PRABU WATUGUNUNG HENDAK MELAMAR TUJUH BIDADARI DEMI DEWI SINTA
Batara Kala di Kahyangan Selamangumpeng dihadap para murid yang dipimpin Ditya Pulasya. Tidak lama kemudian datang Prabu Watugunung dari Kerajaan Gilingwesi bersama Patih Suwelacala dan Ditya Brekutu.
Prabu Watugunung datang menghadap untuk menyampaikan permasalahannya, yaitu sang permaisuri Dewi Sinta sudah beberapa bulan ini tidak pernah lagi mau disentuh olehnya. Kadang sang istri mengaku sedang datang bulan, kadang mengaku sedang tidak enak badan.
Sampai akhirnya, ketika Prabu Watugunung mengancam hendak menggunakan kekerasan, Dewi Sinta pun mengajukan syarat bahwa dirinya bersedia kembali melayani sang suami asalkan dimadu dengan tujuh bidadari unggulan Kahyangan Suralaya, yaitu Batari Supraba, Batari Wilutama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, Batari Irimirim, dan Batari Tunjungbiru.
Batara Kala heran mendengar kisah tersebut dan menasihati Prabu Watugunung supaya tidak usah mengabulkan permintaan aneh Dewi Sinta itu.
Namun, perasaan cinta Prabu Watugunung terhadap Dewi Sinta sudah terlalu mendalam, dan ia rela melakukan apa saja demi mendapatkan kembali cinta kasih sang permaisuri. Bahkan, Patih Suwelacala juga ikut kena marah karena menyarankan supaya Prabu Watugunung menahan diri dan tidak terlalu menuruti hawa nafsu.
Prabu Watugunung lalu menjelaskan maksud dan tujuannya menghadap Batara Kala adalah untuk meminta petunjuk bagaimana caranya mengabulkan permintaan aneh tersebut. Batara Kala akhirnya bersedia membantu Prabu Watugunung
Ia menjelaskan bahwa manusia biasa tidak mungkin menikah dengan bidadari, kecuali orang yang memiliki jasa sangat besar terhadap kahyangan. Maka, sebaiknya Prabu Watugunung mempersembahkan hadiah kepada Batara Indra sebagai pengganti jasa, dan hadiah itu bisa berupa busur Bajra dan panah Herawana.
Meskipun busur Bajra dan panah Herawana adalah benda pusaka warisan ayahnya (Prabu Palindriya), tapi Prabu Watugunung rela kehilangan keduanya demi mewujudkan permintaan Dewi Sinta.
Batara Kala lalu mengutus Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu untuk menyerahkan kedua pusaka itu kepada Batara Indra di Kahyangan Suralaya. Setelah kedua raksasa berangkat, Prabu Watugunung lalu mohon pamit pulang ke Kerajaan Gilingwesi.
BATARA INDRA MENOLAK LAMARAN PRABU WATUGUNUNG
Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu telah sampai di Kahyangan Suralaya dan langsung menghadap Batara Indra. Kedua raksasa ayah dan anak itu lalu mempersembahkan busur Bajra dan panah Herawana supaya ditukar dengan tujuh bidadari unggulan.
Batara Indra menerima kedua pusaka itu dan menjelaskan bahwa busur Bajra dan panah Herawana dulunya memang milik Kahyangan Suralaya sebelum dihadiahkan kepada mendiang Prabu Palindriya saat masih bernama Raden Respati.
Jika Prabu Watugunung mengembalikan kedua pusaka itu kepada Kahyangan Suralaya, maka Batara Indra tetap menganggapnya sebagai sebuah jasa. Batara Indra pun berjanji kelak jika Prabu Watugunung meninggal, maka jiwanya akan diangkat sebagai dewa dan mendapatkan istri bidadari.
Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu mohon pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya untuk melapor kepada Prabu Watugunung. Namun, di tengah jalan Ditya Pulasya merasa ada yang aneh pada keputusan Batara Indra tadi.
Padahal, Batara Indra telah menerima busur Bajra dan panah Herawana, tetapi mengapa ia menunda untuk mengabulkan permohonan Prabu Watugunung? Ditya Pulasya lalu mengajak Ditya Brekutu dan segenap pasukan raksasa yang mengawal untuk kembali ke Kahyangan Suralaya.
Para raksasa itu menghadap Batara Indra dan meminta supaya ketujuh bidadari diserahkan saat ini juga. Batara Indra marah dan mengerahkan pasukan Dorandara. Terjadilah pertempuran di mana pasukan raksasa berhasil dipukul mundur keluar dari Kahyangan Suralaya.
