Sejarah dan Filosofi Batik Pati

 Batik adalah salah satu seni budaya Indonesia yang di akui oleh UNESCO sebagai warisan budaya Dunia. Di setiap daerah batik mempunyai ciri khas dan corak masing-masing. Corak dan ciri khas batik  kebanyakan bercorak tentang sejarah, hewan dan tanaman khas dari daerah tersebut.

Batik Pati


Walaupun sekarang ini lagi banyak - banyaknya masyarakat yang melirik batik, akan tetapi tetap saja masih terlalu banyak pemuda yang belum mengenal budaya asli dari Indonesia ini. Dari daerah jawa tengah yang terapat kota Pekalongan batik Pekalongan yang terkenal dengan sebutan kota Batik, ada pula Kabupaten Pati yang memiliki bati khas yaitu batik Bakaran/Batik Pati.


Sejarah dan Filosofi Batik Bakaran Pati

Motif batik tulis Bakaran bila dilihat dari segi warna mempunyai mempunyai ciri tersendiri, yaitu warna yang mendominasi batik Bakaran Wetan adalah hitam dan coklat. Unsur corak/motifnya beraliran tengahan pada corak motif batik Tengahan dan batik Pesisir.

Aliran Tengahan, karena yang memperkenalkan batik tulis pada wilayah Desa Bakaran adalah dari kalangan kerajaan Majapahit. Dan Jenis motif tengahan ini diindikasikan pada corak batik. Padas Gempal, Gringsing, Bregat Ireng, Sido Mukti, Sido Rukun, Namtikar, Limanan, Blebak Kopik, Merak Ngigel, Nogo Royo, Gandrung, Rawan,Truntum, Megel Ati, Liris, Blebak Duri, Kawung Tanjung, Kopi Pecah, Manggaran, Kedele Kecer, Puspo Baskora, ungker Cantel, blebak lung.

Dan beberapa motif tengahan yang lain. Sedangkan beraliran batik tulis pesisir karena secara geografis letak wilayah Desa tersebut memang terdapat dipesisir pantai dan aliran pesisir ini diindikasikan pada motif batik tulis, blebak Urang, loek Chan.

Dan beberapa motif pesisir yang lain corak tersebut pada umumnya berbeda dengan corak batik daerah lain, baik dari segi gambar, ornament maupun warnanya. Serta pada setiap motif mempunyai makna yang sangat filosofis.

Sejarah Masyarakat Keterampilan membatik tulis bakaran di Desa Bakaran Wetan itu punya sejarah yang melegenda. Keterampilan itu tak lepas dari buah didikan Nyi Banoewati, penjaga museum pusaka dan pembuat seragam prajurit pada akhir Kerajaan Majapahit abad ke-14.

Waktu itu, Kerajaan Majapahit diambang keruntuhannya karena wilayahnya sudah hampir dikuasahi oleh kerajaan Islam Demak Bintoro. Nyai Banoewati adalah salah seorang abdi dalem yang sudah memeluk agama Islam.

Yang saat itu warga keraton sangat melarang keras warganya untuk beragama Islam. Akhirnya Sang abdi dalem ini ketahuan dan melarikan untuk menyelamatkan diri dari hukuman raja dan sergapan prajurit. Nyi Banoewati bersama tiga saudaranya, yaitu Ki Dukut, Ki Truno, dan Ki Dalang Becak, perempuan yang konon berparas ayu itu pergi menyusuri pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nyi Banoewati dan dua saudaranya berpisah dengan Ki Dalang Becak. Ia melanjutkan perjalanan hingga ke kawasan rawa-rawa yang penuh pohon druju atau sejenis semak berduri, sedang Ki Dalang Becak menetap di Tuban. Bersama Ki Dukut, Nyi Banoewati membuka lahan di daerah rawa-rawa itu sebagai tempat tiras pandelikan atau tempat persembunyian. 

Lantaran Ki Dukut itu seorang lelaki, ia mampu membuka lahan yang sangat luas, sedangkan lahan Nyi Banoewati sempit. Tak kurang akal, Nyi Banoewati mengadakan perjanjian dengan Ki Dukut. Ia meminta sebagian lahan Ki Dukut dengan cara menentukan batas lahan melalui debu hasil bakaran yang terjatuh di jarak terjauh.

Ki Dukut menyetujui usulan itu. Jadilah kawasan Nyi Banoewati lebih luas sehingga sebagian kawasan diberikan kepada Kek Truno yang tidak mau babat alas. Daerah milik Nyi Banoewati dinamai Bakaran Wetan, sedang milik Kek Truno bernama Bakaran Kulon.

Adapun Ki Dukut yang kawasannya sangat sempit itu menamakan daerah itu Pedukuhan Alit atau Dukutalit. Ketiga desa itu sampai sekarang tetap ada dan saling berbatasan satu dengan yang lain. Secara lebih luas lagi, kawasan itu dikenal sebagai Drujuwana (hutan druju) atau Juwana.

Di Bakaran Wetan itulah Nyi Danowati membangun permukiman baru. Sejumlah warga yang semula tidak mau menempati daerah berawa-rawa itu mulai tertarik membangun permukiman di sekitar rumah Nyi Banoewati.

