Kisah ini menceritakan tentang Seyenbara untuk mendapatkan Dewi Srikandi dengan persyaratan sanggup membangun kembali Taman Maherakca dalam waktu semalam.
RADEN ARJUNA MENGHILANG DARI KESATRIAN MADUKARA
Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta dihadap kedua adik kembarnya, yaitu Raden Nakula dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng dan Raden Gatutkaca. Hadir pula dua sepupu para Pandawa, yaitu Prabu Kresna Wasudewa dari Kerajaan Dwarawati dan Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura.
Kedua raja itu datang ke istana Indraprasta untuk sekalian mengajak Prabu Puntadewa pergi bersama menuju Kerajaan Cempalareja.
Rupanya mereka telah mendapatkan undangan dari Prabu Drupada untuk mengikuti sayembara membangun Taman Maherakaca yang telah hangus terbakar oleh perbuatan Resi Dewangkara beberapa waktu yang lalu.
Prabu Puntadewa menjelaskan dirinya juga mendapat undangan serupa dari sang mertua. Ia bercerita bahwa pada mulanya Dewi Srikandi pergi tanpa pamit untuk berguru ilmu panah kepada Raden Arjuna di Kesatrian Madukara.
Setelah lulus, ia pun kembali ke Cempalareja dan berhasil menewaskan Prabu Jungkungmardeya, yaitu raja Paranggubarja yang hendak melamarnya. Di saat yang sama, Raden Arjuna pun jatuh cinta kepada Dewi Srikandi dan bermaksud meminangnya pula.
Dewi Srikandi lalu mengajukan syarat bahwa dirinya bersedia menikah asalkan ada petarung wanita lain yang bisa mengalahkannya. Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra pun mengajukan Niken Larasati untuk bertanding melawan Dewi Srikandi.
Dalam pertarungan tersebut, Dewi Srikandi kalah. Namun, belum sempat ia menerima lamaran Raden Arjuna, tiba-tiba datang Resi Dewangkara dan Patih Jayasudarga mengamuk untuk membalaskan kematian Prabu Jungkungmardeya.
Patih Jayasudarga akhirnya tewas di tangan Raden Gatutkaca, sedangkan Resi Dewangkara tewas di tangan Raden Arjuna. Namun, sebelum nyawanya putus, Resi Dewangkara sempat mengerahkan kesaktiannya untuk membakar Taman Maherakaca sampai hangus menjadi abu.
Dewi Srikandi sangat sedih melihat taman yang dulu dibangun sang ayah khusus untuknya kini telah terbakar habis. Ia pun bersumpah hanya bersedia menikah dengan orang yang bisa membangun kembali Taman Maherakaca sama persis seperti sediakala dalam waktu semalam. Mendengar sumpah tersebut, Raden Arjuna segera pergi bersama para panakawan untuk mencari sarana demi mewujudkannya.
Demikianlah Prabu Puntadewa bercerita. Karena belum juga mendapat kabar dari Raden Arjuna, maka ia pun mengirim adik nomor dua, yaitu Arya Wrekodara untuk pergi mencari. Namun sekarang, Arya Wrekodara justru ikut menghilang pula dan tidak diketahui kabarnya.
Prabu Kresna berkata bahwa dirinya dan juga Prabu Baladewa mendapat undangan dari Prabu Drupada untuk ikut mewujudkan sumpah Dewi Srikandi. Namun, mereka berdua tidak berminat mengikuti sayembara tersebut, melainkan hanya ingin menyaksikan saja.
Maka, kedua raja itu pun berangkat bersama menuju Kerajaan Cempalareja, tetapi lebih dahulu singgah ke Amarta untuk sekalian mengajak serta Prabu Puntadewa dan para Pandawa lainnya. Mengenai hilangnya Raden Arjuna dan Arya Wrekodara, Prabu Kresna yakin mereka berdua tetap dalam lindungan dewata dan pasti muncul di Kerajaan Cempalareja. Oleh sebab itu, sebaiknya Prabu Puntadewa menunggu kedua adiknya itu di sana.
Prabu Puntadewa menerima saran Prabu Kresna dan Prabu Baladewa. Ketika hendak membubarkan pertemuan, tiba-tiba sang permaisuri Dewi Drupadi muncul dan memohon untuk diajak ikut serta. Prabu Puntadewa menyarankan agar nanti saja apabila sayembara telah selesai dan pemenangnya ditentukan, barulah istrinya itu menyusul untuk menghadiri upacara pernikahan Dewi Srikandi.
Namun, Dewi Drupadi menolak. Ia mohon izin ikut sekarang juga karena ingin meminta maaf kepada Dewi Srikandi atas perlakuan kasarnya di Kesatrian Madukara tempo hari. Mendengar alasan sang istri, Prabu Puntadewa akhirnya bersedia mengajak Dewi Drupadi ikut serta.