Ditya Pulasya lalu mendirikan perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa, sedangkan Ditya Brekutu diperintah untuk pulang dan melapor kepada Prabu Watugunung.
PRABU WATUGUNUNG MENGIRIM BALA BANTUAN
Ditya Brekutu telah sampai di Kerajaan Gilingwesi dan langsung menghadap Prabu Watugunung. Saat itu Prabu Watugunung sedang menerima kedatangan sekutunya, yaitu Prabu Santakya, raja raksasa Kerajaan Malawa.
Mendengar laporan Ditya Brekutu, bahwa Batara Indra tidak bersedia menyerahkan ketujuh bidadari, Prabu Watugunung menjadi sangat marah. Ia lalu memerintahkan Prabu Santakya untuk memimpin pasukan menyerang Kahyangan Suralaya.
Sebelum berangkat, Prabu Santakya meminta dibantu para arya yang memiliki sifat seperti harimau, gajah, kambing, kera, ular, dan banteng.
Prabu Watugunung lalu memilih enam orang adiknya, yaitu Arya Kurantil yang bersifat seperti harimau, Arya Julungwangi yang bersifat seperti gajah, Arya Mandasiya yang bersifat seperti kambing, Arya Tambir yang bersifat seperti kera, Arya Prangbakat yang bersifat seperti ular, dan Arya Dukut yang bersifat seperti banteng.
Prabu Santakya sendiri juga menunjuk empat orang raksasa anak buahnya sebagai para pemimpin pasukan, yaitu Ditya Pragalba, Ditya Prabata, Ditya Keswari, dan Ditya Arimoha. Setelah pasukan siap, mereka pun berangkat menyerang Kahyangan Suralaya untuk membantu Ditya Pulasya.
RESI SATMATA MENERIMA TUGAS MENGAMANKAN KAHYANGAN
Batara Indra di Kahyangan Suralaya menerima kunjungan Batara Guru dan Batara Narada dari Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru menjelaskan bahwa Batara Indra tidak mungkin bisa mengalahkan Prabu Watugunung yang dilindungi Batara Kala.
Satu-satunya yang bisa mengalahkan raja Gilingwesi itu hanyalah Batara Wisnu yang saat ini sedang menjelma sebagai Resi Satmata. Batara Indra mematuhi nasihat tersebut.
Batara Guru lalu meminta Batara Narada untuk mencari dan menjemput Resi Satmata. Batara Narada pun mohon pamit dan berangkat melaksanakan tugas tersebut.
Resi Satmata sendiri sedang menjalani tapa rame, dengan menjadi dukun pengobatan yang hidup berpindah-pindah. Kali ini ia bertempat tinggal di Gunung Candrageni (sekarang Gunung Merapi), dan sedang menerima kedatangan tiga orang adik iparnya, yaitu Batara Laksmanasadu, Batara Penyarikan, dan Batara Satyawaka.
Mereka bertiga ikut prihatin atas hukuman pengasingan yang dijalani Resi Satmata akibat kemarahan Batara Guru. Padahal, kejadian itu sudah belasan tahun berlalu, tapi mengapa sampai sekarang Batara Guru belum juga memberikan pengampunan padanya?
Tidak lama kemudian, Batara Narada datang di Gunung Candrageni. Resi Satmata dan ketiga adik iparnya menyembah dengan hormat.
Batara Narada menjelaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menjemput Resi Satmata sebagai jago Kahyangan Suralaya menghadapi serangan bala tentara Prabu Watugunung. Resi Satmata sangat gembira karena hal ini bisa menjadi sarana baginya untuk memperoleh pengampunan Batara Guru.
Setelah Batara Narada kembali ke kahyangan, Resi Satmata segera memanggil kendaraannya yang berwujud kuda sembrani berwarna putih bersih. Ia pun mengendarai kuda itu dengan berboncengan sekaligus bersama ketiga adik iparnya meninggalkan Gunung Candrageni.
RESI SATMATA BERTEMU DEWI SRIYUWATI DAN RADEN SRIGATI
Dalam perjalanan terbang mengendarai kuda sembrani, rombongan Resi Satmata melewati sebuah desa bernama Waringinsapta. Di desa itu Resi Satmata melihat istrinya, yaitu Dewi Sriyuwati sedang duduk bersama seorang pemuda remaja di halaman rumah.
