PRABU BRAHMASATAPA MEMBUNUH KATAK BERTAPA
Pada suatu hari Prabu Brahmasatapa berburu di hutan dengan ditemani Patih Brahmasadana. Setelah puas mendapatkan banyak kijang, kelinci, dan babi hutan, mereka pun berniat pulang. Dalam perjalanan menuju istana Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa dan Patih Brahmasadana menjumpai seekor katak yang sedang bertapa.
Prabu Brahmasatapa merasa heran sekaligus geli melihat pemandangan aneh tersebut. Ia pun mengejek si katak untuk apa bertapa segala, apakah ingin menjadi dewa katak? Patih Brahmasadana sebenarnya tidak setuju pada sikap Prabu Brahmasatapa, namun ia diam saja tanpa berkata apa-apa.
Sementara itu, Prabu Brahmasatapa terus-menerus menertawakan katak tersebut dengan sikap menghina.
Tak disangka, katak itu mampu berbicara dan mengatakan bahwa Prabu Brahmasatapa tidak sepantasnya merendahkan sesama makhluk. Meskipun sebagai binatang namun jika mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa tentu derajatnya lebih mulia daripada manusia yang mengedepankan angkara murka. Prabu Brahmasatapa sangat tersinggung pada ucapan tersebut. Ia pun membunuh katak itu dan merobek-robek bangkainya.
Tiba-tiba langit berubah menjadi gelap dan halilintar menyambar-nyambar. Terdengar suara si katak berkumandang di angkasa, mengatakan bahwa sebentar lagi Prabu Brahmasatapa akan mendapatkan balasan dari dewata. Mendengar itu, Prabu Brahmasatapa dan Patih Brahmasadana merinding ketakutan dan buru-buru pergi meninggalkan tempat tersebut.
PRABU BRAHMASATAPA DAN PATIH BRAHMASADANA MENINGGAL DUNIA
Sesampainya di istana Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa sangat menyesali perbuatannya dan jatuh sakit. Setelah dirawat beberapa hari ternyata sakitnya bertambah parah dan akhirnya ia pun meninggal dunia.
Sementara itu, Patih Brahmasadana juga merasa bersalah karena sebagai menteri utama, harusnya ia mengingatkan rajanya jika berbuat kesalahan.
Patih Brahmasadana merasa gagal dalam menjalankan tugas dan ia pun meletakkan jabatannya, lalu masuk ke sanggar pemujaan untuk mengheningkan cipta, melepaskan rohnya sendiri.
Kerajaan Gilingwesi pun berkabung. Prabu Sri Mahawan dari Kerajaan Purwacarita, Prabu Basupati dari Kerajaan Wirata, dan Prabu Sriwahana dari Kerajaan Medang kamulan datang menyampaikan belasungkawa. Setelah masa berkabung selesai, Raden Parikenan dilantik sebagai raja Gilingwesi yang baru, bergelar Prabu Parikenan.
Adapun yang diangkat sebagai menteri utama adalah menantu Patih Brahmasadana yang bernama Arya Sangkaya, putra Arya Brahmastuti. Sementara itu, yang dijadikan sebagai punggawa kerajaan adalah Arya Sanyaki putra Arya Brahmastuti, dan Arya Jatmaka putra Arya Brahmayana.
Prabu Parikenan lalu mengangkat pula keempat pamannya sebagai pandita kerajaan, yang masing-masing kemudian bergelar Resi Brahmastuti, Resi Brahmayana, Resi Brahmanasidi, dan Resi Brahmanajati.
PRABU SRI MAHAWAN TURUN TAKHTA MENJADI BRAHMANA
Setelah upacara pelantikan Prabu Parikenan sebagai raja Gilingwesi usai, para tamu pun mohon pamit kembali ke negeri masing-masing. Dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Purwacarita, Prabu Sri Mahawan selalu merenung memikirkan kematian Prabu Brahmasatapa yang sangat mendadak.
Ia merasa seorang raja yang memiliki kekuasaan besar dan ilmu kesaktian tinggi tetap saja tidak dapat menghindar dari maut, apalagi kalau berbuat salah terhadap sesama ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah berpikir keras, Prabu Sri Mahawan akhirnya memutuskan untuk turun takhta dan menjadi brahmana agar bisa lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Maka, begitu sampai di istana, Prabu Sri Mahawan pun mengumumkan pengunduran dirinya dan menyerahkan takhta Kerajaan Purwacarita kepada putra nomor dua, yaitu Raden Wahnaya (karena putra sulung telah menjadi raja di Medang Kamulan).
