Murwakala - Batara Kala mencari mangsa manusia
Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya. Mereka membicarakan perkembangan Pulau Jawa yang saat ini hanya memiliki dua orang penguasa saja, yaitu Batara Indra di Kahyangan Suralaya dan Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda.
Tidak lama kemudian datanglah Batara Baruna, dewa penguasa lautan yang datang bersama Batara Kala, penguasa Pulau Nusakambangan. Batara Baruna melaporkan perbuatan Batara Kala yang terus-menerus memangsa ikan di laut, sehingga banyak binatang air menjadi korban.
Batara Baruna meminta Batara Kala berhenti memangsa ikan karena jika hal itu terus dilakukan, maka jumlah ikan di lautan akan habis. Lagipula Batara Kala terlahir dari buih samudera, sehingga tidak sepantasnya memangsa sesama penghuni laut.
Atas laporan itu, Batara Kala pun memohon keadilan kepada Batara Guru untuk diberikan jenis makanan lain, karena jika ia tidak boleh memangsa ikan lantas bagaimana caranya untuk mengisi perut dan menambah tenaga?
Batara Guru pun memutuskan supaya Batara Kala memangsa manusia saja, yaitu mereka yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Sukerta adalah manusia yang boleh dimangsa karena kelahirannya, sedangkan Sengkala adalah manusia yang boleh dimangsa karena salah perbuatan.
Adapun yang termasuk golongan Sukerta antara lain:
- Ontang-anting, yaitu anak tunggal tanpa saudara
- Kedana-kedini, yaitu dua bersaudara laki-laki perempuan
- Uger-uger lawang, yaitu dua bersaudara laki-laki
- Kembang sepasang, yaitu dua bersaudara perempuan
- Gotong mayit, yaitu tiga bersaudara jenis kelamin sama
- Sendang kapit pancuran, yaitu tiga bersaudara yang perempuan di tengah
- Pancuran kapit sendang, yaitu tiga bersaudara yang laki-laki di tengah
- Saramba, yaitu empat bersaudara laki-laki semua
- Serimpi, yaitu empat bersaudara perempuan semua
- Pandawa, yaitu lima bersaudara laki-laki semua
- Pandawi, yaitu lima bersaudara perempuan semua
- Pipilan, yaitu lima bersaudara dengan satu laki-laki
- Padangan, yaitu lima bersaudara dengan satu perempuan
- Wungkus, yaitu anak yang lahir dalam bungkus
- Wungkul, yaitu anak yang lahir tanpa ari-ari
- Tiba sampir, yaitu anak yang lahir berkalung tali pusar
- Tiba ungker, yaitu anak yang lahir tercekik tali pusar
- Jempina, yaitu anak yang lahir sebelum waktunya
- Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
- Wahana, yaitu anak yang lahir dalam keramaian
- Julungwangi, yaitu anak yang lahir saat matahari terbit
- Julungsungsang, yaitu anak yang lahir tengah hari
- Julungsarab, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam
- Julungpujud, yaitu anak yang lahir petang hari
- Siwah, yaitu anak dengan keterbelakangan mental
- Kresna, yaitu anak yang lahir berkulit hitam gelap
- Wungle, yaitu anak yang lahir berkulit putih bule
- Walika, yaitu anak yang memiliki taring
- Wungkuk, yaitu anak yang punggungnya bungkuk
- Dengkak, yaitu anak yang mendongak ke depan
- Butun, yaitu anak yang mendongak ke belakang
- Wujil, yaitu anak yang terlahir kerdil
- Kembar, yaitu dua anak yang lahir sehari dengan kelamin sama
- Dampit, yaitu dua anak yang lahir sehari dengan kelamin beda
- Gondang kasih, yaitu dua anak lahir sehari berkulit putih dan hitam
- Tawang gantungan, yaitu dua anak yang lahir beda hari
- Sukrenda, yaitu dua anak yang lahir terbungkus
Sementara itu yang dimaksud golongan Sengkala, antara lain:
- Orang yang tidak menutup pintu dan jendela pada saat senja
- Orang yang tidur di dipan tanpa tikar
- Orang yang tidur di kasur tanpa seprei
- Orang yang punya sumur tepat di depan rumah
- Orang yang punya sumur tepat di belakang rumah
- Orang yang punya tanah pekarangan miring
- Orang yang menggulingkan dandang saat menanak nasi
- Orang yang menaruh dandang di tungku padahal belum mencuci beras
- Orang yang mematahkan cobek
- Orang yang tidak menyisakan beras di lumbung
- Orang yang menyapu di malam hari
- Orang yang mengelap kotoran dengan kain yang dipakai
- Orang yang membuang sampah di kolong
- Orang yang sering telanjang
- Orang yang berdiri di depan pintu
- Orang yang bergelantungan di pintu
- Orang yang sering bertopang dagu
- Orang yang sering berdiri dengan satu kaki
- Orang yang suka bersiul
- Orang yang suka menggigit kuku
- Orang yang memotong kuku malam hari
- Orang yang makan sambil berjalan
- Orang yang makan sambil tiduran
- Orang yang duduk di atas bantal
- Orang yang berjalan bertiga pada saat tengah hari tanpa bercakap-cakap
Dan banyak lagi yang lainnya.