Demikianlah, Prabu Puntadewa pun membubarkan pertemuan. Raden Gatutkaca diajak serta mendampingi kepergiannya menuju Kerajaan Cempalareja, sedangkan si kembar dan Patih Tambakganggeng tetap tinggal untuk menjaga keamanan istana Indraprasta.
RADEN SUPALI HENDAK MENCULIK DEWI SRIKANDI
Sementara itu di Kerajaan Cedi, Prabu Supala dihadap adiknya yang bernama Raden Supali. Prabu Supala ini tidak lain adalah putra Prabu Darmagosa dan Dewi Srutawati yang dulu dilahirkan dalam keadaan cacat, yaitu memiliki tiga mata, tiga lengan, dan tiga kaki.
Ia baru bisa menjadi bayi normal setelah diruwat oleh Prabu Kresna saat masih bernama Raden Narayana. Tidak hanya itu, bayi Prabu Supala juga berubah menjadi dewasa dalam waktu sekejap dan menjadi murid Raden Narayana. Adapun sang adik, yaitu Raden Supali tercipta dari ari-ari Prabu Supala.
Kini Prabu Supala telah duduk di atas takhta Kerajaan Cedi menggantikan ayahnya yang telah meninggal. Ia pun menjalin persahabatan dengan Prabu Jarasanda raja Magada. Pada suatu hari Prabu Jarasanda berniat melamar Dewi Rukmini putri Prabu Bismaka di Kerajaan Kumbina untuk menjadi istri Prabu Supala.
Namun sayang sekali, mereka terlambat karena Dewi Rukmini telah resmi menjadi istri Raden Narayana (Prabu Kresna). Hal ini membuat Prabu Supala membenci gurunya itu dan semakin erat bersahabat dengan Prabu Jarasanda yang juga menyimpan dendam atas kematian Prabu Kangsa beberapa tahun silam.
Prabu Supala kali ini dihadap Raden Supali yang merengek ingin dinikahkan dengan Dewi Srikandi, putri Kerajaan Cempalareja. Prabu Supala pun berkata bahwa dirinya mendengar kabar tentang Dewi Srikandi yang mengadakan sayembara, yaitu bersedia menikah hanya dengan orang yang bisa memulihkan Taman Maherakaca yang sudah hangus dalam waktu semalam.
Sayembara sulit semacam itu mana mungkin bisa diwujudkan oleh Raden Supali? Maka, sebaiknya Raden Supali mengurungkan niatnya untuk memperistri Dewi Srikandi daripada mendapat malu seperti yang dulu pernah dialami Prabu Supala saat terlambat meminang Dewi Rukmini.
Raden Supali tidak peduli. Ia sudah bertekad bulat ingin memperistri Dewi Srikandi. Dirinya memang tidak memiliki kesaktian sihir untuk memperbaiki Taman Maherakaca dalam waktu semalam, namun ia memiliki Aji Sirep yang dapat digunakan untuk menculik Dewi Srikandi. Usai berkata demikian, Raden Supali pun melesat pergi meninggalkan istana.
Prabu Supala khawatir atas nasib adiknya. Ia lalu memerintahkan Patih Indrawaka untuk menyusul kepergian Raden Supali dengan membawa pasukan secukupnya.
PASUKAN CEDI BERTEMPUR DENGAN PASUKAN AMARTA
Patih Indrawaka dan pasukannya pun berangkat melaksanakan tugas. Di tengah jalan mereka bertemu dengan rombongan Prabu Puntadewa, Prabu Kresna, dan Prabu Baladewa yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Cempalareja.
Sikap kasar Patih Indrawaka telah membuat tersinggung Arya Setyaki yang berada di barisan paling depan. Terjadilah pertikaian di antara mereka yang berlanjut dengan pertempuran. Jumlah rombongan dari Kerajaan Amarta memang lebih sedikit, namun ada Arya Setyaki dan Raden Gatutkaca di sana yang membuat pasukan Kerajaan Cedi porak-poranda.
Patih Indrawaka yang merasa terdesak akhirnya menarik mundur pasukannya. Mereka pun mencari jalan lain untuk menghindari rombongan dari Kerajaan Amarta tersebut.
RESI DRUNA MENGIKUTI SAYEMBARA MEMBANGUN TAMAN
Sementara itu di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana dihadap Resi Druna dan Patih Sangkuni. Mereka membahas tentang berita sayembara membangun Taman Maherakaca dalam waktu semalam di Kerajaan Cempalareja.
Prabu Duryudana memohon kepada Resi Druna agar mengikuti sayembara tersebut karena ia yakin pada kesaktian sang guru. Apabila Resi Druna berhasil memperistri Dewi Srikandi, maka Kerajaan Hastina akan mendapat banyak keuntungan.
Keuntungan pertama, Prabu Drupada raja Cempalareja beserta Raden Drestajumena akan menjadi sekutu para Kurawa. Kedua, Dewi Srikandi yang pandai memanah dan mampu menewaskan Prabu Jungkungmardeya bisa menjadi kepala prajurit wanita di Kerajaan Hastina.