Prabu Sri Mahawan lalu menjadi brahmana bergelar Begawan Kalacakra dan membangun sebuah tempat pertapaan yang diberi nama Candi Astaka.
Raden Wahnaya pun dilantik menjadi raja Purwacarita yang baru, bergelar Prabu Srikala. Sementara itu, Patih Pujangkara juga meletakkan jabatannya sebagai menteri utama, dan digantikan putranya, yang bergelar Patih Sadaskara.
BATARA GURU MENGUJI KESUNGGUHAN BEGAWAN KALACAKRA
Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka mendapat laporan dari Batara Indra bahwa para bidadari di Kahyangan Suralaya merasa kepanasan karena hawa pertapaan yang dipancarkan Begawan Kalacakra dari Candi Astaka. Rupa-rupanya Begawan Kalacakra bertapa ingin mencapai kesempurnaan hidup dan mendapatkan derajat kemuliaan yang lebih tinggi.
Batara Guru pun mengutus Batari Durga untuk menguji kesungguhan Begawan Kalacakra. Batari Durga segera mengubah wujudnya menjadi Batara Guru palsu dan mendarat di Candi Astaka. Mengetahui kedatangan Batara Guru palsu tersebut, Begawan Kalacakra pun bangun dari samadi dan menyambutnya dengan hormat.
Batara Guru palsu lalu menguji ilmu pengetahuan Begawan Kalacakra. Mereka berdua kemudian terlibat perdebatan adu kepandaian hingga akhirnya Batara Guru palsu kalah dan kembali ke wujud Batari Durga, kemudian buru-buru pergi meninggalkan candi tersebut.
BEGAWAN KALACAKRA DIANGKAT MENJADI DEWA
Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka menerima laporan dari Batari Durga bahwa Begawan Kalacakra telah lulus ujian. Rupanya di antara ketiga raja yang dulu berguru kepada Sri Maharaja Wisaka (Batara Ajisaka), yang berhasil menyerap ilmu paling banyak adalah Prabu Sri Mahawan atau Begawan Kalacakra tersebut.
Batara Guru lantas mengutus Batara Narada untuk menjemput Begawan Kalacakra dan mengangkatnya menjadi dewa seperti kedua kakaknya terdahulu, yaitu Dewi Sri dan Raden Sadana. Batara Narada segera mohon pamit berangkat melaksanakan tugas tersebut.
Batara Narada telah tiba di Candi Astaka menemui Begawan Kalacakra yang sedang bersamadi. Begawan Kalacakra terbangun dan menyambut Batara Narada dengan penuh hormat. Dengan penglihatannya yang tajam, ia dapat membedakan bahwa yang datang kali ini adalah Batara Narada asli, sedangkan yang tadi mendebatnya adalah Batara Guru palsu.
Batara Narada menjelaskan maksud kedatangannya adalah untuk menjemput Begawan Kalacakra menjadi dewa penghuni kahyangan sebagaimana kedua kakaknya dulu, yaitu Dewi Sri dan Raden Sadana. Begawan Kalacakra tunduk dan menurut pada keputusan tersebut.
Maka, Batara Narada pun membawanya naik ke kahyangan dan menjadikannya sebagai dewa bergelar Batara Kalacakra. Namun demikian, yang dibawa Batara Narada hanyalah roh Batara Kalacakra saja, sedangkan jasadnya ditinggalkan di dalam Candi Astaka.
PRABU SRIWAHANA MENINGGAL DUNIA
Prabu Srikala sangat terkejut saat mengetahui sang ayah telah meninggal dunia dan jasadnya ditemukan dalam keadaan duduk bersila di ruangan Candi Astaka. Ia lalu mengirimkan berita duka itu kepada sang kakak di Kerajaan Medang Kamulan, yaitu Prabu Sriwahana.
Prabu Sriwahana sangat terkejut mendengar kematian ayahnya yang sangat mendadak. Karena hatinya terlalu berduka, ia pun jatuh sakit dan meninggal pula. Istrinya yang bernama Dewi Hartati lalu melakukan bela pati menyusul kematian Prabu Sriwahana.
Prabu Sriwahana dan Dewi Hartati meninggalkan tiga orang putra yang masih kecil-kecil, bernama Raden Artaetu, Raden Etudarma, dan Raden Darmahanara. Ketiganya kemudian dibawa Resi Salikoswa dan Patih Kusalya menemui Prabu Srikala di Kerajaan Purwacarita.