Batara Kala sangat senang mendengar betapa banyak jenis manusia yang bisa dimangsanya itu. Batara Guru lalu menyerahkan sebuah pusaka berwujud golok, bernama Bedama yang harus digunakan Batara Kala untuk membunuh mangsanya terlebih dahulu sebelum dimakan.
Batara Kala menerima senjata itu, kemudian mohon pamit kembali ke Pulau Jawa untuk mencari mangsa.
BATARA WISNU MENDAPAT TUGAS MENJADI JURU RUWAT
Setelah Batara Kala meninggalkan kahyangan, Batara Narada pun mengajukan keberatan atas apa yang menjadi keputusan Batara Guru tadi. Jika semua orang dengan ketentuan Sukerta dan Sengkala tersebut dimangsa oleh Batara Kala, maka penduduk Pulau Jawa akan berkurang banyak, bahkan seluruh manusia di dunia juga akan ikut habis.
Batara Guru menyadari kekeliruannya. Ia pun memanggil Batara Wisnu dan Batara Brahma untuk bersama-sama Batara Narada meruwat para manusia di Pulau Jawa yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala supaya terhindar dari ancaman Batara Kala.
Batara Wisnu segera mengubah wujudnya menjadi seorang dalang bernama Ki Dalang Kandabuwana, sedangkan Batara Brahma menjadi penabuh gender wanita bernama Nyai Seruni, dan Batara Narada menjadi penabuh kendang bernama Panjak Kalunglungan.
Batara Wisnu juga mengajak serta adik-adiknya yang lahir dari Batari Umaranti, yaitu Batara Mahadewa, Batara Cakra, dan Batara Asmara untuk menyamar sebagai para penabuh gamelan. Bersama-sama mereka lalu berangkat ke Pulau Jawa.
BATARA KALA MEMBERI NAMA KALABANG DAN KALAJENGKING
Sesampainya di Pulau Jawa, Batara Kala merasa letih dan beristirahat di bawah pohon asam. Ketika sedang tidur, tiba-tiba kakinya digigit seekor lipan. Seketika ia pun terbangun namun tidak marah melihat binatang itu, bahkan menjadikannya sebagai anak buah. Ia lalu memberi nama baru untuk lipan, yaitu Kalabang, artinya “kala yang berwarna merah”.
Batara Kala melanjutkan tidur. Tiba-tiba kakinya dicapit seekor ketunggeng yang kemudian menyuntikkan ekornya yang tajam. Batara Kala terbangun namun tidak marah, dan menjadikan ketunggeng sebagai anak buah. Ia lalu memberi nama baru untuk ketunggeng, yaitu Kalajengking, artinya “kala yang menungging.”
BATARA KALA HENDAK MEMANGSA BATARA GURU
Batara Kala memandang ke atas dan tiba-tiba melihat Batara Guru dan Batari Umaranti mengendarai Lembu Nandini sedang terbang di angkasa untuk meninjau keadaan Pulau Jawa. Kebetulan saat itu sedang tengah hari, dan mereka bertiga juga tidak bercakap-cakap, sehingga termasuk golongan Sengkala. Maka, Batara Kala pun segera terbang menghadang mereka bertiga.
Batara Guru heran mengapa Batara Kala ingin memakan dirinya. Batara Kala mengaku tidak peduli meskipun Batara Guru adalah ayahnya, yang jelas saat ini sudah masuk ke dalam golongan Sengkala sehingga boleh dimangsa.