Resi Satmata sangat marah dan langsung turun ke darat untuk menanyai istrinya itu. Namun, Dewi Sriyuwati dengan tenang menjelaskan bahwa pemuda remaja itu adalah anak mereka sendiri.
Ternyata dulu sewaktu Resi Satmata pergi meninggalkan padepokan di Hutan Kuyana, saat itu Dewi Sriyuwati sedang hamil muda. Kini anak yang dikandung itu telah tumbuh menjadi remaja tampan dan diberi nama Raden Srigati.
Resi Satmata pun meminta maaf atas kesalahannya dulu yang pergi tanpa pamit karena tidak ingin melibatkan Dewi Sriyuwati dalam menjalani hukuman pengasingan.
Ia sengaja berbuat demikian supaya sang istri kembali ke istana Medang Kamulan, atau mungkin bergabung dengan saudaranya, yaitu Patih Suwelacala di Kerajaan Gilingwesi.
Tak disangka, Dewi Sriyuwati ternyata memilih untuk pergi mencari ke mana Resi Satmata pergi. Dalam keadaan hamil ia terlunta-lunta sampai akhirnya memasuki Desa Waringinsapta. Di desa inilah ia melahirkan Raden Srigati dan hidup membaur bersama rakyat jalata.
Resi Satmata sangat terharu mendengar cerita Dewi Sriyuwati. Ia berjanji tidak akan meninggalkan anak dan istrinya lagi. Namun, saat ini ia harus menjalankan tugas dari Batara Guru terlebih dulu, yaitu menumpas Prabu Watugunung yang telah menjadi musuh kahyangan.
Kelak setelah memenangkan pertempuran dan mendapat pengampunan, maka ia berjanji akan datang lagi untuk menjemput Dewi Sriyuwati dan Raden Srigati.
Ia juga memperkenalkan ketiga dewa yang menyertainya kali ini adalah tiga orang adik iparnya saat menjadi Batara Wisnu di Kahyangan Utarasegara. Mereka adalah Batara Laksmanasadu adik Batari Srilaksmi, Batara Penyarikan adik Batari Sriyati, dan Batara Setyawaka adik Batari Srisatyawarna.
Dewi Sriyuwati mendoakan supaya sang suami memenangkan pertempuran. Namun, ia juga memiliki permintaan supaya Resi Satmata jangan membunuh saudara kandungnya, yaitu Patih Suwelacala. Resi Satmata menyanggupi permintaan tersebut. Ia lalu berangkat bersama ketiga adik iparnya menuju Gunung Mahameru, tempat Kahyangan Suralaya berada.
RADEN SRIGATI MENUMPAS PARA RAKSASA
Resi Satmata, Batara Laksmanasadu, Batara Penyarikan, dan Batara Setyawaka telah sampai di Kahyangan Suralaya dan menghadap Batara Guru.
Tampak para dewa lainnya sudah berkumpul di sana, antara lain Batara Narada, Batara Indra, Batara Surya, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Yamadipati, dan Batara Wrehaspati.
Batara Guru terkesan melihat perbuatan mulia Resi Satmata dengan menjadi dukun pengobatan yang menolong masyarakat tanpa pilih kasih.
Batara Guru pun memberikan pengampunan atas segala kesalahan Resi Satmata, serta merestui perkawinan putranya itu dengan Dewi Sriyuwati yang dulu sempat membuatnya sangat murka. Resi Satmata bersyukur, dan ia pun mohon restu hendak keluar menghadapi bala tentara Kerajaan Gilingwesi.
Tiba-tiba di luar sudah terdengar adanya pertempuran. Ternyata Raden Srigati diam-diam menyusul ayahnya naik ke Kahyangan Suralaya dan langsung bertarung melawan para raksasa Kerajaan Malawa.
Meskipun selama ini tinggal di desa, namun pada dasarnya ia adalah putra Batara Wisnu sehingga memiliki kesaktian alami sejak lahir. Prabu Santakya dan keempat punggawanya akhirnya tewas satu persatu di tangan Raden Srigati.
Arya Kurantil dan kelima adiknya segera maju menyerang Raden Srigati. Kali ini Raden Srigati merasa kewalahan dan terdesak menghadapi keenam punggawa yang masih terhitung pamannya itu. Melihat putranya terdesak, Resi Satmata segera terjun ke pertempuran dan berhasil menewaskan keenam arya tersebut.
