Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata dihadap kedua putra, yaitu Raden Basuketi dan Raden Basuketu, serta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Wasita, Arya Manungkara, dan Arya Srimadewa. Hadir pula Bambang Maneriya (kakak kandung Arya Manungkara) beserta putranya yang bernama Bambang Mandara.
Sejak Resi Manonbawa dan Arya Paridarma meninggal (keduanya adalah adik Resi Manumanasa), maka kedudukan sebagai pemimpin Desa Gandara dipegang oleh Bambang Maneriya (putra Resi Manonbawa sekaligus menantu Arya Paridarma).
Di bawah kepemimpinan Bambang Maneriya, perkembangan Desa Gandara semakin maju dan penduduknya bertambah banyak. Desa tersebut kini bisa dikatakan telah berubah menjadi sebuah kota yang ramai.
Prabu Basukiswara sangat berkenan mendengar berita tersebut dan ia berniat mengembangkan Desa Gandara menjadi sebuah kerajaan yang boleh mengatur pemerintahan sendiri dan membentuk pasukan, tetapi harus tetap setia kepada Kerajaan Wirata. Dengan demikian, Kerajaan Wirata akan semakin bertambah kuat karena memiliki negara bawahan yang bertambah banyak.
Untuk itulah Prabu Basukiswara memanggil Bambang Maneriya datang menghadap ke Kerajaan Wirata. Bambang Maneriya menerima niat baik Prabu Basukiswara dengan senang hati dan ia pun mengucapkan sumpah setia kepada Kerajaan Wirata.
Prabu Basukiswara lalu melantiknya menjadi raja kecil, bergelar Prabu Maneriya, sedangkan Desa Gandara diganti namanya menjadi Kerajaan Gandaradesa.
DATANGNYA ANCAMAN MUSUH DARI TIRTAKAWANA
Setelah upacara pelantikan Prabu Maneriya usai, Prabu Basukiswara menerima kedatangan Patih Sahasra dari Kerajaan Gilingwesi yang menyampaikan berita bahwa rajanya, yaitu Prabu Danadewa telah ditawan musuh dari Kerajaan Tirtakawana yang bernama Patih Wiswageni, utusan Prabu Murtija.
Patih Sahasra pun bercerita bahwa Prabu Murtija adalah raja raksasa dari laut selatan yang memuja Batara Kala. Karena keturunan Batara Kala sering kalah melawan keturunan Batara Wisnu, maka Prabu Murtija pun berniat membalas dendam.
Ia mengirim pasukan besar yang dipimpin Patih Wiswageni untuk menangkap para keturunan Batara Wisnu yang ada saat ini. Mula-mula yang diserang adalah Prabu Danadewa di Kerajaan Gilingwesi.
Kabarnya setelah menangkap Prabu Danadewa, sasaran selanjutnya adalah ayahnya, yaitu Prabu Maheswara di Kerajaan Medang Kamulan dan juga Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata. Mereka semua akan dibawa ke Kerajaan Tirtakawana oleh Prabu Murtija untuk dikorbankan di hadapan patung Batara Kala.
Prabu Basukiswara sangat marah mendengar berita yang dibawa Patih Sahasra itu. Ia pun memerintahkan Arya Manungkara memimpin pasukan untuk membantu Kerajaan Medang Kamulan. Prabu Maneriya mohon izin ikut membantu sebagai darma baktinya kepada Kerajaan Wirata. Prabu Basukiswara pun mempersilakannya. Maka, berangkatlah Prabu Maneriya dan Arya Manungkara menjalankan tugas tersebut.
PRABU MANERIYA MENEWASKAN PATIH WISWAGENI
Pasukan yang dipimpin Prabu Maneriya dan Arya Manungkara telah sampai di Kerajaan Medang Kamulan. Saat itu sedang terjadi pertempuran antara pihak Medang Kamulan melawan para raksasa dari Kerajaan Tirtakawana. Prabu Maheswara tampak turun langsung ke medan tempur namun ia terdesak menghadapi kesaktian Patih Wiswageni.
Prabu Maneriya dan Arya Manungkara segera membantu Prabu Maheswara. Kedudukan kini menjadi seimbang. Arya Manungkara menumpas para prajurit raksasa hingga jumlah mereka berkurang sangat banyak, sedangkan Prabu Maneriya bertarung melawan Patih Wiswageni. Dalam pertarungan tersebut akhirnya Patih Wiswageni berhasil ditewaskan.
Melihat pemimpinnya terbunuh, sisa-sisa prajurit raksasa yang masih hidup pun berhamburan pulang ke Kerajaan Tirtakawana.
Prabu Danadewa kini telah bebas dari sekapan musuh. Bersama-sama Prabu Maheswara, mereka mengucapkan terima kasih atas bantuan Prabu Maneriya dan Arya Manungkara yang datang tepat pada waktunya.
