Ginelar atau Manik Maya. 

Diceritakan ketika alam semesta belum ada apa-apa, bahwa Yang Maha Kuasa (tidak dirupakan dalam bentuk apa pun) mencipta sesuatu ujud. Dibarengi dengan suara mendengung, muncul suatu sumber cahaya berbentuk telur, melayang-layang. Ujud seperti telur itu kemudian dicipta lagi.

Kulitnya menjadi bumi dan langit, bagian putihnya menjadi cahaya dan teja, sedangkan bagian kuningnya menjadi manik dan maya. Setelah alam semesta selesai terwujud, cahaya, teja, manik dan maya diubah bentuknya menjadi empat orang bambangan tampan.

Cahaya atau cahya dinamai Batara Nurrada atau Narada; teja disebut Batara Teja atau Batara Antaga; manik dinamakan Batara Manik atau Batara Guru, sedangkan maya disebut Batara Maya atau Batara Ismaya. Jadi, menurut versi ini, Batara Guru dan Batara Narada adalah bersaudara. Dan, keempat dewa itu merupakan makhluk pertama yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Versi ini kurang lazim dipergelarkan dalam pewayangan.

Batara Guru tinggal di Kahyangan Jong Giri Kelasa, yang dalam pewayangan wring diucapkan Jonggring Salaka atau Suralaya. Ia beristri Dewi Uma atau Umayi. Dewi Uma yang cantik jelita lagi pula Sakti, pada mulanya tidak bersedia menjadi istri Batara Guru, kecuali apabila pemuka para dewa itu berhasil menangkapnya.

Mereka pun berkejaran. Berkali-kali Batara Guru hampir dapat menangkap wanita cantik itu, tetapi Dewi Uma selalu saja dapat meloloskan diri. Tubuh Dewi Uma licin bagaikan belut, lagi pula gerakannya amat lincah dan gesit.

Akhimya Batara Guru memohon pada Hyang Wenang, kakeknya, agar ia diberi tambahan sepasang tangan lagi yang diharapkan dapat membantu menangkap wanita cantik itu. Sesudah tangan Batara Guru menjadi empat, barulah Dewi Uma berhasil ditangkap.

Dan sesuai dengan janjinya, Dewi Uma bersedia diperistri. Karena bertangan empat itulah maka Batara Guru kemudian juga dipanggil Sang Hyang Caturbuja.

Suatu saat Batara Guru bertengkar hebat dengan istrinya. Yang dipertengkarkan adalah peristiwa yang terjadi di atas samodra, saat mereka berkelana mengendarai Lembu Andini. Pada senja hari itu Batara Guru ingin bercumbu kasih dengan Dewi Uma di punggung Lembu Andini, namun istriya menolak. 

Pada peristiwa itu jatuhlah kama (benih hidup - mani) Batara Guru ke dasar samudra. Penolakan istrinya itu membuat Batara Guru merasa kesal. Waktu mereka telah kembali ke kahyangan, Batara Guru mengumpat istrinya.

Dewi Uma tidak mau dipersalahkan, dan mereka pun bertengkar. Ketika pertengkaran makin memuncak, dengan kesal Dewi Uma berkata: "Kelakuan Kakanda hanya pantas dilakukan oleh makhluk yang bertaring ......" Karena Dewi Uma sebenarnya juga tinggi kesaktiannya, kata-katanya segera menjadi kenyataan. Saat itu juga taring gigi Batara Guru tumbuh memanjang.

Batara Guru makin marah, dan membalas mengutuk Dewi Uma sehingga istrinya itu berubah ujud menjadi raksasa. Setelah saling mengutuk keduanya merasa menyesal, namun nasi telah menjadi bubur. Batara Guru kemudian memberi nama baru pada Dewi Uma dengan sebutan Batari Durga.

Sementara itu kama benih Batara Guru yang jatuh di dasar samodra menjelma menjadi makhluk ganas yang mengerikan. Makhluk itu membuat keonaran di dunia. Para dewa yang mencoba menghadapi makhluk ganas itu tidak berhasil mengatasinya.

Merka melarikan diri kembali ke kahyangan. Si Makhluk Ganas segera menyusul para dewa yang melarikan diri itu, dan akhirnya berhadapan langsung dengan Batara Guru. Kepada Batara Guru makhluk itu mengajukan tuntutan, minta diakui sebagai anak Batara Guru, minta nama dan diberi seorang istri. Batara Guru mengabulkan semua tuntutannya.

Makhluk itu diakui sebagai anaknya, diberi nama Batara Kala, dan Batari Durga ditunjuk menjadi istri untuk mendampingi Batara Kala. Tetapi yang menjadi istri Batara Kala hanyalah badan jasmani Batari Durga, sebab jiwanya telah diganti dengan jiwa Batari Gendeng Permoni, seorang dewa perempuan yang amat cantik tetapi berhati dengki.

