Kisah Kelahiran 5 Dewa

 Tepat setahun setelah perkawinan Batara Guru dengan Batari Uma lahirlah seorang putra yang diiringi dengan gempa bumi melanda banyak tempat. Putra pertama itu diberi nama Batara Sambu, yang kemudian dimandikan dengan air keabadian Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung tumbuh menjadi dewasa seketika.

Wisnu


Dua tahun kemudian Batari Uma melahirkan lagi seorang putra yang diiringi dengan letusan gunung berapi di banyak tempat. Putra kedua itu diberi nama Batara Brahma, yang kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa.

Dua tahun berikutnya Batari Uma melahirkan seorang putra yang diiringi dengan hujan petir dan banjir besar melanda di banyak tempat. Putra ketiga itu diberi nama Batara Indra, yang kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu pula sehingga langsung berubah dewasa seketika.

Dua tahun setelah itu, Batari Uma kembali melahirkan seorang putra yang diiringi dengan angin topan dan badai melanda di banyak tempat. Putra keempat itu diberi nama Batara Bayu, yang kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah menjadi dewasa seketika.


KELAHIRAN PUTRA KELIMA YANG ISTIMEWA

Pada suatu hari Batara Guru menerima kedatangan Sanghyang Padawenang yang ingin melihat perkembangan Kahyangan Tengguru.

Batara Guru menceritakan kepada sang ayah tentang keberhasilannya menyebarluaskan Agama Dewa, sehingga kini tidak hanya dianut oleh makhluk halus saja, tetapi juga diikuti bangsa manusia, raksasa, dan binatang beraneka ragam.

Sanghyang Padawenang senang melihat keempat cucunya, namun merasa masih kurang puas. Ia lalu menasihati Batara Guru supaya memiliki seorang anak yang benar-benar sempurna lahir batin, berhati murni, serta memiliki kesaktian luar biasa, sehingga kelak bisa menjadi pemelihara ketertiban dunia. 

Untuk itu, Batara Guru dan Batari Uma tidak perlu lagi melakukan persetubuhan seperti manusia biasa, tetapi menggunakan tapa brata dan mengheningkan cipta.

Mengenai perkembangan Agama Dewa, Sanghyang Padawenang merasa sangat puas dengan usaha yang dilakukan Batara Guru. Namun ia juga berpesan supaya Batara Guru tidak menyebarkan Agama Dewa ke sebelah barat Tanah Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil, karena penduduk di daerah sana tidak ditakdirkan untuk menjadi pengikut para dewa. Setelah dirasa cukup, Sanghyang Padawenang pun kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir.

Batara Guru lalu menyampaikan hal itu kepada sang istri, dan mereka pun masuk ke dalam Sanggar Pemujaan untuk melakukan puja samadi dan mengheningkan cipta, dengan disertai ajian Asmaracipta, Asmaragama, dan Asmaraturida. Setelah berhari-hari melakukan puja samadi, Batari Uma pun mengandung untuk yang kelima kalinya.

Bulan demi bulan berlalu, akhirnya lahir seorang putra berkulit gelap yang diiringi dengan gempa bumi, gunung meletus, hujan petir, dan topan badai. Bahkan, kelahiran putra kelima ini sampai membuat Kahyangan Tengguru berguncang hebat, sehingga para dewa yang sedang menghadap Batara Guru jatuh dari tempat duduk masing-masing, termasuk Batara Guru pun ikut jatuh dari takhta Madeprawaka.

Batara Guru sangat gembira menyambut kelahiran putra kelima yang istimewa ini, yang kemudian diberi nama Batara Wisnu.

Sama seperti keempat kakaknya, ia juga dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa.

Setelah kelahiran putra kelima tersebut, Batara Guru tidak lagi menyetubuhi Batari Uma, sehingga Batara Wisnu pun menjadi anak bungsu dalam perkawinan mereka.


KEDATANGAN MUSUH DARI TUNGGULWESI

 Pada suatu hari Batara Guru di Kahyangan Tengguru menerima kedatangan Patih Kalamarkata yang menyampaikan surat tantangan dari rajanya, yang bernama Prabu Kalamercu, seorang jin penguasa Kerajaan Tunggulwesi.

Surat tantangan itu berisi keinginan Prabu Kalamercu untuk mencoba kesaktian sang raja dewata. Batara Sambu dan para adik meminta Batara Guru untuk tidak menanggapi tantangan tersebut, dan mereka berlima yang akan maju menghadapi musuh.

Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Tunggulwesi yang dipimpin Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata melawan pasukan dewata yang dipimpin Batara Sambu bersaudara.