Ketiga, Resi Druna bisa mendapatkan seorang istri cantik dan bisa memperbaiki hubungan pertemanan dengan Prabu Drupada.
Resi Druna sangat tertarik mendengarnya. Ia pun menyatakan bersedia dan segera berangkat menuju Cempalareja dengan ditemani Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni.
RADEN ARJUNA MENDAPAT PUSAKA DARI BATARA KAMAJAYA DAN BATARI RATIH
Raden Arjuna yang lama menghilang dari Kesatrian Madukara ternyata sedang bertapa di Hutan Jatirokeh untuk mendapatkan pusaka dari dewata sebagai sarana memperbaiki Taman Maherakaca. Tiba-tiba saja dirinya diserang oleh sepasang raksasa suami-istri yang sedang mencari mangsa.
Raden Arjuna pun bertarung menghadapi raksasa dan raksasi itu. Selang agak lama barulah ia berhasil menewaskan mereka. Sungguh ajaib, mayat kedua lawannya itu musnah dan berubah menjadi Batara Kamajaya dan Batari Ratih. Raden Arjuna pun menyembah hormat kepada mereka berdua.
Batara Kamajaya yang menganggap Raden Arjuna sebagai adik angkat pun menjelaskan bahwa dirinya diutus Batara Guru untuk menyerahkan pusaka Candusakti dan Mustikaning Sri sebagai sarana untuk memperbaiki Taman Maherakaca.
Batara Kamajaya juga mengabarkan bahwa Raden Arjuna harus bersaing melawan gurunya sendiri, yaitu Resi Druna yang saat ini sudah berangkat untuk mengikuti sayembara di Kerajaan Cempalareja tersebut. Usai memberikan restu, Batara Kamajaya dan Batari Ratih segera undur diri kembali ke Kahyangan Cakrakembang.
RADEN ARJUNA DAN ARYA WREKODARA MENYAMAR SEBAGAI TUMENGGUNG
Raden Arjuna termangu-mangu mendengar berita bahwa sang guru juga mengikuti sayembara membangun Taman Maherakaca. Ia menjadi bimbang apakah harus tetap melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Cempalareja, ataukah cukup sampai di sini saja.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba Arya Wrekodara datang dan bergembira karena akhirnya dapat menemukan adiknya yang lama hilang tersebut.
Arya Wrekodara berkata bahwa dirinya diutus sang kakak sulung (Prabu Puntadewa) untuk mencari hilangnya Raden Arjuna. Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya ia dapat menemukan sang adik di dalam Hutan Jatirokeh bersama para panakawan.
Raden Arjuna berkata bahwa dirinya bertapa untuk memohon anugerah dewata sebagai sarana memperbaiki Taman Maherakaca. Tapa brata tersebut diterima, di mana Batara Kamajaya dan Batari Ratih turun menyerahkan pusaka Candusakti dan Mustikaning Sri kepadanya.
Namun, kedua dewa-dewi itu juga mengabarkan bahwa Resi Druna telah berangkat untuk mengikuti sayembara di Kerajaan Cempalareja. Hal inilah yang membuat Raden Arjuna bimbang.
Arya Wrekodara bertanya mengapa adiknya itu bimbang. Raden Arjuna pun menjawab bahwa ia sangat segan bersaing dengan guru sendiri, yang selama ini telah berjasa besar mengajarkan banyak ilmu kepadanya.
Sungguh memalukan apabila seorang murid harus bersaing dengan gurunya sendiri demi memperebutkan perempuan. Apa mungkin sebaiknya Raden Arjuna berhenti sampai di sini saja?
Arya Wrekodara menasihati Raden Arjuna agar jangan hanya melihat perasaan sendiri tetapi juga harus membayangkan bagaimana perasaan Dewi Srikandi. Jika memang Dewi Srikandi mencintai Raden Arjuna, mengapa pula harus ragu untuk bersaing dengan Resi Druna.
Apabila sampai Resi Druna yang menang, kira-kira bagaimana perasaan Dewi Srikandi bersanding dengan seorang pria tua buruk rupa? Lagipula dewata telah menurunkan dua pusaka, itu berarti Raden Arjuna mendapat restu dari Kahyangan untuk berjodoh dengan Dewi Srikandi.
Raden Arjuna senang mendengar dorongan semangat dari kakaknya, namun ia masih bimbang dalam dua hal. Pertama, ia segan bersaing dengan guru sendiri, dan yang kedua, ia ragu apakah Dewi Srikandi benar-benar masih mencintainya setelah peristiwa tempo hari.
Saat itu, Dewi Drupadi datang ke Kesatrian Madukara melabrak Dewi Srikandi, sedangkan Raden Arjuna merasa malu dan segera lari bersembunyi. Ia ragu jangan-jangan perbuatannya itu telah melunturkan perasaan cinta Dewi Srikandi kepadanya.
Mendengar itu, Kyai Semar menyarankan agar Raden Arjuna menyamar saja saat mengikuti sayembara nanti. Dengan demikian, Resi Druna tidak akan malu karena dikalahkan oleh orang lain, bukan oleh murid sendiri.