Prabu Srikala sangat terkejut bercampur sedih mendengar berita kematian kakak dan kakak iparnya yang mendadak itu. Ia pun mengambil ketiga putra mereka yang diantarkan Resi Salikoswa dan Patih Kusalya untuk dijadikan sebagai anak angkat dan dipersaudarakan dengan putranya yang lahir dari Dewi Srini, yaitu Raden Sriwanda.
Dengan meninggalnya Prabu Sriwahana, maka Kerajaan Medang Kamulan tidak lagi memiliki raja dan oleh Prabu Srikala lalu dijadikan sebagai negeri bawahan Kerajaan Purwacarita.
PRABU BASUPATI MENGAMBIL MENANTU
Prabu Srikala kemudian mengabarkan berita kematian Begawan Kalacakra dan Prabu Sriwahana kepada Prabu Basupati di Kerajaan Wirata dan Prabu Parikenan di Kerajaan Gilingwesi. Begitu menerima berita tersebut, Prabu Basupati dan Prabu Parikenan segera berangkat dari negeri masing-masing memimpin rombongan belasungkawa menuju Kerajaan Purwacarita.
Dalam upacara pemakaman tersebut, Raden Basumurti putra sulung Prabu Basupati tertarik melihat salah seorang anggota rombongan dari Gilingwesi, yaitu Dewi Jatiswara putri Arya Brahmanaweda. Setelah upacara pemakaman selesai, Raden Basumurti segera memohon kepada ayahnya supaya dinikahkan dengan gadis cantik tersebut.
Prabu Basupati sebenarnya agak bimbang, karena Dewi Jatiswara adalah sepupu istri keduanya, yaitu Dewi Wakiswari, sehingga masih terhitung bibi Raden Basumurti sendiri. Maka, Prabu Basupati pun merundingkan hal itu dengan Dewi Wakiswari, Prabu Parikenan, dan Arya Brahmanaweda.
Setelah ditimbang-timbang, perjodohan antara Raden Basumurti dan Dewi Jatiswara tidaklah terlalu rumit jika dibandingkan dengan pernikahan antara Prabu Parikenan dan Dewi Brahmaneki dulu. Itu karena Raden Basumurti bukan putra kandung Dewi Wakiswari, sehingga bukan pula keponakan Dewi Wakiswari secara langsung.
Bahkan, jika dilihat dari silsilah ayah mereka, Raden Basumurti dan Dewi Jatiswara justru terhitung sepupu jauh.
Akhirnya, perundingan itu menyepakati perjodohan antara Raden Basumurti dan Dewi Jatiswara, sehingga hubungan antara Kerajaan Wirata dan Gilingwesi menjadi lebih erat lagi.
PERKAWINAN RADEN BASUMURTI DAN DEWI JATISWARA
Maka, pada hari yang telah ditentukan diadakanlah upacara perkawinan antara Raden Basumurti dengan Dewi Jatiswara yang diselenggarakan di Kerajaan Gilingwesi. Prabu Srikala ikut hadir memenuhi undangan. Dalam kesempatan itu ia tertarik melihat putri sulung Prabu Parikenan, yaitu Dewi Kaniraras dan ingin menjadikannya sebagai menantu.
Begitu upacara perkawinan selesai, Prabu Srikala segera menemui Prabu Parikenan dan mengutarakan keinginannya untuk berbesan, yaitu dengan mengikat perjodohan antara Dewi Kaniraras dan Raden Sriwanda. Prabu Parikenan menyambut baik lamaran tersebut, karena akan lebih mempererat hubungan kedua pihak.
Akan tetapi, ia merasa Dewi Kaniraras dan Raden Sriwanda masih terlalu kecil untuk berumah tangga. Prabu Parikenan memperkirakan paling sedikit tiga tahun lagi barulah mereka berdua bisa dinikahkan. Prabu Srikala setuju dan jika nanti saatnya tiba, maka ia akan melamar Dewi Kaniraras secara resmi sebagai menantunya.
Demikianlah, Prabu Basupati lalu memboyong pasangan pengantin Raden Basumurti dan Dewi Jatiswara menuju Kerajaan Wirata. Setahun kemudian, dari perkawinan itu lahirlah seorang putra yang diberi nama Raden Basusena.