Batara Guru pasrah jika memang dirinya harus dimangsa oleh anak sendiri. Namun sebelumnya, ia ingin bermain tebak-tebakan lebih dulu dengan Batara Kala. Yang ia tanyakan adalah makna kalimat “Hong, eka egul, eka wancah, dwi srogi, tri nabi, sapta trisu cahya, astha pada.”
Batara Kala tidak bisa menjawabnya. Batara Guru pun menjelaskan makna kalimat tersebut secara panjang lebar, yaitu “satu ekor, satu tali hidung, dua tanduk, tiga pusar, tujuh mata, dan delapan kaki” yang tidak lain dalah penggambaran Batara Guru, Batari Umaranti, dan Lembu Nandini.
Setelah menerima penjelasan tersebut, Batara Kala bersiap memangsa mereka bertiga, akan tetapi saat itu matahari sudah agak condong ke barat sehingga Batara Guru berkata bahwa dirinya bertiga sudah bukan lagi golongan Sengkala sehingga tidak boleh dimangsa.
Batara Kala merasa kalah cerdik dan tertunduk malu. Pada saat itulah Batara Guru secara cepat menuliskan rajah pada dahi, rongga mulut, dada, dan punggung Batara Kala. Ia kemudian berpesan bahwa barangsiapa bisa membaca tulisan rajah tersebut maka Batara Kala harus menghormatinya sebagai perwakilan Batara Guru.
Batara Kala mematuhi pesan tersebut dan kemudian berangkat melanjutkan perjalanan.
BATARA KALA MENGEJAR JAKA JATUSMATI
Tersebutlah seorang pemuda bernama Jaka Jatusmati, yang merupakan anak tunggal Nyai Prihatin dari Desa Medangkawit. Pada suatu hari ia mandi di Telaga Nirmala untuk menghilangkan nasib buruknya. Tiba-tiba muncul Batara Kala hendak memangsanya karena tahu kalau ia anak tunggal. Jaka Jatusmati pun berlari sekencang-kencangnya, dan Batara Kala selalu mengejar ke mana pun ia pergi.
Dalam pelariannya, Jaka Jatusmati banyak melewati orang-orang Sengkala, antara lain ada orang yang memasang atap rumah tapi tiangnya belum dikuatkan, ada orang yang merobohkan dandang saat menanak nasi, ada pula orang yang mematahkan cobek saat menggiling bumbu.
Batara Kala yang tetap mengejar Jaka Jatusmati tidak memangsa orang-orang itu, tetapi mengutuk mereka akan kehilangan harta benda. Dengan demikian, menjadi mangsa Batara Kala tidak berarti harus mati badan, tetapi juga bisa mati sandang pangan.
Sampai akhirnya, ia pun melihat ada sebuah pertunjukan wayang di Desa Medangwantu, yang dimainkan oleh Ki Dalang Kandabuwana.
Orang yang mengadakan hajatan menanggap wayang tersebut bernama Buyut Wangkeng yang ingin mendamaikan anak dan menantunya, yaitu Rara Primpen dan Buyut Geduwal. Awalnya, Rara Primpen sejak menjadi pengantin tidak pernah mau melayani suaminya, bahkan sampai minta bercerai.
Buyut Wangkeng pun menasihatinya dengan sabar, sehingga Rara Primpen akhirnya bersedia melanjutkan rumah tangga dengan Buyut Geduwal, asalkan sang ayah menanggap wayang untuknya. Maka, Buyut Wangkeng pun mengundang Ki Dalang Kandabuwana untuk mendalang di rumahnya.
BATARA KALA TUNDUK KEPADA KI DALANG KANDABUWANA
Jaka Jatusmati yang tiba di rumah Buyut Wangkeng segera menyusup ke atas panggung wayang dan berbaur dengan para penabuh gamelan. Batara Kala yang datang menyusul menjadi bengong karena tertarik melihat pertunjukan wayang, sehingga lupa kepada buruannya.
Sebaliknya, para penonton langsung ketakutan dan berlarian ke segala arah begitu melihat ada raksasa tinggi besar tiba-tiba muncul di antara mereka.