Tidak salah kiranya jika raja dan patih itu berani menantang Kahyangan Tengguru, karena kesaktian mereka memang luar biasa. Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, dan Batara Bayu dapat dipukul mundur oleh mereka.

Batara Wisnu maju menghadapi musuh. Kesaktiannya memang terlihat melebihi keempat kakaknya, di mana ia berhasil mengalahkan Patih Kalamarkata. Namun, untuk menghadapi kesaktian Prabu Kalamercu ternyata masih belum cukup hebat. Raja jin ini lebih berpengalaman dalam pertempuran dan mampu memukul mundur Batara Wisnu pula.

Melihat kelima putranya terdesak, Batara Guru pun maju ke medan pertempuran dengan mengendarai Lembu Andini. Terjadilah perang tanding ramai antara dirinya melawan Prabu Kalamercu. Selama menjadi raja kahyangan, baru kali ini Batara Guru menemukan musuh yang sedemikian kuatnya. 

Bahkan, tombak Trengganaweni dan tombak Kalaminta yang menjadi pusaka andalannya juga tidak mampu melukai tubuh Prabu Kalamercu. Sebaliknya, Prabu Kalamercu justru berhasil membuatnya terdesak sampai ke Pegunungan Himalaya yang berbatu terjal.

Bahkan, raja jin itu akhirnya dapat menghempaskan tubuh Batara Guru hingga terlempar dari punggung Lembu Andini.

Batara Guru jatuh ke dalam jurang terjal dan kaki kirinya pun terperosok masuk ke sela-sela batu cadas. Dalam keadaan terjepit ia masih berusaha menghadapi serangan Prabu Kalamercu. Karena kemenangan sesaat itu, Prabu Kalamercu sempat lengah sehingga kesempatan itu digunakan oleh Batara Guru untuk mengerahkan ajian Kemayan, yang membuat raja jin tersebut roboh lunglai dengan tubuh lemas tidak berdaya.


BATARA GURU MENDAPATKAN CACAT PERTAMA

 Batara Sambu dan para adik beramai-ramai menolong sang ayah keluar dari himpitan batu cadas. Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata sudah menyerah kalah dan mohon ampun atas kelancangan mereka yang berani menyerang Kahyangan Tengguru.

Sebagai permohonan maaf, Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata membangun dua buah balai penghadapan yang sangat indah di dalam Kahyangan Tengguru dalam waktu sekejap.

Melihat keindahan kedua balai tersebut, Batara Guru pun mengampuni kedua musuhnya dan mempersilakan mereka pulang kembali ke Kerajaan Tunggulwesi. Untuk mengenang kejadian tersebut, Batara Guru memberi nama kedua balai itu dengan sebutan Balai Marcukunda dan Balai Marakata.

Sepeninggal Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata, Batara Guru mengambil pusaka Lata Mahosadi untuk mengobati kaki kirinya yang terluka parah akibat terjepit batu cadas tadi. Namun anehnya, Lata Mahosadi yang biasanya sangat mujarab ternyata kali ini tidak mampu mengobati kaki kiri tersebut sehingga menjadi cacat untuk selamanya.

Seketika Batara Guru teringat ramalan Sanghyang Padawenang bahwa kelak dirinya akan menderita empat jenis cacat karena dulu pernah menyombongkan diri sebagai yang paling tampan, setelah kedua kakaknya, yaitu Batara Antaga dan Batara Ismaya berubah menjadi buruk rupa.

Batara Guru pun pasrah atas kehendak Tuhan Yang Mahakuasa jika memang ini sudah menjadi suratan takdir baginya.

Karena kaki kirinya lumpuh, Batara Guru pun mendapat julukan baru sebagai Sanghyang Lengin.


BATARA GURU MENIKAHKAN PARA PUTRA

 Setelah para putranya dirasa cukup matang, Batara Guru berkenan menikahkan mereka dengan para bidadari cucu Sanghyang Pancaresi. Adapun Sanghyang Pancaresi adalah putra bungsu Sanghyang Darmajaka, kakak sulung Sanghyang Wenang.

Putra Sanghyang Pancaresi bernama Maharesi Guruweda memiliki tiga orang putri, bernama Dewi Susti yang dinikahkan dengan Batara Sambu, Dewi Saci yang dinikahkan dengan Batara Brahma, dan Dewi Wiranci yang dinikahkan dengan Batara Indra.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Pancadewa memiliki putri bernama Dewi Swamnyana yang dinikahkan dengan Batara Sambu, serta Dewi Saraswati dan Dewi Rarasati yang keduanya dinikahkan dengan Batara Brahma.