Selain itu, Raden Arjuna dalam wujud samaran juga bisa mencari tahu apakah Dewi Srikandi masih mencintainya atau tidak. Apabila Raden Arjuna tampil dalam wujud asli, tentunya akan sangat malu jika ditolak oleh Dewi Srikandi.
Arya Wrekodara mendukung saran Kyai Semar dan ia bersedia ikut menyertai sang adik menyamar. Raden Arjuna menimbang-nimbang dan akhirnya bersedia mengganti penampilan. Raden Arjuna pun memakai nama samaran Tumenggung Cakranegara, sedangkan Arya Wrekodara memakai nama Tumenggung Sindulaga.
Adapun para panakawan juga ikut menyamar pula. Kyai Semar mengganti nama menjadi Kyai Sidanaya, Nala Gareng memakai nama Sidamaju, Petruk memakai nama Sidarame, sedangkan Bagong memakai nama Sidamurah. Mereka berenam lalu berangkat menuju Kerajaan Cempalareja.
DEWI DRUPADI MEMINTA MAAF KEPADA DEWI SRIKANDI
Prabu Drupada di Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan) telah menerima kedatangan Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, Prabu Baladewa, dan juga Dewi Drupadi. Ia bertanya apakah ketiga raja berniat mengikuti sayembara memperbaiki Taman Maherakaca.
Prabu Kresna yang mewakili bicara menjelaskan bahwa mereka datang hanya sebagai penonton saja, yaitu ingin menyaksikan siapa kira-kira manusia sakti yang mampu mewujudkan sumpah Dewi Srikandi.
Dalam kesempatan itu, Dewi Drupadi pun berkata bahwa dirinya ingin meminta maaf atas perbuatan kasarnya kepada Dewi Srikandi tempo hari. Prabu Drupada senang mendengarnya dan segera memanggil Dewi Srikandi agar keluar.
Dewi Srikandi pun datang dan segera disambut Dewi Drupadi dengan berlinang air mata. Dewi Drupadi di hadapan semua orang berkata bahwa dirinya menyesal telah melabrak dan juga memukul adiknya sendiri di Taman Maduganda. Ia sungguh-sungguh ingin meminta maaf kepada adiknya itu dengan disaksikan para hadirin saat ini juga.
Dewi Srikandi hanya terdiam, dan ini membuat Dewi Drupadi semakin sedih. Dewi Drupadi pun bersumpah semoga kelak dirinya ganti dipermalukan di depan umum, sama seperti saat ia menjambak dan menampar sang adik di hadapan Raden Arjuna tempo hari.
Tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar pertanda dewata menyaksikan sumpah Dewi Drupadi. Dewi Srikandi pun gemetar ketakutan. Ia lalu memeluk kakak sulungnya itu erat-erat. Sambil menangis ia berkata bahwa dirinya telah memaafkan perbuatan kasar sang kakak dan tidak perlu bersumpah seperti itu.
Sambil tetap berangkulan, Dewi Srikandi kemudian mengajak Dewi Drupadi masuk ke dalam untuk meninjau Taman Maherakaca yang telah hangus menjadi puing-puing.
RESI DRUNA MELAMAR DEWI SRIKANDI
Tidak lama kemudian Resi Druna pun datang dengan didampingi Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni. Prabu Drupada menyambut mereka dengan ramah. Resi Druna berterus terang bahwa dirinya berniat melamar Dewi Srikandi sebagai istri. Apabila Prabu Drupada mengabulkan, maka ini dapat memperbaiki pertikaian di antara mereka pada masa yang lalu.
Belasan tahun silam Resi Druna pernah mengalami penghinaan yang dilakukan oleh Arya Gandamana, adik ipar Prabu Drupada. Tubuhnya disiksa dari yang semula tampan menjadi buruk rupa. Setelah diterima bekerja sebagai guru para Kurawa dan Pandawa, Resi Druna pun membalas penghinaan tersebut dengan cara mengirim murid-muridnya untuk menyerang Kerajaan Pancala.
Akhirnya, Prabu Drupada dapat diringkus oleh Raden Arjuna, sedangkan Arya Gandamana mengaku kalah kepada Raden Bimasena (Wrekodara). Berkat kemenangan murid-muridnya itulah, Resi Druna dapat menguasai Kerajaan Pancala.
Ia lalu membagi kerajaan ini menjadi dua, yaitu bagian utara untuk dirinya, sedangkan bagian selatan diserahkan kepada Prabu Drupada. Maka, Prabu Drupada pun membangun istana baru di Pancala Selatan, yang diberi nama Kerajaan Cempalareja.
Resi Druna kini datang untuk memperbaiki hubungan tersebut. Apabila dirinya bisa menikah dengan Dewi Srikandi, maka ia berjanji akan mengembalikan wilayah Pancala Utara, sehingga Prabu Drupada bisa kembali memimpin Kerajaan Pancala secara utuh seperti sediakala.
