Ada suatu pemukiman kecil di sisi sungai Tiber yang subur namun penuh dengan nyamuk. jumlah penduduknya tidak besar dan kebanyakan berprofesi sebagai peternak atau peladang tradisional. hanya ada 2 hal yang mereka khawatirkan yakni serbuan orang barbar dari utara dan cuaca buruk yang mengganggu hasil panen. sekilas kampung bernama Roma tidak terlihat sebagai tempat berdirinya sebuah bangsa yang memiliki masa depan yang luar biasa.
Perbedaannya semakin nyata apabila dibandingkan dengan peradaban lain di sekitaran laut Mediterania. Kerajaan Mesir dan Persia sudah menikmati kebudayaan tinggi dan kompleks selama ribuan tahun dan menjadi superpower dunia kuno. tetangganya Yunani juga sudah berkembang pesat dengan pemikiran seperti demokrasi atau karya sastra sekelas Iliad. pada saat itu Romawi hanya bisa menjadi pengekor kerajaan yang lebih maju
Ketika "300" Sparta bertahan dari serangan Persia di abad ke 5 BC, penduduk Roma masih sibuk melakukan perang antar petani dengan rebutan sapi sebagai hadiah. ketika Alexander the great berhasil mengalahkan Persia yang membawa pasukan nyaris 10x lebih besar darinya lalu melakukan ekspansi hingga ke India di abad ke 4 BC, kota Roma justru dihancurkan oleh invasi suku barbar yang masih dianggap primitif.
Bisa dikatakan Romawi bukan siapa-siapa pada waktu itu. jangankan meraih kegemilangan besar seperti raja Macedonia, sekedar melindungi diri melawan suku barbar saja tidak sanggup. tapi uniknya hanya dalam waktu 100 tahun Romawi menjelma menjadi superpower yang tiada bandingannya. potensi perkembangan dan kekuatan Romawi di segala bidang tampak tidak terbatas dan baru meredup ribuan tahun setelahnya.
Sejak awal berdirinya kota Roma psikis penduduknya sudah berbeda dengan bangsa lain di sekitarnya. apabila peradaban lain cenderung mengakui diri mereka sebagai pribumi atau penduduk asli dari suatu wilayah sejak diciptakan oleh dewa-dewa ribuan tahun lalu, orang Romawi tidak memiliki klaim atau pandangan yang sama mengenai asal usulnya dan wilayah yang ditempatinya.
Dalam mitologi Romulus dan Remus yang menjadi pendiri kota Roma dikisahkan sebagai anak-anak terbuang. hal yang sama terjadi pada klaim asal usul yang lebih romantis bahwa Romawi berasal dari garis keturunan penduduk kota Troya yang melarikan diri setelah kalah perang melawan Yunani. masyarakat Roma mempercayai bahwa mereka berasal dari kaum terbuang, pelarian atau pengungsi yang mencoba bertahan hidup di tempat asing.
Karena itu walaupun pada awalnya Romawi mengikuti corak yunani dengan model kerajaan, tetapi kemudian secara natural mengubah diri dengan pemerintahan republik. mereka merasa pede dengan perbedaan yang mereka miliki dan menyadari betul bahwa nenek moyangnya adalah kaum terbuang sehingga Roma membuka diri terhadap semua orang yang bernasib sama yang hendak mencari tempat perlindungan dan membuka lembaran hidup baru.
Tidak seperti bangsa lainnya dimana kewarganegaraan adalah hal yang hampir sakral dan hanya didapatkan dari keturunan atau kelahiran, Romawi memberikan status warga negara kepada semua orang yang menginginkannya dengan syarat yang lunak. mereka tidak takut terhadap loyalitas mendua, bagi Romawi kesamaan kepentingan dan tujuan jauh lebih menjamin daripada kesetiaan hanya karena faktor keturunan pribumi semata.
Semua warga romawi apapun asal usulnya dan tempat kelahirannya berhak menerima perlindungan hukum, sistem peradilan terbuka, kesempatan usaha dan hak berpolitik. bahkan kepada tahanan sekalipun seorang warga Roma dijamin tidak akan menerima kekerasan, siksaan, eksekusi ataupun penahanan sebelum menjalani peradilan. hal ini cukup revolusioner apabila dibandingkan dengan hukum kerajaan dimana rakyat dianggap sebagai objek milik penguasa.
Kebaikan di atas hanya perlu dibayar dengan menjadi warga yang patuh hukum dan sebuah janji. "ketika Republik diserang, anda mau membantu untuk mempertahankannya."
Begitu banyak benefit dan murahnya "harga" yang ditawarkan membuat banyak masyarakat yang terusir dari tempat asalnya berakhir di Roma. bukan hanya masyarakat kelas bawah tetapi termasuk juga kaum cendikiawan dan bekas bangsawan yang dimusuhi di tempat asalnya. keberadaan mereka membuat Roma mampu mengejar banyak ketertinggalan di sektor pendidikan, seni dan sastra.