5 Dewa


Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Wiksmaka memiliki putri bernama Dewi Srilaksmi dan Dewi Srilaksmita yang keduanya dinikahkan dengan Batara Wisnu.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Satya memiliki putri bernama Dewi Sri Satyawarna, juga dinikahkan dengan Batara Wisnu.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Janaka memiliki putri bernama Dewi Nignyata, juga dinikahkan dengan Batara Wisnu.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Soma memiliki putri bernama Dewi Sumi yang dinikahkan dengan Batara Bayu. Dewi Sumi memiliki kakak bernama Dewi Ratih yang telah dinikahkan dengan Batara Kamajaya, putra Batara Ismaya. Konon pasangan ini disebut-sebut sebagai yang paling tampan dan paling cantik di dunia.

Demikianlah, silsilah para dewa pun berkembang biak sedemikian rupa. Ada dewa yang menikah dengan bidadari, ada yang menikah dengan manusia biasa, ada pula yang menikah dengan golongan jin ataupun siluman.


BATARA GURU BERNIAT MENYERANG BANI ISRAIL

Batara Guru telah memiliki kekuasaan besar yang membentang dari Tanah Persi dan Hindustan ke arah utara dan timur jauh. Namun, ia merasa kurang puas jika belum bisa menaklukkan daerah barat Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil.

Meskipun Sanghyang Padawenang pernah menasihatinya supaya tidak menyebarkan Agama Dewa ke wilayah Kerajaan Bani Israil, namun Batara Guru tidak menghiraukannya. Selain itu, Batara Guru juga penasaran ingin membalaskan kekalahan Sanghyang Wenang di mana Nabi Suleman dulu pernah menghancurkan Kahyangan Pulau Dewa.

Beberapa bulan sebelum rencana penyerangan ini, Batara Guru telah menurunkan wabah penyakit di wilayah Bani Israil, namun masyarakat di sana tetap tegar tidak mau memeluk Agama Dewa. Kesabaran Batara Guru akhirnya habis.

Ia pun memerintahkan empu kahyangan, yaitu Batara Ramayadi, untuk membuat senjata-senjata ampuh. Adapun Batara Ramayadi ini adalah putra Sanghyang Ramaprawa, atau cucu Sanghyang Hening, sehingga masih terhitung keponakan Batara Guru.

Batara Ramayadi menghadap bersama putranya, yang bernama Batara Anggajali. Mereka berdua telah menyelesaikan perintah Batara Guru dan mempersembahkan berbagai macam senjata ampuh sebagai pusaka Kahyangan Tengguru. Batara Guru menerimanya dengan senang hati, lalu menyerahkan senjata-senjata itu kepada para putra sebagai bekal untuk menyerang Kerajaan Bani Israil.


PERTEMPURAN ANTARA PARA DEWA MELAWAN BANI ISRAIL

 Para dewata dipimpin Batara Sambu telah tiba di wilayah Kerajaan Bani Israil. Dilatarbelakangi dendam kekalahan Sanghyang Wenang di tangan Nabi Sulaiman ratusan tahun silam membuat para dewa semakin bernafsu menghancurkan kerajaan tersebut. Banyak rumah dan bangunan dihancurkan, serta rakyat jelata tewas menjadi korban.

Seorang pendeta Kerajaan Bani Israil yang bernama Pendeta Usmanajid dan putranya yang bernama Pendeta Usmanaji berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberi pertolongan. Muncullah tiba-tiba angin besar yang meniup dan menghempaskan para dewa kembali ke Kahyangan Tengguru, kecuali Batara Wisnu.

Batara Wisnu lalu berhadapan dengan Pendeta Usmanajid. Mereka pun terlibat perdebatan adu kepandaian. Dalam hal kesaktian memang Batara Wisnu lebih unggul, tetapi dalam hal ilmu kesempurnaan, ia harus mengakui kehebatan Pendeta Usmanajid yang lebih berpengalaman.

Pertempuran di antara mereka berdua akhirnya berubah menjadi persahabatan. Batara Wisnu kemudian berteman baik dengan Pendeta Usmanaji, putra Pendeta Usmanajid, dan saling bertukar ilmu selama beberapa hari.

Setelah berbicara panjang lebar, ternyata hakikat Agama Dewa dan Agama Nabi sama-sama baik dan sama-sama bertujuan mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Hanya saja, perbedaan tata cara ibadah telah membuat para pemeluk kedua agama ini sering terlibat pertengkaran dan perkelahian yang tidak sedikit menelan korban jiwa.

Batara Wisnu kemudian mohon pamit kembali ke Kahyangan Tengguru dengan membawa perasaan sukacita.

Post a Comment

Previous Post Next Post

AdSense

Contact Form