PRABU AMBINASA DAN DEWI WAYASI MENDAPAT PERINTAH DEWATA
Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Ambinasa dari Kerajaan Kasipura di tanah seberang yang memiliki istri bernama Dewi Wayasi. Dari perkawinan mereka telah lahir seorang putra yang kini masih bayi, bernama Raden Sadamuka.
Saat itu Kerajaan Kasipura sedang dilanda wabah penyakit yang menewaskan banyak penduduk. Prabu Ambinasa dan Dewi Wayasi berdoa di sanggar pemujaan, memohon petunjuk bagaimana caranya untuk mengatasi wabah ganas tersebut. Setelah bersamadi berhari-hari, mereka pun didatangi Batara Narada yang turun dari kahyangan.
Batara Narada menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa Kerajaan Kasipura bisa terbebas dari wabah penyakit apabila Dewi Wayasi bersedia menyusui seorang bayi berusia satu tahun bernama Bambang Parasara di Gunung Saptaaarga yang baru saja ditinggal mati ibunya. Setelah menyampaikan pesan demikian, Batara Narada pun kembali ke kahyangan.
Sepeninggal Batara Narada, Prabu Ambinasa segera mempersiapkan diri berangkat ke Pulau Jawa. Akan tetapi, Dewi Wayasi merasa bimbang karena ia mendapatkan firasat buruk jika pergi ke sana. Prabu Ambinasa berusaha meyakinkan istrinya, bahwa petunjuk dari dewa pastilah untuk kebaikan manusia. Setelah perasaan Dewi Wayasi lebih tenang, mereka pun berkemas dan berangkat menuju ke Pulau Jawa.
DEWI WAYASI MENYUSUI BAMBANG PARASARA
Di Padepokan Ratawu di Gunung Saptaarga, Resi Manumanasa sekeluarga sedang berduka karena Dewi Sati, istri Batara Sakri meninggal dunia akibat penyakit paru-paru yang disertai batuk darah. Prabu Partawijaya dan Dewi Sruti sudah tentu sangat bersedih karena menyaksikan secara langsung bagaimana putri mereka meregang nyawa.
Selama ini Prabu Partawijaya dan Dewi Sruti memang tinggal di Gunung Saptaarga untuk menunggui putri mereka yang sakitnya semakin parah, yaitu sejak Kerajaan Gujulaha hancur akibat serangan Prabu Bahlikasura dari Siwandapura.
Batara Sakri tentunya yang paling bersedih atas kematian istrinya itu. Ia merasa berdosa karena mengajak Dewi Sati tinggal di Gunung Saptaarga yang sederhana, padahal sejak kecil sang istri hidup mewah di istana Gujulaha serta dimanjakan oleh Prabu Partawijaya.
Batara Sakri menyesal terlalu memaksakan kehendak sehingga akhirnya Dewi Sati jatuh sakit dan meninggal dunia. Padahal, putra mereka yaitu Bambang Parasara masih berusia satu tahun.
Karena kesedihannya itulah, Batara Sakri pun pergi seorang diri meninggalkan padepokan. Resi Manumanasa, Resi Satrukem, Prabu Partawijaya dan yang lainnya sangat menyesalkan tindakan Batara Sakri yang terlalu hanyut dalam perasaan hingga melupakan kewajibannya sebagai ayah. Resi Manumanasa telah mengutus Janggan Smara untuk menyusulnya tetapi sampai sekarang belum juga kembali.
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Ambinasa dan Dewi Wayasi dari Kerajaan Kasipura. Mereka merasa serbasalah datang bertamu karena suasana Gunung Saptaarga sedang dirundung duka. Resi Manumanasa bertanya apa yang menjadi keperluan mereka.
Belum sempat Prabu Ambinasa menjawab, Dewi Wayasi sudah bergerak menggendong bayi Bambang Parasara yang menangis keras dan segera menyusuinya bersama putra mereka, yaitu Raden Sadamuka. Dewi Wayasi menyusui kedua bayi tersebut sekaligus. Bambang Parasara di sebelah kiri, dan Raden Sadamuka di sebelah kanan.
Demikianlah, Prabu Ambinasa lalu menceritakan bahwa kedatangan mereka adalah untuk memenuhi petunjuk dewa, yaitu Dewi Wayasi harus menyusui Bambang Parasara agar Kerajaan Kasipura terbebas dari wabah penyakit. Resi Manumanasa sangat bersyukur mendengarnya dan ia pun mengheningkan cipta memohon kepada dewa agar wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan Kasipura dihilangkan secepatnya.
Prabu Partawijaya lalu berangkat mencari Batara Sakri. Prabu Ambinasa ikut menemani sebagai ungkapan syukurnya karena telah berhasil melaksanakan petunjuk dewata. Kedua raja dari tanah seberang itu pun bersama-sama menuruni Gunung Saptaarga.
