Siwa adalah seorang Dewa yang disebut sebut sebagai Mahadewa , atau Dewa dari Para Dewa.Siwa adalah anggota dari Trimurti yang beranggotakan Brahma , Vishnu , dan Dewa Siwa.
Dalam pewayangan Jawa , Siwa disebut sebagai Bhatara Guru,Ia adalah dewa pelebur , tugasnya untuk melebur semua benda usang yang tidak layak berada di bumi , dan harus dikembalikan kepada asalnya.
Siwa adalah Suami dari Parwati , Kali , Durgha , Sati/Daksayani , dan Uma.Berdasarkan penggambarannya sebagai Dewa Pelebur , maka Siwa digambarkan dengan :
- Berkulit Gelap: Siwa berkulit gelap seperti warna kulit Dewa Wishnu
- Memakai pakaian dan Ikat Pinggang dari kulit harimau : Konon katanya , seekor harimau diperintahkan iblis untuk membunuh Dewa Siwa , namun Siwa mengalahkan Harimau itu , dan mengambil kulitnya sebagai pakaian dan ikat pinggang , dan Pakaian dan ikat pinggang kulit harimau ini digambarkan sebagai penahan Hawa Nafsu
- Berhiaskan Bulan Sabit : Bhatara Guru berhiaskan bulan sabit atau Ardha Chandra
- Bertangan empat, masing-masing membawa trisula, cemara, tasbih/genitri, kendi
- Bermata tiga alias Tri Netra , yang sepertinya didapat dari Semedi ribuan tahun
- Hiasan yaitu Ular Kobra : Ular Kobra mungkin digambarkan sebagai kebesaran , keberanian dan lambang Lingga pada zaman dahulu
- Kendaraan adalah Lembu Nandi : Lembu Nandi adalah seorang lembu yang dijadikan wahana oleh Dewa Siwa
Oleh Umat Hindu di Bali , tepatnya di Pura Dalem , Siwa dipuja sebagai dewa yang mengembalikan manusia dan makhluk hidup lainnya ke unsurnya menjadi Panca Maha Bhuta
Dewa Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna.Ia bersenjatakan Padma , dan ia mengendarai Lembu Nandi . Aksara Suci Dewa Siwa adalah I dan Ya .Ia dipuja di Indonesia , di Bali , tepatnya di Pura Besakih.
Di Indonesia , kadangkala Dewa Siwa disebut dengan nama Adya / Siwa / Pusat / Segala Warna (Cahaya) = peleburan kemanunggalan.
Kata Siwa berarti yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang dan membahagiakan (Monier dalam Gunawan, 2012 : 56). Sang Hyang Siwa di dalam mengerakkan hukum kemahakuasaan-Nya didukung oleh sakti-Nya Dewi Durga atau Parwati.
Hyang Siwa adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali atau dapat disebut aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala isinya. Siwa yang sangat ditakuti disebut Rudra, karena suara yang menggelegar dan menakutkan.
Kitab Satapatha Brahmana menceritakan tentang kelahiran Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama Prajapati yang memiliki seorang anak laki-laki.
Sejak lahir, anak itu menangis terus, dia merasa tidak terlepaskan dari keburukan karena tidak diberi nama oleh ayahnya. Kemudian Prajapati memberinya nama Rudra, yang berasal dari akar kata "rud" yang artinya menangis.
Kisah kelahiran Rudra ini bisa dijumpai pula dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu Purana. Tersebutlah Brahma sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk.
Akibat kemarahannya itu tiba-tiba dari kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak yang baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya yang setengah laki-laki dan setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah sebelas orang.
Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wisnu Purana merupakan asal mula Ekadasa Rudra.
Riwayat kelahiran Rudra menurut Markandeya Purana disebabkan oleh keinginan Brahma untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahma pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis di pangkuannya.
Ketika ditanya mengapa, anak itu menjawab bahwa ia menangis karena minta nama. Brahmā memberinya nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi.
Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahma memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isana, Pasupati, Bhima, Ugra, dan Mahadewa, di samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah nama-nama aspek Siwa dalam kelompok Murtyastaka. Kisah yang sama terdapat dalam Wisnu Purana.
Penggambaran tentang dewa Siwa sangatlah unik. Dewa Siwa digambarkan dalam bentuk manusia. Dewa Siwa digambarkan duduk di kuburan, yang melambangkan kemutlakannya untuk mengendaliakan kelahiran dan kematian.