Badan jasmani Batari Permoni yang cantik jelita digunakan oleh jiwa Dewi Uma. Dengan demikian Batara Guru tetap beristri wanita cantik. Batari Durga yang jiwanya telah diganti dengan jiwa Batari Permoni dan Batara Kala diperintahkan menghuni Setra Gandamayi (Gandamayit). Mereka diberi kekuasaan memerintah makhluk golongan jin, hantu, gandarwa, dan sejenisnya.

Sementara itu, menurut Serat Kandhaning Ringit Purwa, istri Batara Guru bukan hanya Dewi Uma seorang. Ia juga mempunyai istri yang lain, bernama Dewi Gariti. Dari Dewi Gariti, Batara Guru mendapat dua orang anak, yakni Batara Brama dan Batara Cakra. Sedangkan dari Dewi Uma, pemuka dewa itu mendapatkan anak Batara Basuki dan Batara Wisnu.

Dalam menjalankan pemerintahan di kahyangan Batara Guru dibantu oleh Sang Hyang Kanekaputra atau Batara Narada. Dalam pewayangan Batara Narada sering bertindak lebih bijaksana dibanding dengan Batara Guru.

Sebagai pemuka dewa, Batara Guru sering bertindak menuruti nafsu. Ia mudah tergiur wanita cantik, mudah marah, mudah terbujuk, mudah iri hati, padahal ia memiliki kesaktian yang tinggi. Dalam berbagai tindakan yang salah, Batara Guru sering mendapat teguran dari Semar.

Dan, akibat perbuatannya sendiri, dalam beberapa lakon, pemuka dewa itu juga sering dipermalukan manusia. Misalnya, dalam lakon Sasikirana, Batara Guru menyaru sebagai manusia agar bebas berasyik-masyuk dengan Dewi Dursilawati adik Duryudana di Keputren Astina. Skandal yang dilakukan pemuka dewa itu akhirnya tertangkap basah oleh Bambang Caranggana, salah seorang anak Arjuna.

Pada Wayang Kulit Purwa, Batara Guru dilukiskan bertangan empat, dua tangan di antaranya menggegam senjata. Ia mempunyai tiga mata, satu di antaranya berfungsi sebagai senjata yang dapat memancarkan sinar panas yang menghanguskan. Karena matanya tiga, Batara Guru disebut juga Sang Hyang Trinetra.

Peraga Wayang Kulit Purwa ini mendapat perlakuan istimewa dibandingkan dengan tokoh wayang lainnya, karena dianggap keramat. Wayang Batara Guru biasanya di selubungi kain satin warna kuning atau putih. Sebelum dimainkan, wayang itu diasapi dulu dengan kemenyan.

Di daerah Surakarta dan Yogyakarta, dan juga di daerah lain, tidak setiap perajin penatah dan penyunging Wayang Kulit Purwa berani mengerjakan pembuatan sosok peraga wayang Batara Guru. Biasanya, para perajin mengadakan berbagai sesajen dulu sebelum mulai membuatnya.

Batara Guru mempunyai banyak anak. Namanama anaknya, seringkali berbeda antara buku wayang yang satu dengan lainnya. Namun beberapa nama anak Batara Guru yang sering disebut-sebut dalam pewayangan di antaranya adalah, Batara Sambo, Batara Brama, Batara Endra, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Kala, Batara Sakra, Batara Asmara, Batara Mahadewa, dan Anoman. Dua ia antara anak-anaknya itu adalah anak yang kelahirannya tidak disengaja, yakni Batara Kala dan Anoman.

Dalam pewayangan, kelahiran Anoman pun terjadi akibat Batara Guru tidak mampu menahan nafsu birahinya. Suatu saat ketika pemuka dewa itu sedang terbang melanglang di atas Telaga Nirmala, ia melihat seorang wanita muda sedang tapa nyantoka (bagai seekor katak) merendam diri di telaga tanpa busana, dan hanya makan benda yang dihanyutkan air ke dalam mulutnya saja.

Pemuka dewa itu tergiur melihat wanita tanpa busana itu. Karena tidak sanggup menahan nafsu birahi, jatuhlah kama benih Batara Guru. Kama benih itu menimpa sehelai daun asam muda (Orang Jawa menyebutnya sinom).

Daun asam yang mengapung di permukaan air itu hanyut dan masuk ke mulut Sang Pertapa, yakni Dewi Anjani. Maka seketika itu juga Dewi Anjani berbadan dua. Karena tuntutan Dewi Anjani, Batara, Guru bersedia bertanggungjawab atas kehamilan itu. Bayi yang kemudian lahir berujud kera berbulu putih dan diberi nama Anoman.