Ki Dalang Kandabuwana pun menghentikan pentas dan menemui Batara Kala. Batara Kala meminta supaya pentas dilanjutkan karena ia sudah terlanjur suka. Ki Dalang Kandabuwana bersedia melanjutkannya asalkan Batara Kala membayar tebusan dengan cara menyerahkan senjata Bedama. Batara Kala pun menyerahkan senjata itu kepada Ki Dalang Kandabuwana.
Tiba-tiba Batara Kala melihat Jaka Jatusmati ikut menabuh gamelan dan ia pun menangkap pemuda itu untuk dimangsa. Akan tetapi, begitu teringat pada pesan Batara Guru, ia segera meminta kembali senjata Bedama dari tangan Ki Dalang Kandabuwana untuk menyembelih Jaka Jatusmati.
Ki Dalang Kandabuwana bersedia menyerahkan Bedama, asalkan ditukar dengan Jaka Jatusmati. Batara Kala setuju, dan ia pun menyerahkan Jaka Jatusmati dan menerima Bedama.
Begitu menerima Bedama, Batara Kala baru ingat kalau Jaka Jatusmati sudah lepas dari tangannya. Ia pun meminta supaya pemuda itu diserahkan kepadanya. Ki Dalang Kandabuwana bersedia menyerahkannya asalkan ditukar dengan Bedama. Batara Kala lalu menyerahkan Bedama tersebut, dan ia pun menerima Jaka Jatusmati, begitu seterusnya.
Batara Kala semakin bingung. Ketika ia lengah dan mulutnya ternganga, tiba-tiba saja Ki Dalang Kandabuwana membaca tulisan rajah di rongga mulutnya, juga rajah-rajah lainnya di dahi, punggung, dan dada. Batara Kala heran ternyata orang yang dihadapinya ini bisa membaca tulisan-tulisan tersebut.
Ki Dalang Kandabuwana juga menjelaskan nama-nama rajah tersebut, yaitu pada dahi disebut Sastra Carakabalik, pada rongga mulut disebut Sastra ing Telak, pada dada disebut Sastra Bedati, dan pada punggung disebut Sastra Trusing Gigir.
Seketika Batara Kala teringat bahwa jika ada orang yang bisa membaca tulisan rajah pada tubuhnya, maka ia harus dihormati sebagai wakil Batara Guru. Oleh sebab itu, Batara Kala lalu duduk bersimpuh di hadapan Ki Dalang Kandabuwana dengan sikap pasrah dan lemas tak bertenaga.
Ki Dalang Kandabuwana menjelaskan bahwa dirinya memang mendapat tugas untuk meruwat orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Mereka yang sudah diruwat tidak boleh dimangsa oleh Batara Kala. Batara Kala menyatakan patuh terhadap ketentuan tersebut. Ia lalu mohon pamit kembali ke Pulau Nusakambangan.
KI DALANG KANDABUWANA MENGADAKAN RUWATAN MASSAL
Setelah Batara Kala pergi, Ki Dalang Kandabuwana dan para pengikutnya lalu mengadakan upacara Ruwatan terhadap orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Setelah meruwat mereka, ia juga mengajarkan mantra penolak gangguan jahat Batara Kala yang berbentuk Tembang Prawiralalita, berbunyi:
Yamaraja – Jaramaya, Yamarani – Niramaya, Yasilapa – Palasiya, Yamidora – Radomiya, Yamidosa – Sadomiya, Yadayuda – Dayudaya, Yasiyaca – Cayasiya, Yasihama – Mahasiya.
Selain itu ia juga mengajarkan laku brata sebanyak lima perkara kepada masyarakat Jawa untuk menghindari ancaman Batara Kala, yaitu:
- Puasa, menahan makan dan minum
- Berjaga, tidak tidur sampai orang lain tidur
- Membisu, mengurangi banyak bicara
- Wahdat, mengurangi persetubuhan dengan jarak seratus hari, atau paling tidak empat puluh hari
- Bersabar, mengurangi marah.
Setelah mengajarkan itu semua, Ki Dalang Kandabuwana kembali ke wujud Batara Wisnu dan kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka bersama para dewa lainnya untuk melaporkan bahwa tugas telah selesai dilaksanakan.
Batara Guru menerima laporan tersebut dengan senang hati dan berpesan agar Batara Wisnu tetap waspada karena setiap saat Batara Kala bisa datang kembali untuk membuat kekacauan di Pulau Jawa.