Tubuhnya telanjang dan dipenuhi dengan abu. Tubuh yang telanjang melambangkan bahwa Ia bebas dari keterikatan pada benda material didunia, abu melambangkan intisari dari semua benda dan makhluk didunia.
Abu pada tubuh dewa melambangkan bahwa Ia adalah sumber dari seluruh penciptaan yang berasal dari dalam dirinya. Penampilan Siwa, Siwa memiliki rambut ikal yang digelung, berwarna merah. Siwa dikenal dengan nama kapardi.
Siwa Memiliki 3 mata (Tri Netra), Phalanetra, Agnilocana, Trolocana dan lain-lain, dua matanya pada bagian kiri dan kanan melambangkan aktifitas fisiknya di dunia. Yang ketiga di pusat dahinya yang melambangkan pengetahuan (jnana), dan ini disebut dengan mata kebijaksanaan atau pengetahuan. Kekuatan pandangan mata ketiga Siwa bersifat menghancurkan kejahatan.
Cerita tentang mata ketiga dari dewa Siwa dapat di temukan dalam berbagai versi. Diceritakanlah Siwa sedang asyik bercengkerama dengan sakti-Nya yaitu Dewi Parwati sedang bermain tutup-tutupan mata, karena mata beliau ditutup oleh kedua telapak tangan dewi Parwati menyebabkan Siwa sulit melihat, karena terhalangnya penglihatan Siwa maka dunia menjadi goncang.
Maka, dari kening beliau muncul mata ketiga untuk mengembalikan keadaan dunia seperti keadaan semula, yang terganggu karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati.
Uraian tentang dewa Siwa yang memiliki 3 mata (Trinetra) juga dijumpai dalam kitab Mahabharata. Kitab Linga Purana menawarkan cerita yang berbeda tentang timbulnya mata ketiga Siwa.
Dikisahkan adalah Sati, anak Daksa istri pertama Siwa yang bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya (Daksa) tidak menghiraukan suaminya (Siwa). Karena peristiwa itu, Siwa pergi bertapa di atas Gunung Himalaya.
Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”. Sementara itu, makhluk jahat Asura (raksasa) Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Siwa Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Siwa Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kama.
Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Siwa bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kama, Siwa “terbangun”. Siwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api.
Api itu membakar Kama hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kama, Siwa jatuh cinta pada dewi Parwati.
Rati, istri Dewa Kama yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Siwa dan mohon untuk menghidupkan kembali Kama. Untuk menghibur Rati, Siwa berjanji bahwa Kama kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna.
Rati kemudian meminta anugrah agar dia diberi kehormatan supaya bisa selalu bersama dengan suaminya yang telah berbadan halus agar lebih mudah menjelma bersama suaminya nanti. Dewa Siwa memenuhi permintaan Rati, dibakar pulalah Rati dengan mata ketiga-Nya.
Semenjak saat itu Dewa Kama disebut Ananga (tidak berbadan) dan benih-benih cinta yang ada pada setiap mahluk di dunia adalah percikan abu dari Dewa Kama dan Dewi Rati. Kisah ini memang berakhir dengan romantika yang indah.
Karena terkena panah cinta dari Dewa Kama akhirnya Dewa Siwa menikah dengan Dewi Parwati dan melahirkan putra yang bernama Kumara atau Subrahmanya yang dapat membunuh Asura Tataka.
Di dalam kitab Purana kita mendapat informasi tentang hiasan yang di gunakan oleh Deva Siwa. Istri para rsi terpikat kepada Siwa, yang sekali waktu tampil dengan mengenakan pakaian seperti peminta-minta.
Para rsi sangat marah terhadap Siwa atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. Dari lobang yang di gali, muncul seekor harimau. Siwa membunuh harimau itu dan mengambil kulitnya. Seekor menjangan mengikuti harimau dan juga muncul dari lubang yang sama. Siwa memegang binatang itu dengan tangan kirinya.
Selanjutnya muncul dari lubang itu tongkat besi panas berwarna merah. Siwa mengambil tongkat itu dan menjadikan senjatanya. Terahir dari lubang muncul beberapa ular kobra dan Siwa mengambil ular dan mengenakan sebagai hiasan.
Suatu hari raksasa bernama Gaya menyamar dalam wujud seekor gajah dan menangkap seorang pandita yang melarikan diri dan memohon perlindungan di sebuah pura Siwa. Siwa muncul dan membunuh gajah tersebut, kemudian mengambil kulitnya dikenakan di badannya.