Untuk itu, ia menyarankan sebaiknya sayembara membangun Taman Maherkaca dibatalkan saja. Prabu Drupada lebih baik langsung menerima lamaran Resi Druna dan sekaligus menerima wilayah Pancala Utara tanpa perlu bersusah payah segala.
Prabu Drupada merasa bimbang mendengar tawaran Resi Druna. Namun, ia sadar sebagai seorang raja tidak boleh seenaknya mengubah-ubah keputusan. Ia juga telah berjanji akan mendukung penuh sumpah putrinya yang ingin memperbaiki harga diri.
Maka, ia pun berkata bahwa dirinya sudah puas hanya memimpin wilayah Pancala Selatan saja. Mengenai lamaran Resi Druna kepada Dewi Srikandi, tetap harus melalui sayembara membangun Taman Maherakaca.
Resi Druna, Prabu Duryudana, dan Patih Sangkuni kecewa mendengar keputusan Prabu Drupada. Resi Druna lalu meminta izin untuk melihat Taman Maherakaca. Prabu Drupada pun mempersilakannya dan memerintahkan Raden Drestajumena untuk ikut mengantar.
RESI DRUNA MENCOBA MEMPERBAIKI TAMAN MAHERAKACA
Sesampainya di dalam, Resi Druna melihat Taman Maherakaca sudah hangus menjadi puing-puing, serta kolam-kolam pun surut airnya. Di sana ia melihat Dewi Srikandi dan Dewi Drupadi sedang meninjau taman rusak tersebut. Kedua perempuan itu menyembah memberi hormat, kemudian segera pergi meninggalkan tempat itu.
Resi Druna lalu bersamadi mengheningkan cipta memohon bantuan dewata. Namun, perasaannya selalu gelisah karena terbayang-bayang wajah Dewi Srikandi yang baru saja dilihatnya. Berkali-kali Resi Druna mengulang samadi, namun tetap saja bayangan Dewi Srikandi yang muncul di dalam benaknya. Hingga akhirnya ia pun tertidur di dalam samadinya yang entah sudah diulangi berapa kali.
Prabu Drupada datang meninjau dan membangunkan Resi Druna yang ketiduran. Resi Druna geragapan dan segera berkata bahwa dirinya telah bersamadi untuk memperbaiki Taman Maherakaca secara gaib. Ia yakin besok pagi taman rusak tersebut pasti pulih kembali seperti sediakala.
Prabu Drupada bimbang apakah benar demikian. Namun, biarlah waktu saja yang menjawabnya. Ia lalu mempersilakan Resi Druna beserta rombongan dari Kerajaan Hastina untuk beristirahat di kamar tamu yang telah disediakan karena malam semakin larut.
TUMENGGUNG CAKRANEGARA MELAMAR DEWI SRIKANDI
Setelah Resi Druna dan rombongan pergi beristirahat, Prabu Drupada menerima kedatangan Tumenggung Cakranegara, Tumenggung Sindulaga, dan para panakawan. Tumenggung Cakranegara memperkenalkan dirinya dan juga Tumenggung Sindulaga adalah dua perwira dari Kerajaan Parangteja di seberang lautan yang mendengar kabar bahwa Prabu Drupada raja Cempalareja mengadakan sayembara untuk memperebutkan Dewi Srikandi. Untuk itu, ia pun berniat mengikuti sayembara tersebut.
Prabu Drupada berkata bahwa sayembara ini sangat sulit, yaitu memperbaiki Taman Maherakaca yang sudah rusak parah agar kembali pulih seperti sediakala hanya dalam waktu semalam saja. Tumenggung Cakranegara menjawab sanggup.
Prabu Drupada lalu meminta pendapat ketiga raja karena dirinya merasa bimbang ada dua perwira yang tidak jelas asal usulnya ingin mengikuti sayembara.
Prabu Kresna yang berpandangan tajam dapat mengenali siapa sebenarnya Tumenggung Cakranegara dan Tumenggung Sindulaga, yang tidak lain adalah penyamaran Raden Arjuna dan Arya Wrekodara. Ia lalu berkata kepada Prabu Drupada agar mempersilakan mereka mengikuti sayembara, karena jodoh Dewi Srikandi bisa saja berasal dari tempat yang tidak terduga. Mendengar itu, Prabu Drupada pun setuju dan mempersilakan mereka berdua untuk masuk ke dalam taman.
Tumenggung Cakranegara segera masuk menuju Taman Maherakaca dengan diantar Raden Drestajumena, sedangkan Tumenggung Sindulaga dan para panakawan menunggu di luar. Sesampainya di sana, Tumenggung Cakranegara lalu mengeluarkan pusaka pemberian dewata berupa Candusakti dan Mustikaning Sri.