Nyi Banoewati / Nyai Ageng Siti Sabirah (begitu masyarakat menyebutnya) mendirikan masjid tanpa mihrab supaya tidak diketahui prajurit Majapahit yang disebut Sigit. Di pendopo dan pelataran Sigit itulah Nyi Danowati melaksanakan aktifitas agamanya dan mengajar warga membatik., motif batik yang diajarkan Nyi Banoewati adalah motif batik Majapahit. Misalnya, sekar jagat, padas gempal, magel ati, dan limaran.

”Motif khusus yang diciptakan Nyi Baneowati sendiri adalah motif gandrung. Motif itu terinspirasi dari pertemuan dengan Joko Pakuwon, kekasihnya, di tiras pandelikan,” katanya. Waktu itu Joko Pakuwon berhasil menemukan Nyi Banoewati.

Kedatangan Joko Pakuwon membuat Nyi Banoewati yang sedang membatik melonjak gembira sehingga secara tidak sengaja tangan Nyi Banoewati mencoret kain batik dengan canting berisi malam, yang memang saat itu aktifitasnya disibukkan dengan membatik.

Batik Pati


Coretan itu membentuk motif garis-garis pendek. Di sela-sela waktunya, Nyi Banoewati menyempurnakan garis-garis itu menjadi motif garis silang yang melambangkan kegandrungan atau kerinduan yang tidak terobati. motif-motif khas itu perlu mendapat perlakuan khusus dalam pewarnaan. Pewarnanya pun harus menggunakan bahan-bahan alami.

Misalnya, kulit pohon tingi yang menghasilkan warna coklat, kayu tegoran warna kuning, dan akar kudu warna sawo matang. Sayangnya, bahan-bahan pewarna itu sudah sulit ditemui. Waktu itu, batik bakaran menjadi komoditas perdagangan antarpulau melalui Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana.

Meskipun kesulitan bahan pewarna, batik tulis bakaran banyak peminat. Saat ini warga Bakaran selain melestarikan motif Nyi Banoewati, mereka juga mengembangkan aneka macam motif kontemporer, antara lain motif pohon druju (juwana), gelombang cinta, kedele kecer, jambu alas, dan blebak urang. Ada beberapa proses, dan teknik dalam pembuatan batik bakaran, yakni mulai dari nggirah, nyimplong, ngering, nerusi, nembok, medel, nyolet, mbironi, nyogo, dan nglorod.

Proses ini bertahap mulai tahap pertama sampai terakhir. Bila sudah selesai maka corak batik sudah bisa dinikmati. Tahapan-tahapan tersebut dikerjakan perajin secara manual tanpa ada alat-alat baru seperti cap, printing, sablon dsb.

Proses Pembatikan Menurut tutur masyarakat dulu nyai ageng Sabirah dan para perajin sekitar sebelum pembatikan melakukan ritual dulu. Ada yang puasa 3 hari, ada yang satu minggu, ada yang satu bulan ada yang 40 hari.

Setelah melakukan puasa ini perajin melakukan pertapaan/ nyep dengan tujuan mendapatkan inspirasi/ ilham, sehingga suatu ketika atau secara tiba-tiba tidak tersadari mendapat gambaran/ bayangan motif batik yang akan dibuat. Biasanya motif tersebut menggambarkan kondisi masyarakat yang ada dan memberikan pesan moral pada masyarakat.

Dan ada juga menunjukkan latar belakang si perajin itu sendiri. Jadi setiap motif batik ada maksud dan tujuan yang diharapkan pembatik. Atau ada pesan-pesan yang terkandung didalam motif tersebut. Diantara prosesnya adalah; 

1. Proses pendesainan. Proses ini adalah membuat gambar motif di kertas sebelum digambar di kain.

2. Pengekuman kain. Kain sebelum digambari dan dicantingi, ini di rendam dulu dengan lerak. Dengan tujuan agar nanti setelah diwarnai tidak akan pudar/ Penggambaran dikain. Yakni menuangkan gambar yang sebelumnya digambar dikertas. Gambar ini sebagai motif batik yang diinginkan.

3. Pencantingan. Kemudian setelah digambar, kain dicantingi sesuai desain gambar kain.

4. Nerusi. Nerusi ini memberikan titik-titik pada motif.

5. Nemboki. Setelah decanting dengan malam, kain ditembok dengan malam penuh. Penembokan kain ini untuk membuat motif retak/ motif remek pada kain. Motif remek ini mencirikan kekhasan batik bakaran.

6. Medel. Medel ini adalah mbironi/ memberi warna biru pada kain. Medel ini adalah nyelup (merendam kain dalam air yang sudah diberi warna sampai beberapa kali)

7. Pencoletan. Pencoletan ini merupakan pemberian warna bervariasi, ada yang setelah diwedel ada yang langsung.

8. Nyogo. Nyogo adalah pemberian warna sogo. Warna sogo bakaran adalah warna cokelat klassik. Warna ini merupakan warna klasikknya bakaran. Diantara warna klasiiknya bakaran adalah warna putih, hitam dan cokelat.

9. Setelah pewarnaan selesai, kain diberi obat pengunci warna supaya tidak luntur atau pudar warnanya.

 10. Langkah terakhir adalah Ngolrod. Melorod atau menghilangkan malam pada kain yang sudah terwarna. Pelorodan ini dengan menggodok kain di air yang mendidih yang sudah dikasih obat pelorodan.

11. Setelah dilorod kain dikeringkan dan sudah bisa di lihat motifnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post

AdSense

Contact Form