Suatu hari Siwa mengenakan beberapa ekor ular sebagai anting-antingnya, oleh karena itu ia di kenal dengan nama Nagakundala. Siwa dilambangkan oleh ular di sekitar lehernya. Ular yang terbelit di lehernya melambangkan kekuatan penghancurnya.
Dalam purana yang lain dikatakan juga bahwa ular tersebut berfungsi untuk mencegah racun yang diminum saat para dewa dan asura memperebutkan tirtha amertha masuk kedalam tubuh dewa Siwa. Tasbih melambangkan sifatnya yang anadi ananta yakni tidak berawal dan tidak berakhir.
Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Siwa mengenakan hiasan bulan sabit pada Jatamakuta-Nya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahma, menikahkan keduapuluh tujuh (konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan.
Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik.
Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap, tapi tidak berhasil.
Setelah berunlangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang, mati.
Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahma yang menasihatinya agar pergi menghadap Siwa.
Santiran langsung menuju Gunung Kailasa dan mengadakan pemujaan untuk Siwa. Siwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda.
Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Siwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak(ardhacanrakapala).
Versi yang lain tentang bulan sabit yang ada di kepala dewa siwa di ceritakan dalam Bhagawata Purana, cerita ini juga agak mirip tapi beberapa nama tokohnya berbeda. Cerita diawali dari Chandra yang mempunyai dua puluh tujuh istri.
Dari semua istrinya ini, Rohini yang paling cantik dan bergairah sangat disayangi oleh Dewa Chandra. Karena cintanya kepada Rohini, Dewa Chandra melalaikan kewajibannya kepada istri-istrinya yang lain, kemudian para istri-istri Dewa Chandra yang lain tersebut yang juga putri-putri Daksa, mengeluh kepada sang ayah.
Karena merasa ditelantarkan putri-putrinya, Daksa menjadi murka, dan mengutuk Chandra. Karena dikutuk, Dewa Chandra menderita penyakit paru-paru. Dari hari ke hari kekuatan dan cahaya Dewa Chandra berkurang. Akhirnya Dewa Chandra minta perlindungan kepada Dewa Siwa.
Dewa Siwa yang penuh kasih melegakan hati Chandra yang menderita sakit paru-paru dan menaruh Bulan di kepala-Nya.Dengan menumpang di kepala Dewa Siwa, Chandra/Bulan menjadi kekal dan bebas dari segala bahaya.
Tam Sivah sekhare krtva cabhavac chandrasekharah,
Nasti devesu lakesu Sivac caharana-pancarah
Terjemahan :
Kemudian Dewa Siwa dikenal dengan nama Chandrasekhara, sebab beliau menaruh Bulan di kepalanya. Oh para Dewa, tidak ada seorangpun yang lebih berkasih sayang selain Dewa Siwa.
Mengetahui sang suami telah meninggalkan dirinya, putri-putri Daksa itu sedih dan menangis. Kemudian mereka datang menghadap sang ayah Daksa, putra Dewa Brahma. Putri-putri Daksa berkata, “Oh Ayah, dahulu kami mohon kepadamu agar kami mendapat berkah dari suami, tetapi kini bukan mendapat berkah darinya, melainkan dia telah meninggalkan kami.
Oh Ayah,meskipun kami memiliki mata,kami hanya menemukan kegelapan di mana-mana. Sekarang kami sadar bahwa suami adalah mata satu-satunya bagi wanita. Bagi wanita, suami itu sendiri adalah Narayana, ikrar dan agama purba.
Wanita yang membenci atau mendengki suami malang dan bajik dan meninggalkannya, akan menderita di neraka jahanam selama matahari dan bulan bersinar di Bumi. Di sana (neraka) serangga-serangga yang bagaikan anjing menggigit dia siang malam. Bila lapar, dia terpaksa makan daging mayat.
Dan untuk meniadakan rasa haus dan dahaga, dia terpaksa minum air kencing. Selanjutnya dia harus lahir berkali-kali sebagai burung nazar (yang memakan bangkai), terus lahir sebagai babi betina selama seratus tahun, kemudian sebagai binatang buas selama seratus kali kelahiran.
Ketika pada akhirnya dia lahir lagi sebagai manusia, dia menjadi Janda, pengemis dan terus sakit-sakitan. Kemudian putri-putri Daksa berkata "Mohon kembalikan suami kami, Anda adalah putra Dewa Brahma, dan anda cukup perkasa untuk menciptakan sendiri satu alam semesta".