Kemampuan pusaka Candusakti adalah mampu memperbaiki tembok yang roboh menjadi tegak kembali, serta kolam yang kering menjadi kembali berisi air jernih. Ikan-ikan yang tadinya mati pun kembali hidup dan berenang-renang di dalam kolam. Sementara itu, pusaka Mustikaning Sri mampu membuat tanah kembali gembur, serta tanaman yang hangus kembali tumbuh subur dan berbunga lebat.
Raden Drestajumena takjub melihat kehebatan Tumenggung Cakranegara dalam memperbaiki Taman Maherakaca dalam waktu singkat. Ia pun hendak berlari memberi tahu sang ayah tetapi tiba-tiba matanya sangat mengantuk seperti terkena ilmu sirep. Tanpa sadar Raden Drestajumena pun jatuh tertidur dengan bersandar di sebatang pohon.
Melihat itu, Tumenggung Cakranegara yakin pasti ada yang tidak beres. Ia pun segera mengheningkan cipta sambil membaca mantra penangkal sirep agar dirinya tetap terjaga.
RADEN SUPALI MENCURI SENJATA NANGGALA
Saat itu Raden Supali dari Kerajaan Cedi telah menyusup masuk ke dalam istana Cempalareja untuk menculik Dewi Srikandi. Terlebih dahulu ia mengerahkan Aji Sirep untuk membuat semua penghuni istana tertidur pulas.
Satu persatu kamar dibukanya, mulai dari kamar tidur Prabu Drupada, Prabu Duryudana, Resi Druna, Patih Sangkuni, Prabu Puntadewa, dan yang paling menarik perhatiannya adalah kamar tidur yang berisi Prabu Baladewa.
Malam itu Prabu Baladewa tertidur pulas akibat pengaruh ilmu sirep Raden Supali. Dalam tidurnya itu, Prabu Baladewa mimpi bertarung melawan Prabu Kangsa yang hidup kembali. Ia pun mengigau dan membaca mantra untuk mengeluarkan senjata Nanggala. Akibatnya, senjata tersebut benar-benar keluar dari tangan Prabu Baladewa di alam nyata.
Raden Supali terkejut melihat ada pusaka keluar dari tangan Prabu Baladewa yang sedang tidur. Ia pun segera mengambil pusaka tersebut dan membawanya pergi keluar kamar.
TUMENGGUNG CAKRANEGARA MEMBUNUH RADEN SUPALI
Raden Supali lalu tersesat ke dalam Taman Maherakaca di mana ia melihat Raden Drestajumena tertidur pulas dengan bersandar pada sebatang pohon, sedangkan Tumenggung Cakranegara sedang sibuk membersihkan rumput liar.
Raden Supali heran melihat Tumenggung Cakranegara tidak tertidur oleh ilmu sirepnya. Ia pun segera bertanya dan dijawab oleh Tumenggung Cakranegara yang mengaku sebagai juru taman di Maherakaca, bernama Saramba.
Raden Supali lalu bertanya di mana kamar Dewi Srikandi karena ia ingin menculik putri tersebut. Apabila Tumenggung Cakranegara bersedia menunjukkan, maka akan mendapat hadiah banyak uang darinya.
Tumenggung Cakranegara berkata dirinya tidak meminta hadiah berupa uang tetapi meminta pusaka yang dibawa Raden Supali. Raden Supali heran mengapa seorang juru taman meminta hadiah pusaka segala.
Tumenggung Cakranegara pun menjawab bahwa Dewi Srikandi adalah calon istri Raden Arjuna yang sangat sakti. Apabila ketahuan bahwa dirinya membantu Raden Supali menculik Dewi Srikandi, tentu Raden Arjuna akan marah besar dan membunuhnya.
Oleh sebab itu, Tumenggung Cakranegara membutuhkan pusaka ampuh untuk menghadapi kesatria Pandawa tersebut.
Raden Supali menimbang-nimbang mana yang lebih penting, apakah Dewi Srikandi ataukah pusaka yang baru saja dicurinya. Akhirnya, ia pun menyerahkan senjata Nanggala kepada Tumenggung Cakranegara yang dikiranya juru taman biasa.
Tumenggung Cakranegara menerima pusaka tersebut dan langsung menggunakannya untuk memukul dada Raden Supali. Seketika Raden Supali pun roboh dan kehilangan nyawa.
DEWI SRIKANDI MENGAJUKAN SYARAT KEPADA TUMENGGUNG CAKRANEGARA
Begitu Raden Supali terbunuh, pengaruh ilmu sirepnya langsung pudar seketika. Satu persatu penghuni istana Cempalareja pun terbangun dari tidurnya. Mereka lalu datang ke Taman Maherakaca dan kagum melihat semuanya telah pulih kembali, terutama Prabu Drupada dan Dewi Srikandi.
Raden Drestajumena bersaksi bahwa Tumenggung Cakranegara adalah orang yang berhasil memenangkan sayembara ini. Dewi Srikandi agak kecewa karena sang pemenang ternyata bukan Raden Arjuna yang ia rindukan, tetapi seorang laki-laki yang tidak jelas asal usulnya.