Sedangkan kaum pekerja baik ahli ataupun tidak akan berkontribusi pada sektor ekonomi, hiburan serta pelayanan masyarakat. lalu generasi muda akan menerima latihan militer sebagai bagian dari pendidikan sebagai persiapan untuk mempertahankan diri dari serangan bangsa lain. kebijakan buka pintu yang mereka lakukan begitu menguatkan Romawi hingga fondasi sebuah peradaban besar bisa selesai dalam waktu singkat.
Kebijakan yang sama juga berpengaruh pada corak peperangan yang mereka lakukan. kembali ke ilustrasi petani, apabila dahulu mereka berperang setiap musim panen yang kekurangan untuk rebutan panen dan sapi tetangganya. sekarang tidak hanya gontok-gontokan lalu selesai bawa lari sapi tetapi setelahnya mereka akan mengajak tetangganya untuk bergabung bersama mereka.
"Gimana kalau situ ikut jadi Romawi saja? jadi kita tidak usah perang tiap tahun gtu lho. tahun depan kita perang melawan si kasar dari kampung sebelah sungai saja, sapi nya gemuk-gemuk.."
Kewarganegaraan Romawi juga diberikan kepada bekas musuh-musuhnya. tentu ada syaratnya yakni dengan menuntaskan dinas militer terlebih dahulu barulah mendapatkan kewarganegaraan baik setengah atau penuh. tetapi hal yang tampaknya kecil ini akan membawa dampak yang sangat besar.
Pada umumnya bangsa yang kalah perang akan diperlakukan sebagai sapi perah yang dijajah di tanah kelahirannya sendiri. hal ini membuat risiko pemberontakan selalu tinggi, ketika penguasa lemah maka bangsa yang dijajah akan merebut kekuasaan lalu memerdekakan diri. ini adalah siklus bangkit dan tenggelamnya kerajaan atau bangsa sejak jaman prasejarah.
Romawi memutus mata rantai tersebut dengan memanjangkan tangannya kepada pihak yang dikalahkan dalam perang. asalkan bukan lawan politis, tidak berstatus budak atau bermasalah secara hukum maka mereka berkesempatan untuk menjadi warga negara Romawi. hal ini membuat populasi yang dikalahkan tidak akan sibuk berkomplot untuk memberontak karena diperlakukan sederajat dan bisa memulai lembaran baru dalam hidup.
Pada kebanyakan kasus masyarakat kelas bawah bekas kerajaan yang dikalahkan justru memiliki kesempatan hidup yang lebih baik di bawah pemerintahan republik. karena itu banyak yang melupakan loyalitasnya terhadap kerajaan lama. hal ini membuat bangsawan kerajaan lama yang berniat memberontak impoten karena tidak memiliki dukungan masyarakat luas yang bisa digerakkan untuk melakukan perebutan kekuasaan.
Bagi Romawi bukan hanya soal keamanan dari pemberontakan yang membuat perkembangannya semakin optimal, perpanjangan tangan terhadap mantan lawan juga sangat menguntungkan dari sisi militer. setiap suku yang menerima ajakan Romawi akan mengirimkan generasi muda mereka untuk menjalani dinas militer. karena itu setelah perang Romawi justru memiliki lebih banyak prajurit yang bisa digerakkan dalam kampanye militer.
Berbeda dengan kerajaan lain dimana prajurit haruslah suku asli bangsanya, romawi mengambil prajurit dari setiap suku yang menjadi warga negara, baik itu suku asli Roma ataupun suku asing yang baru saja dikalahkan dalam perang. dengan pelatihan menjadi Legiuner generasi muda mantan lawan akan terbiasa dengan budaya, cara hidup dan pemikiran Romawi sehingga semakin mantap menjadi warga negara republik yang loyal dan bisa diandalkan.
Sekali menang membuat populasi dan militernya bertambah. 100x menang maka kelipatannya hampir 100x juga. ini adalah sulap ala Romawi. asalkan bisa terus menerus menang maka Romawi terus bertambah kuat dan besar.
Lalu apa rahasianya sampai Romawi bisa terus menerus menang?
Sebenarnya romawi cukup banyak menderita kekalahan. untuk soal ini Republik dan gaya militernya yang bukan kasta kesatria tetapi mengandalkan pada citizen soldier terbukti menjadi senjata makan tuan karena terlalu idealis. faktanya mereka yang sehari-hari bekerja sebagai petani atau filusuf ketika diharapkan menjadi prajurit dan jendral dalam perang akibatnya bisa fatal.
Ditambah lagi dengan kebijakan pergantian konsul yang juga pemimpin militer disertai dengan perekrutan prajurit untuk dinas militer baru membuat keahlian tempur mereka selalu dalam kondisi tidak optimal. terlatih ya, tetapi jarang berpengalaman. legiun baru mengandalkan pada para veteran yang secara sukarela mengambil masa dinas lagi tetapi jumlahnya tidak besar karena di era republik prajurit karier masih belum berkembang.