Mendengar kata-kata dari semua putrinya itu, Daksa lalu pergi menghadap Dewa Siwa, Dewa Siwa bangkit dari tempat duduknya, dan sujud menghormati Daksa.
Daksa lalu memberkati Dewa Siwa, melihat perilaku Dewa Siwa yang rendah hati, kemarahan Daksa menjadi hilang. Kemudian Daksa berkata, Oh Dewa Siwa, mohon kembalikan menantuku yang dicintai oleh putri-putriku yang melebihi nyawanya sendiri.
Anda juga adalah menantuku. Jika anda tidak mengembalikan Chandra kepadaku, saya akan ucapkan kutukan keras atas dirimu".
Setelah mendengar Daksa bicara, Dewa Siwa mengucapkan kata-kata yang terdengar lebih manis dari amrita. Dewa Siwa berkata "Anda boleh bakar saya jadi abu, atau ucapkan satu kutukan atas diriku sesuai kehendakmu, tetapi saya tidak bisa mengembalikan Chandra (Bulan) yang telah berlindung kepadaku." Mendengar kata-kata Dewa Siwa demikian, Daksa hendak mengucapkan kutukan atas Dewa Siwa, Dewa Siwa ingat Govinda, pada saat itu pula Sri Krishna muncul disana dalam wujud seorang Brahmana tua.
Baik Dewa Siwa maupun Daksa sujud kepada Brahmana tersebut dengan penuh hormat. Beliau memberkati mereka berdua dan berkata kepada Dewa Siwa. Sri Krishna berkata; "Oh Siwa, tidak ada apapun yang lebih disayangi oleh semua mahluk hidup selain dirinya sendiri.
Dengan merenungi hal ini, Oh penguasa para Dewa, anda hendaknya selamatkan dirimu dengan memberikan Chandra kepada Daksa. Anda adalah tempat berlindung terbaik, anda tenang, anda adalah Vaisnava yang paling terkemuka dan anda memperlakukan segala makhluk dengan cara yang sama.
Anda bebas dari tindak kekerasan dan kemarahan. Daksa adalah putra perkasa Dewa Brahma dan dia berwatak pemarah. Dewa yang mulia mengalah dihadapan yang sedang marah".
Dewa Siwa tersenyum dan berkata "Saya bisa mengorbankan pertapaan saya, kemuliaan saya, semua keberhasilan saya, kekayaan dan bahkan nyawa saya sendiri.
Tetapi saya tidak bisa meninggalkan orang yang telah berlindung kepada saya. Dia yang telah mencampakkan seseorang yang telah berlindung kepadanya, akan ditinggalkan oleh Dharma. Oh Tuhanku, anda tahu betul tentang Dharma.
Mengapa anda mengucapkan kata-kata yang dipengaruhi khayalan?. Anda adalah pencipta dan pelebur segala sesuatu. Orang yang berbhakti kepada Mu tidak takut kepada siapapun".
Tuhan yang mengetahui betul perasaan setiap orang, mendengar kata-kata Dewa Siwa dengan seksama. Kemudian beliau mengambil setengah bagian Chandra (Bulan) yang sakit dan memberikannya kepada Daksa.
Selanjutnya Beliau mengambil setengah bagian Bulan yang sehat dan menaruhnya di kepala Dewa Siwa. Melihat Bulan tergerogoti oleh penyakit paru-paru, Daksa kemudian berdoa kepada Sri Krishna.
Beliau lalu mengatur bahwa Bulan akan bercahaya penuh selama dua minggu, dan tidak akan bercahaya selama dua minggu berikutnya. Demikianlah ketetapan alam yang dibuat oleh Sri Krishna. Setelah memberkati Dewa Siwa dan Daksa, Sri Krishna kembali ketempat tinggal-Nya
Dewi Gangga dan Ardhacandra (bulan sabit) bertengkar pada kepalanya, oleh karena itu disebut Gangadhana dan Candracuda. Bulan sabit yang terlihat pada kepala Dewa Siwa tersebut sebagai hiasan, dan bukan menjadi bagian dari tubuh-Nya.
Pembahasan dan pengecilan bulan melambangkan siklus waktu dimana penciptaan ada didalamnya dari awal sampai akhir dan kembali ke awal lagi. Karena Tuhan adalah Kenyataan yang Abadi, bulan sabit hanyalah hiasan dan bukan bagian penting diri-Nya.