Ia pun mengajukan syarat kepada Tumenggung Cakranegara bahwa kelak saat upacara pernikahan harus bisa menyediakan dua orang patah pengantin yang masing-masing berwajah tampan bersemu cantik. Semua orang terkejut mendengar permintaan ini. Namun, Tumenggung Cakranegara menyanggupi hal itu tanpa membantah.
Tiba-tiba Prabu Baladewa datang dengan marah-marah, menuduh Tumenggung Cakranegara telah mencuri pusaka Nanggala dari tangannya. Tumenggung Cakranegara menjelaskan bahwa yang mencuri bukan dirinya, melainkan Raden Supali yang saat ini telah menjadi mayat. Raden Supali ini juga yang telah mengerahkan Aji Sirep untuk membius seisi istana Cempalareja.
Prabu Baladewa masih saja marah-marah tidak percaya dan berniat menghajar Tumenggung Cakranegara. Melihat adiknya dalam bahaya, Tumenggung Sindulaga segera melindungi dan menantang Prabu Baladewa untuk menghadapi dirinya saja.
Prabu Kresna pun muncul melerai mereka berdua. Ia berkata bahwa dirinya tadi hanya pura-pura tidur saat Raden Supali mengerahkan Aji Sirep. Ia pun membuntuti pangeran dari Cedi tersebut dan menyaksikan sendiri bahwa pencuri senjata Nanggala memang benar Raden Supali. Adapun Tumenggung Cakranegara justru telah berhasil merebutnya kembali.
Prabu Baladewa langsung reda kemarahannya setelah mendengar kesaksian dari sang adik. Ia pun menerima Senjata Nanggala yang disodorkan Tumenggung Cakranegara sambil berterima kasih. Tumenggung Sindulaga kemudian mengangkat mayat Raden Supali dan melemparkannya dengan sekuat tenaga ke arah Kerajaan Cedi.
PRABU SUPALA MENYERANG KERAJAAN CEMPALAREJA
Sementara itu, Prabu Supala sangat khawatir pada keselamatan adiknya. Ia pun berangkat menuju Kerajaan Cempalareja dan berhasil menyusul Patih Indrawaka beserta pasukannya. Di tengah jalan, mereka melihat mayat Raden Supali jatuh dari langit.
Prabu Supala sangat marah bercampur sedih. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk segera menggempur Kerajaan Cempalareja.
Di lain pihak, Prabu Drupada telah mendapat laporan bahwa Prabu Supala dan pasukannya datang menyerang untuk membalas kematian Raden Supali. Mendengar itu, Tumenggung Sindulaga dan Tumenggung Cakranegara segera mohon pamit untuk menghadapi mereka.
Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan Cedi yang berjumlah banyak tersebut porak-poranda oleh amukan dua orang saja. Prabu Supala akhirnya dapat diringkus oleh Tumenggung Cakranegara, sedangkan Patih Indrawaka diringkus oleh Tumenggung Sindulaga.
Kedua orang Cedi itu lalu dihadapkan kepada Prabu Drupada. Prabu Kresna datang dan meminta agar mereka dibebaskan saja, karena Prabu Supala dulu pernah menjadi muridnya. Mendengar saran tersebut, Prabu Drupada pun mengabulkan. Ia lalu mempersilakan Prabu Supala dan Patih Indrawaka agar segera pulang kembali ke Kerajaan Cedi.
Prabu Supala dengan lagak angkuh berkata kepada Prabu Kresna bahwa dirinya tidak akan berterima kasih, melainkan justru memaki gurunya itu sebagai begal, maling, perampok, penipu, tukang sihir, dan segala jenis makian kasar lainnya. Prabu Baladewa sangat marah mendengar adiknya dihina dan hendak melabrak Prabu Supala, namun segera dicegah oleh Prabu Kresna.
Setelah Prabu Supala dan pasukannya pergi, barulah Prabu Kresna menceritakan semuanya. Dahulu kala Prabu Supala dilahirkan dalam keadaan cacat dan bisa berubah menjadi normal setelah diruwat oleh dirinya yang saat itu masih bernama Raden Narayana.
Prabu Darmagosa raja Cedi kala itu pun bercerita bahwa dewata telah memberikan petunjuk, yaitu ciri-ciri orang yang bisa meruwat putranya adalah berkulit hitam cemani, sekaligus juga menjadi pembunuh putranya tersebut kelak.
Oleh sebab itu, Prabu Darmagosa dan Dewi Srutawati pun memohon kepada Raden Narayana agar tidak membunuh Raden Supala, serta menjadikannya sebagai murid. Raden Narayana bersedia, namun Raden Supala hanya diberi kesempatan seratus kali berbuat salah. Lebih dari itu, maka Raden Narayana alias Prabu Kresna terpaksa harus menggenapi takdir, yaitu membunuh muridnya sendiri.