Menurut cerita pewayangan, warna biru pada leher Batara Guru disebabkan karena pemuka dewa itu pernah meminum racun. Waktu itu, dalam usaha mendapatkan Tirta Amerta, atau Air Kehidupan - anti mati, tanpa sengaja Batara Guru meminum air racun, yang dikiranya Tirta Amerta.

Namun sebelum air racun tertelan, ia sempat memuntahkannya. Racun pekat yang telah sampai ke kerongkongannya itu menyebabkan lehernya berwarna biru. Itulah sebabnya Batara Guru dijuluki Sang Hyang Nilakanta. Nila artinya biru, sedangkan kanta artinya leher.

Bathara Guru


Sedangkan kakinya yang terserang penyakit apus (semacam polio), menurut Kitab Paramayoga, disebabkan hukuman dari Tuhan. Ketika Nabi Isa (Yesus) lahir, berita kelahirannya tersebar luas ke segala penjuru, sampai ke telinga Batara Guru.

Untuk menyaksikan sendiri bayi yang terkenal itu ia datang menjenguk. Waktu itu Nabi Isa baru berumur sebulan. Setelah menyaksikannya, Batara Guru berucap: "Bayi sudah berumur sebulan kok belum juga bisa berjalan, seperti manusia biasa saja ...".

Kata-kata yang bernada meremehkan itulah yang menyebabkan pemuka dewa itu mendapat hukuman dari Tuhan dan menderita penyakit apus, semacam polio zaman sekarang. Itulah pula sebabnya, dalam pewayangan ia hampir selalu digambarkan selalu mengendarai Lembu Andini.

Di Bali, Batara Guru yang lebih lazim disebut Batara Syiwa, mengutuk Dewi Uma menjadi raseksi bukan karena persoalan penolakan hasrat cinta di punggung Lembu Andini, tetapi karena persoalan lain.

Menurut pedalangan gagrak Yogyakarta, cacat kaki Batara Guru diakibatkan perkelahiannya dengan Kala Mercu, seorang raja gandarwa dari Nusa Tembini. Waktu itu Batara Guru terlempar jauh, dan jatuh di Gunung Tengguru. Akibat terhempas keras ketika jatuh itu kakinya cacat.

Suatu saat Batara Guru menyaksikan Dewi Uma dan beberapa bidadari lainnya, tengah asyik menjilati darah Rare Kumara yang sedang terluka. Rare Kumara adalah salah seorang putra Batara Guru atau Batara Syiwa. Karena marah, Batara Guru mengutuk Dewi Uma dan bidadari-bidadari itu menjadi raksasa, serta mengusirnya dari kahyangan.

Dalam pedalangan Wayang Purwa, khususnya di Pulau Jawa, Batara Guru juga tergolong dewa yang punya sifat pendendam. Di antara korban dendamnya adalah Prabu Pandu Dewanata dan Begawan Bagaspati.

Pandu bersama istrinya, Dewi Madrim, dikutuk masuk neraka karena dianggap bersalah telah lancang, berani mengajukan permintaan untuk meminjam Lembu Andini untuk bersenang-senang dengan istrinya, Dewi Madrim. Sedangkan Begawan Bagaspati dikutuk akan mati dibunuh menantunya, juga karena dianggap lancang mengatakan ingin memperistri Dewi Uma.

Selain mengutuk, Batara Guru juga menciptakan makhluk ganas bernarna Candrabirawa untuk membunuh Begawan Bagaspati, tetapi tak berhasil.

Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta dan Yogyakarta, tokoh Batara Guru dirupakan dalam tiga wanda, yakni wanda Reca, wanda Rama, dan wanda Karna. Berbeda dengan seni kriya wayang di Yogyakarta dan Surakarta, peraga Batara Guru Wayang Kulit Purwa gagrak Jawa timuran dilukiskan sedang menunggang Lembu Andini yang sedang dalam posisi berdiri. Tetapi selain itu, beberapa seniman Wayang Kulit Purwa juga menciptakan wanda-wanda baru.

Peraga wayang Batara Guru dalam perangkat Wayang Kulit Purwa, sering dianggap sebagai wayang tindih, artinya wayang dianggap paling tua, paling dihormati, dan tidak boleh diperlakukan sembarangan.

Bahkan banyak di antara pemilik perangkat wayang dan dalang, yang menganggap tokoh peraga wayang Batara Guru itu keramat. Itulah sebabnya, dalam keadaan tidak dimainkan, peraga wayang itu dibungkus dengan kain putih atau kain berwarna emas.

Post a Comment

Previous Post Next Post

AdSense

Contact Form