Bulan juga melambangkan sifat hati seperti cinta, kebaikan, dan kasih. Bulan sabit yang dekat dengan kepala Dewa memilki makna bahwa seorang pemuja harus mengembangkan sifat-sifat ini agar dapat lebih dekat dengan Dewa.
Kitab Mahabharata menguraikan asal mula sapi jantan atau banteng menjadi kendaraan Siwa dalam dua versi. Versi pertama, Bhisma menjelaskan kepada Yudistira mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana Siwa. Daksa, atas perintah ayahnya, yakni Brahma, menciptakan sapi.
Siwa yang sedang bertapa di dunia terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada induknya. Untuk menjaga agar Siwa tidak marah, Dakasa menghadiahkan seekor sapi jantan pada Siwa. Siwa sangat senang menerima pemberian itu dan dijadikannya kendaraan.
Versi kedua, mirip cerita di atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahma. Di sini Siwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Siwa itu adalah banteng dan bukan binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna putih dan sangat kuat.
Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan. Tersebutlah Siwa sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di sekeliling Siwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan.
Atas kejadian itu, Siwa sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi yang sombong itu, sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Siwa.
Sejak itu banteng menjadi kendaraan Siwa. Sapi-sapi yang melihat dan mengakui kehebatan dan kesaktian Siwa sangat kagum dan mengangkatnya sebagai pemimpin, serat memberi julukanGopari pada Siwa.
Seekor sapi, yang dikenal dengan nama Nandi, yang dihubungkan dengan Siwa dan dikatakan sebagai kendaraannya. Sapi jantan ini melambangkan kekuatan dan ketidakpedulian.
Siwa mengendarai sapi menandakan bahwa Śiwa menghilangkan ketidakpedulian dan menganugerahkan kekuatan kebijaksanaan pada pemujanya. Sapi dalam Sanskertanya Vṛṣa. Dalam bahasa Sanskṛta Vṛṣa juga berarti Dharma (kebenaran).
Sehingga sapi disamping Siwa melambangkan persahabatan abadi dan kebenaran. Nandi juga melambangkan kesadaran seseorang (sṛṣṭa puruṣa) atau manusia yang sempurna, yang terserap secara permanen dalam pandangan Kenyataan.
Siwa menghancurkan segalanya dengan mebawa Trisula. Trisula senjata yang utama Siwa, Dalam berbagai gambar Siwa digambarkan memegang Trisula di tangan belakang. Siwa Purana IV.20 menyebutkan,
Dewa yang bersenjatakan Trisula ,
Brahman yang agung, yaitu Siwa adalah asal mula penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran. pelenyapan, serta pemberkatan.
Tanpa campur tangan beliau maka tidak seujung rambut pun benda atau makhluk bisa dihancurkan.
Sebuah Trisula memiliki tiga ujung, yang menandakan tiga sifat alam : sattva (keaktifan), rajas (kegiatan), dan tamas (ketidakaktifan).
Trisula melambangkan bahwa dewa jauh dari jangkauan ketiga sifat alam ini. Trisula juga melambangkan senjata yang digunakan Dewa untuk menghancurkan kejahatan dan ketidakpedulian di dunia. (Pandit, 2006 : 208).
Selain trisula ada pula senjata lain disebutpinaka, oleh karena itu Siwa disebut dengan nama Pinakapani (Siwa yang memegang pinaka di tangannya). Siwa digambarkan memiliki 2,2,8, dan 10 tangan.
Disamping membawa Pinaka, Siwa juga memegang tongkat yang dinamakan khatyanga, busur (Ajagava), seekor menjangan, genitri, tengkorak, damaru (gendang kecil), dan benda-benda suci lainnya
Sebuah damaru (kendang kecil) yang menghasilkan suara yang bergetar. Seperti yang disebutkan dalam kitab Hindu suara yang bergetar dari suku kata Om yang suci dipercaya sebagai sumber dari penciptaan.
Sebuah damaru pada salah satu tangan mengandung makna bahwa ia menyangga seluruh ciptaan di tangannya, mengatur sesuai dengan keinginannya.
Karena harimau menyimbolkan kekuatan, kulit harimau yang menjadi tempat duduk Dewa Siwa melambangkan Ia adalah sumber dari kekuatan yang pasti yang Ia kendalikan sesuai dengan keinginannya.