PRABU WATUGUNUNG TERJUN KE PERTEMPURAN
Prabu Watugunung, Batara Kala, Patih Suwelacala, beserta para arya lainnya datang menyusul ke Kahyangan Suralaya. Saat itu yang tertinggal menjaga istana hanyalah Danghyang Suktina.
Melihat bala tentara Gilingwesi dan Malawa telah dihancurkan oleh Resi Satmata dan Raden Srigati, mereka sangat marah dan langsung terjun ke medan pertempuran. Para arya pun maju mengeroyok Resi Satmata, namun mereka satu persatu jatuh berguguran menemui ajal terkena senjata Cakra Sudarsana.
Prabu Watugunung sangat marah melihat semua adiknya tewas, kecuali Patih Suwelacala. Batara Kala dapat melihat bahwa Resi Satmata tidak lain adalah penjelmaan Batara Wisnu. Maka, ia segera merasuki tubuh Prabu Watugunung untuk menjadikannya lebih kuat.
Prabu Watugunung kemudian maju menghadapi lawan. Resi Satmata pun melepaskan senjata Cakra Sudarsana namun ternyata tidak mampu melukai kulit raja Gilingwesi itu.
Maka, terjadilah pertarungan sengit antara Resi Satmata melawan Prabu Watugunung. Keduanya terlihat sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Watugunung yang sudah dirasuki Batara Kala dapat mengubah wujudnya menjadi raksasa sebesar gunung dan mengamuk merusak bangunan Kahyangan Suralaya.
Resi Satmata pun mengimbanginya dengan bertriwikrama menjadi raksasa yang lebih besar lagi. Dalam pertempuran tersebut, raksasa penjelmaan Resi Satmata berhasil mengeluarkan Batara Kala dan mengusirnya pergi, sehingga membuat Prabu Watugunung kembali ke wujud semula.
PRABU WATUGUNUNG DIHUKUM MATI
Meskipun telah ditinggal Batara Kala, namun Prabu Watugunung tetap tangguh dan tidak dapat dibunuh. Resi Satmata yang telah kembali ke wujud manusia segera menghentikan pertempuran. Ia lalu menantang Prabu Watugunung adu kepandaian daripada bertarung tanpa akhir.
Prabu Watugunung diminta mengajukan sebuah teka-teki, dan Resi Satmata siap menjawabnya. Jika teka-teki itu bisa ditebak, maka Prabu Watugunung harus dihukum mati. Tapi jika teka-teki itu tidak dapat ditebak, maka Prabu Watugunung boleh pulang dengan membawa tujuh bidadari unggulan.
Prabu Watugunung menerima tantangan Resi Satmata. Ia lalu mengajukan sebuah teka-teki untuk diterjemahkan Resi Satmata dan ditafsirkan apa maknyanya. Teka-teki itu berbunyi:
“Supila silapa, supila kupala, kupila supala."
Resi Satmata menjawab bahwa arti dari teka-teki itu adalah:
“Wit dhakah woh dhakah (pohon besar, buah besar); wit dhakah who dhikih (pohon besar, buah kecil); dan wit dhikih who dhakah (pohon kecil, buah besar).”
Adapun tafsir dari teka-teki tersebut adalah:
Pohon besar buahnya besar adalah kelapa. Maknanya ialah jika Prabu Watugunung tewas, maka anak keturunannya tidak boleh dibunuh dan harus dimuliakan.
Pohon besar buahnya kecil adalah beringin. Maknanya ialah jika Prabu Watugunung tewas, maka istrinya jangan sampai diganggu.
Pohon kecil buahnya besar adalah semangka. Maknanya ialah kedudukan para arya yang gugur supaya diwariskan kepada anak-anak mereka.
Prabu Watugunung terkesan pada jawaban Resi Satmata dan ia pun merelakan dirinya untuk dihukum mati. Namun, Resi Satmata mengaku tidak tahu bagaimana caranya bisa membunuh raja Gilingwesi itu.
Prabu Watugunung pun menjelaskan bahwa segala kesaktiannya berasal dari ajaran Begawan Radi, dan hanya Begawan Radi yang mengetahui apa kelemahannya.
Resi Satmata lalu menemui Batara Surya yang dulu pernah turun ke dunia sebagai Begawan Radi. Batara Surya diminta untuk menjelaskan apa kelemahan Prabu Watugunung. Batara Surya tak kuasa menolak dan ia terpaksa mengatakan bahwa muridnya itu hanya bisa dibunuh dengan Kereta Jatisurya miliknya.