BATARA SAKRI GUGUR DI TANGAN PRABU MURTIJA
Sementara itu, Batara Sakri sudah beberapa hari ini duduk melamun di Hutan Wanamarta. Janggan Smara yang ditugasi Resi Manumanasa untuk menyusul akhirnya bisa bertemu dengannya. Ia berusaha membujuk Batara Sakri agar segera pulang demi Bambang Parasara. Akan tetapi, Batara Sakri sudah tidak memiliki semangat hidup lagi. Mengenai putranya, ia yakin Bambang Parasara memiliki takdir yang panjang dan pasti ada jalan terbaik untuknya.
Pada saat itulah muncul Prabu Murtija bersama pasukannya yang sedang bergerak menuju Kerajaan Wirata untuk membalas kematian Patih Wiswageni. Ia pun bertanya kepada Batara Sakri tentang jalan mana yang harus ditempuh jika ingin menuju Kerajaan Wirata. Batara Sakri balik bertanya mengapa Prabu Murtija ingin membunuh Prabu Basukiswara.
Prabu Murtija pun menjawab bahwa ia ingin menumpas semua keturunan Batara Wisnu di Pulau Jawa. Batara Sakri menjawab bahwa dirinya juga keturunan Batara Wisnu dari garis Dewi Srihuna. Ia pun menantang Prabu Murtija jika ingin membunuhnya.
Prabu Murtija sangat senang melihat mangsa di hadapannya. Ia pun menyerang Batara Sakri dengan beringas. Maka, terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Batara Sakri pada dasarnya sudah tidak memiliki semangat hidup lagi dan ingin segera menyusul kematian istrinya. Hal itu membuat dirinya lengah sehingga lehernya terkena gigitan Prabu Murtija.
Akibat gigitan tersebut, Batara Sakri roboh dan tewas seketika. Secara ajaib, jasadnya juga ikut musnah seperti asap tertiup angin.
KEMATIAN PRABU PARTAWIJAYA DAN PRABU AMBINASA
Prabu Partawijaya dan Prabu Ambinasa telah tiba di Hutan Wanamarta dan secara kebetulan mereka melihat Batara Sakri tewas dalam pertarungan. Prabu Partawijaya segera maju menyerang Prabu Murtija, namun ia kalah kuat dan akhirnya tewas di tangan raja raksasa tersebut.
Prabu Ambinasa marah melihat kawannya terbunuh. Ia pun maju menghadapi Prabu Murtija. Keduanya bertarung sengit. Namun, pada akhirnya Prabu Ambinasa juga gugur terkena gigitan raja raksasa dari Tirtakawana tersebut.
Kini yang tertinggal hanyalah Prabu Murtija dan Janggan Smara saja. Di luar dugaan, Janggan Smara yang bertubuh bulat pendek itu ternyata sangat lincah dapat menghindari setiap serangan Prabu Murtija. Bagaimanapun juga, Janggan Smara adalah penjelmaan Batara Ismaya, kakak Batara Guru. Jika ia mau, ia bisa saja mengalahkan Prabu Murtija dengan mudah.
Namun, Sanghyang Padawenang telah menugasinya sebagai pengasuh, bukan sebagai kesatria petarung. Teringat pada pesan sang ayah, Janggan Smara pun berlari ke arah Gunung Saptaarga dan memancing Prabu Murtija supaya mengejarnya.
PRABU MURTIJA GUGUR BERSAMA PUTUT SUPALAWA
Janggan Smara telah sampai di hadapan Resi Manumanasa dan Resi Satrukem. Ia melaporkan tentang Batara Sakri, Prabu Partawijaya, dan Prabu Ambinasa yang telah gugur di Hutan Wanamarta menghadapi Prabu Murtija. Resi Manumanasa dan Resi Satrukem sangat prihatin. Putut Supalawa sang wanara putih segera diperintahkan untuk maju menghadapi Prabu Murtija.
Putut Supalawa telah bertemu Prabu Murtija yang sedang mengamuk merusak pedesaan di kaki Gunung Saptaarga. Terjadilah pertempuran di antara mereka. Putut Supalawa akhirnya berhasil membunuh Prabu Murtija, namun ia sendiri juga gugur dan berubah wujud menjadi dewa bernama Batara Bayusengara.
Batara Bayusengara lalu naik ke padepokan menemui Resi Manumanasa. Ia menceritakan bahwa dirinya adalah putra Batara Bayu yang melakukan kesalahan sehingga diturunkan ke dunia. Awal mulanya ialah Batara Bayusengara merasa iri kepada Kapi Anoman, yaitu wanara putih putra Batara Guru yang diserahkan kepada Batara Bayu sebagai anak angkat.