Setelah Raden Supala berguru kepada Prabu Kresna, ia lalu naik takhta menggantikan Prabu Darmagosa yang meninggal dunia. Ia juga menjalin persahabatan dengan Prabu Jarasanda yang menyimpan dendam kepada Prabu Kresna dan Prabu Baladewa atas kematian Prabu Kangsa.
Sejak itulah Prabu Jarasanda menghasut Prabu Supala agar membenci dan memusuhi gurunya sendiri. Ditambah lagi rasa cemburu karena Dewi Rukmini telah menjadi istri Prabu Kresna, membuat kebencian Prabu Supala semakin berkobar.
Maka, begitu ada kesempatan, Prabu Supala pun memaki Prabu Kresna dengan segala kata-kata kasar seperti tadi. Prabu Kresna sepertinya diam tidak membalas, padahal dalam hati ia menghitung. Ternyata makian tadi jumlahnya tidak sampai seratus, sehingga ia pun mengampuni bekas muridnya itu.
Prabu Baladewa kagum melihat kesabaran Prabu Kresna. Andai saja dirinya yang dimaki seperti tadi, mungkin nyawa Prabu Supala sudah melayang saat itu juga.
PARA KURAWA MENGAMUK HENDAK MEREBUT DEWI SRIKANDI
Resi Druna yang baru bangun dari tidur terkejut melihat Taman Maherakaca sudah pulih kembali dan ia pun berkata bahwa ini semua adalah hasil samadinya tadi malam. Prabu Drupada pun menjelaskan bahwa yang berhasil memperbaiki Taman Maherakaca adalah Tumenggung Cakranegara dengan disaksikan Raden Drestajumena.
Resi Druna sangat marah dan bersikeras bahwa ini adalah hasil kerjanya. Ia juga menyebut Raden Drestajumena sebagai murid durhaka karena lebih membela orang lain daripada membela guru sendiri. Raden Drestajumena menjawab dirinya hanya membela kebenaran, tidak peduli harus berhadapan dengan guru atau siapa pun juga.
Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni ikut marah dan segera memerintahkan para Kurawa untuk menculik Dewi Srikandi. Mendengar itu, Tumenggung Sindulaga segera maju melabrak para Kurawa. Seorang diri ia bertanding dengan tangkas dan membuat para Kurawa berhamburan meninggalkan Kerajaan Cempalareja.
Resi Druna pun maju menghadapi Tumenggung Sindulaga yang merupakan penyamaran Arya Wrekodara. Karena merasa segan bertarung dengan guru sendiri, Tumenggung Sindulaga memilih mundur. Resi Druna pun mengamuk merusak Taman Maherakaca, sedangkan para hadirin banyak yang segan kepadanya.
Akhirnya, Arya Setyaki yang maju menghadapi Resi Druna yang sedang kalap tersebut. Dengan cekatan, kesatria berbadan kecil itu pun berhasil meringkus pendeta itu dan membawanya keluar dari istana Cempalareja.
TUMENGGUNG CAKRANEGARA DAN TUMENGGUNG SINDULAGA MENDAPAT KEDUDUKAN
Taman Maherakaca yang telah dirusak oleh Resi Druna kembali diperbaiki Tumenggung Cakranegara dengan menggunakan pusaka Candusakti dan Mustikaning Sri. Kali ini Prabu Drupada, Dewi Srikandi, dan para hadirin lainnya dapat menyaksikan secara langsung kehebatan Tumenggung Cakranegara. Namun demikian.
Dewi Srikandi masih kecewa karena bukan Raden Arjuna yang memenangkan sayembara. Ia pun berkata bahwa syarat yang diucapkannya tadi masih tetap berlaku. Ia berharap Tumenggung Cakranegara gagal mewujudkan itu sehingga batal pula menikah dengannya.
Prabu Kresna mendekati Tumenggung Cakranegara dan berbisik kepadanya mengapa tidak segera membuka penyamaran. Tumenggung Cakranegara menjawab bahwa dirinya akan membuka penyamaran apabila nanti sudah mengetahui isi hati Dewi Srikandi yang sebenarnya.
Demikianlah, Prabu Drupada pun mengadakan pesta syukuran atas pulihnya Taman Maherakaca. Soal pernikahan dengan Dewi Srikandi akan dilaksanakan nanti, yaitu apabila Tumenggung Cakranegara sudah memenuhi syarat mampu menyediakan patah sakembaran berupa dua orang pemuda yang berparas tampan bersemu cantik.
Namun demikian, Prabu Drupada juga mempunyai hadiah tersendiri untuk Tumenggung Cakranegara dan Tumenggung Sindulaga atas kemenangan mereka mengalahkan musuh dari Kerajaan Cedi.
Kedua bersaudara itu pun diangkat sebagai punggawa Kerajaan Cempalareja, dan masing-masing mendapat hadiah sebidang tanah. Tumenggung Sindulaga mendapat tanah lungguh di Puger Tengah, sedangkan Tumenggung Cakranegara mendapat tanah lungguh di Warubinatur.
Srikandi sayembara kisah wayang yang di main para dalang terutama ki narto sabdo
ReplyDelete