Resi Satmata lalu meminjam Kereta Jatisurya milik Batara Surya itu dan segera mengendarainya untuk melindas tubuh Prabu Watugunung. Raja Gilingwesi itu pun tewas dengan tubuh lumat dan kemudian berubah menjadi bukit.
ASAL MULA TERCIPTANYA PAWUKON
Patih Suwelacala yang dibiarkan hidup oleh Resi Satmata segera pulang ke Kerajaan Gilingwesi untuk melapor kepada Dewi Sinta perihal kematian Prabu Watugunung. Mendengar laporan itu, Dewi Sinta pun menangis keras-keras hingga suara jeritannya terdengar sampai ke Kahyangan Suralaya.
Batara Narada datang dari kahyangan untuk menenangkan wanita itu. Dewi Sinta memohon kepada Batara Narada supaya para dewa mengampuni kesalahan Prabu Watugunung, yaitu suami sekaligus putranya tersebut.
Batara Narada mengatakan bahwa Batara Guru telah mengampuni dosa-dosa Prabu Watugunung dan berniat mengangkat rohnya naik ke kahyangan. Tidak hanya itu, satu persatu roh anggota keluarga Prabu Watugunung juga akan diangkat ke kahyangan setiap tujuh hari sekali pada hari Radite.
Dewi Sinta sangat bersyukur. Maka, pada hari Radite pekan ini ia dijemput Batara Yamadipati untuk diangkat ke kahyangan. Tujuh hari kemudian giliran Dewi Landep (adik Dewi Sinta, atau ibu kandung Dewi Sriyuwati dan Patih Suwelacala) yang dijemput naik ke kahyangan.
Pada hari Radite berikutnya, Patih Suwelacala dikembalikan namanya menjadi Arya Wukir dan dijemput naik ke kahyangan. Tujuh hari kemudian giliran roh Arya Kurantil yang dijemput, disusul dengan roh para arya lainnya setiap hari Radite, sampai akhirnya giliran roh Prabu Watugunung yang dijemput sebagai penutup.
Dengan demikian lengkap sudah tiga puluh roh telah dijemput naik ke kahyangan setiap tujuh hari sekali.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, Batara Surya lalu menciptakan sebuah penanda waktu baru untuk memperkaya tata cara penanggalan di Pulau Jawa. Penanda waktu ini disebut pawukon yang berjumlah tiga puluh wuku, di mana setiap wuku terdiri atas tujuh hari, mulai hari Radite sampai hari Saniscara. Ketiga puluh wuku tersebut adalah:
- Wuku Sinta
- Wuku Landep
- Wuku Wukir
- Wuku Kurantil
- Wuku Tolu
- Wuku Gumbreg
- Wuku Warigalit
- Wuku Warigagung
- Wuku Julungwangi
- Wuku Julungsungsang
- Wuku Galungan
- Wuku Kuningan
- Wuku Langkir
- Wuku Mandasiya
- Wuku Julungpujud
- Wuku Pahang
- Wuku Kuruwelut
- Wuku Marakeh
- Wuku Tambir
- Wuku Medangkungan
- Wuku Maktal
- Wuku Wuye
- Wuku Manahil
- Wuku Prangbakat
- Wuku Bala
- Wuku Wugu
- Wuku Wayang
- Wuku Kulawu
- Wuku Dukut
- Wuku Watugunung
BATARA BRAHMA DITUNJUK MENJADI RAJA GILINGWESI
Batara Guru sangat senang atas keberhasilan Resi Satmata alias Batara Wisnu dalam usahanya mengamankan Pulau Jawa dari kejahatan Batara Kala. Sebagai hadiah, Kerajaan Gilingwesi pun diserahkan kepada Batara Wisnu.
Akan tetapi, Batara Wisnu mengusulkan supaya Kerajaan Gilingwesi diserahkan kepada Batara Brahma saja, karena negeri itu dulunya bernama Medang Gili yang didirikan oleh kakaknya tersebut.
Batara Wisnu mengaku sudah sangat bahagia bisa mendapatkan restu dan pengampunan dari Batara Guru, dan jika ia diizinkan kembali menjadi raja Medang Kamulan, baginya itu sudah lebih dari cukup.
Maka, Batara Guru pun menyerahkan Kerajaan Gilingwesi kepada Batara Brahma supaya menjadi raja di sana. Untuk itu, Batara Brahma lalu menggunakan gelar Prabu Brahmaraja, sedangkan Batara Wisnu (Resi Satmata) kembali menjadi raja Medang Kamulan dengan bergelar Prabu Wisnupati.