Kemampuan Romawi yang bisa dibilang payah itu terus menerus menjadi mangsa pasukan yang berjumlah lebih kecil dan lebih buruk perlengkapannya tetapi memiliki pengalaman tempur dan kepemimpinan militer yang prima. seperti pada Perang Punic 2 Romawi begitu frustasi karena jumlah dan kualitas militer mereka yang superior ternyata tidak mampu melawan pasukan Hannibal yang berjumlah lebih kecil dari mereka.
Tetapi ada hal yang tidak dimiliki oleh bangsa lainnya yang pada akhirnya membuat Romawi unggul. sejarah menuliskan bahwa Romawi di era Republik tidak jaya dengan mengalahkan lawan yang jauh lebih besar darinya seperti Alexander the Great. Romawi menjadi jaya karena tidak pernah kehabisan prajurit walaupun terus menerus dikalahkan oleh lawan yang lebih hebat darinya.
Perang melawan Hannibal memakan puluhan ribu demi puluhan ribu pasukan Romawi pada setiap kekalahan. nyaris 100 ribu per tahun warga Romawi menjadi korban dalam perang. sebuah jumlah yang fantastis, kekalahan yang teramat besar bahkan di jaman modern sekalipun. bagi bangsa manapun kekalahan semacam itu hampir pasti menandakan kehancuran sebuah bangsa. tetapi Romawi mengalami 3x kekalahan serupa berturut-turut namun tetap kokoh berdiri.
Setiap kehilangan 100 ribu prajurit warga Roma mampu menghimpun 100 ribu lagi untuk berperang di tahun berikutnya. kemampuan ini adalah hasil dari kebijakan buka pintu dan kewarganegaraannya yang berjalan dengan sangat baik. kedua hal tersebut menyebabkan kekuatan SDM Romawi begitu superior karena tidak hanya mengandalkan pada suku asli, kawan dan sekutu tetapi juga mantan lawan yang menjadi warga negara.
Begitu dahsyat SDM Romawi sehingga pada waktu yang bersamaan dengan kekalahan terbesar mereka, Roma masih mampu menjalankan perang di 3 tempat lainnya melawan kerajaan yang berbeda. militer Romawi bagaikan mesin perang yang terus bangkit dari kematian walaupun terus menerus dikalahkan dengan telak. hal ini membuat lawan-lawannya kelelahan karena tidak mampu mengimbangi jumlah lawan yang tampak tidak pernah habis.
Mungkin pernyataan Raja Pyrrus dari Epirus sebelum era Perang Punic ketika Romawi masih kekuatan kecil di Italy paling menggambarkan situasi ini. ketika itu sang raja baru saja menang perang ke 2 melawan Romawi. ada yang mengucapkan selamat dan mendoakan semoga ia bisa menang lagi melawan Roma. tetapi Pyrrus justru menjawab, "Kemenangan seperti ini sekali lagi akan membuat kita semua hancur."
Sebutan Pyrric Victory lahir dari kejadian tersebut. kemenangan Pyrrus atas Romawi begitu menelan korban jiwa di pihaknya sehingga basis kekuatannya berkurang secara drastis. prajurit terlatih miliknya tidak diciptakan dalam waktu singkat sedangkan Romawi tampak tidak pernah kehabisan penduduk untuk dijadikan prajurit. suatu kemampuan yang fenomenal padahal pada era tersebut Republik Romawi masih dianggap kekuatan kecil yang belum diperhitungkan
Republik menjadi besar karena membuka diri terhadap pengungsi dan pelarian tetapi lambat laun fakta ini dilupakan oleh mereka. pada masa imperium Romawi semakin menutup diri dan berlaku eksklusif, menerima suku pelarian hanya untuk menjadikan mereka prajurit tetapi tidak berlaku adil terhadap populasi mereka yang tidak diterima sebagai bagian dari kependudukan Romawi. ketidakpuasan menjadi tinggi karena diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
Pada masa berikutnya kewarganegaraan romawi semakin sulit diperoleh, bahkan beberapa suku besar tidak pernah ditawarkan karena dianggap terlalu asing. hal ini membuat suku-suku tersebut bersatu dengan membentuk konfederasi yang kemudian mengancam imperium Romawi. akhirnya modal kekayaan dan populasi dari jaman republik habis lalu imperium harus terpecah karena konflik perbatasan yang menyerap habis sumber daya mereka.
Ironisnya sejarah hampir kembali terulang. dewasa ini eropa, amerika dan negara lainnya cenderung melakukan hal yang sama terhadap para pengungsi. padahal dengan menutup pintu, mereka sama saja menolak bantuan tenaga yang datang dan justru memberikannya kepada musuh.
pengungsi yang ditolak tidak punya lagi tujuan dan karenanya mudah memendam kebencian sehingga mudah diperalat untuk tindakan aksi radikal dan terorisme.
Dalam hal ini mungkin dunia perlu kembali belajar dari kisah awal sekumpulan masyarakat pelarian dan pengungsi yang bernama Romawi. bagaimana mereka berjaya karena menerima kaum terbuang, pelarian dan pengungsi dengan tangan terbuka. dan bagaimana mereka hancur karena menolak.