Sepak terjang Kapi Anoman dalam membantu Prabu Sri Rama (titisan Batara Wisnu) saat perang besar melawan Prabu Rahwana di Kerajaan Alengka membuat namanya harum dan dipuji-puji para dewa. Mereka selalu menyebut-nyebut nama Kapi Anoman sebagai putra Batara Bayu yang perkasa, yang telah membunuh banyak raksasa di Kerajaan Alengka.
Batara Bayusengara sangat kesal mendengar nama ayahnya selalu dikait-kaitkan dengan wanara putih tersebut. Batara Bayu justru tidak senang kepada sikap Batara Bayusengara yang suka meremehkan bangsa wanara. Sungguh ajaib, seketika tubuh Batara Bayusengara pun berubah wujud menjadi wanara putih yang mirip dengan Kapi Anoman.
Batara Bayusengara menyesali sikap angkuhnya dan ia memohon supaya sang ayah mengembalikan wujudnya seperti semula. Batara Bayu memberikan nasihat bahwa putranya itu bisa terbebas dari kutukan apabila mengabdi kepada keturunan Batara Brahma dan Batara Wisnu yang bernama Raden Kaniyasa. Batara Bayu lalu mengganti nama Batara Bayusengara menjadi Kapi Supalawa.
Kapi Supalawa lalu bertapa di Gunung Saptaarga dan ia pun bertemu Raden Kaniyasa yang sedang membuka padepokan. Raden Kaniyasa kemudian mengganti namanya menjadi Resi Manumanasa, sedangkan Kapi Supalawa menjadi pembantunya, bergelar Putut Supalawa.
Demikianlah, Putut Supalawa kini telah kembali ke wujud asalnya, yaitu Batara Bayusengara. Ia berterima kasih atas segala ilmu dan pelajaran yang diberikan Resi Manumanasa selama ini. Sebaliknya, Resi Manumanasa juga berterima kasih atas semua bantuan Batara Bayusengara yang tak terhitung banyaknya.
Selama ini Resi Manumanasa tidak pernah menganggapnya sebagai pembantu, tetapi sudah seperti keluarga sendiri. Dalam suasana haru mereka pun berpisah. Batara Bayusengara lalu melesat kembali ke kahyangan dalam sekejap mata.
DEWI WAYASI MENJADI MURID RESI MANUMANASA
Dewi Sruti dan Dewi Wayasi sangat berduka atas kematian suami masing-masing. Dewi Wayasi sendiri sudah mendapatkan firasat buruk saat hendak berangkat ke Tanah Jawa bersama Prabu Ambinasa. Kini, firasat buruknya itu telah menjadi kenyataan.
Berita kematian Batara Sakri itu telah sampai di Kerajaan Wirata. Prabu Basukiswara pun datang secara langsung untuk melayat. Ia sangat terharu atas pengorbanan Prabu Partawijaya dan Prabu Ambinasa yang ikut gugur di tangan Prabu Murtija, padahal mereka bukan keturunan Batara Wisnu.
Prabu Basukiswara lalu melantik Raden Partana, putra bungsu Prabu Partawijaya sebagai raja baru di Kerajaan Gujulaha, dengan gelar Prabu Partana. Akan tetapi, karena Kerajaan Gujulaha sudah dihancurkan oleh Prabu Bahlikasura, maka hendaknya Prabu Partana membangun kembali negeri yang lama peninggalan leluhurnya, yaitu Kerajaan Sriwedari.
Untuk itu, Prabu Basukiswara berjanji akan menyumbang biaya pembangunan kota lama tersebut. Prabu Partana sangat berterima kasih dan bersama-sama dengan ibunya, yaitu Dewi Sruti, mereka mohon pamit meninggalkan Gunung Saptaarga.
Sementara itu, Prabu Basukiswara juga memberikan anugerah kepada Dewi Wayasi atas pengorbanan Prabu Ambinasa, berupa Hutan Giyanti. Meskipun Hutan Giyanti terletak di Tanah Jawa, namun sejak saat ini menjadi hak milik Kerajaan Kasipura yang terletak di seberang lautan.
Dewi Wayasi boleh membangun permukiman di hutan itu ataupun mengubahnya menjadi apa saja. Dewi Wayasi berterima kasih dan berharap mungkin keturunannya yang kelak akan mengambil manfaat dari Hutan Giyanti tersebut.
Sementara ini, Dewi Wayasi masih ingin tinggal di Gunung Saptaarga untuk berguru kepada Resi Manumanasa sekaligus menyusui Bambang Parasara sampai usia dua tahun. Resi Manumanasa berkenan menerimanya sebagai murid. Ia pun mengajarkan ilmu sangkan paran dumadi dan kesempurnaan hidup kepada janda Prabu Ambinasa tersebut.