Makna Sarapan Kalibuko

 Prosesi Saparan Kalibuko diawali dengan penyembelihan kambing yang bertempat di Sebatur. Bagian kepala kemudian dibawa ke balai Desa Kalirejo, untuk selanjutnya dipakai dalam prosesi arak-arakan kepala kambing dan sesaji tenong yang dibawa penduduk dari balai desa ke Sebatur.

Sarapan Kalibuko


Sedangkan kaki-kaki kambing dipetak 'ditanam' di perempatan jalan di empat penjuru Batas desa yaitu di palang Papak, untuk sebelah selatan; palang Plampang untuk sebelah utara; palang Tegiri untuk sebelah timur; palang Kokap untuk sebelah barat yang letaknya tepat di depan halal desa Kalirejo.

Sedangkan kepala kambing dipetak di pusat yaitu di Sebatur. Bagian lainnya kemudian dimasak dengan mengambil tempat di Sebatur. Nama masakan daging itu disebut osik, adapun humbu osik terdiri atas gula Jawa, laos, daun salam, merica, brambang bawang dan garam. Pada waktu memasak tidak boleh diicipi `mencicipi masakan' dan yang memasak harus orang laki-laki.

Sementara itu masyarakat Desa Kalibuko di rumah masing-masing menyiapkan masakan sesaji yang terdiri atas kupat “ketupat”, lepet, pisang raja, dan nasi golong beserta lelawuhan ditempatkan dalam tenong, yang akan dibawa ke tempat upacara pada siang harinya.

Kira-kira pukul 12.00 siang masyarakat dengan membawa tenong berkumpul di balai desa, kemudian dilakukan arak-arakan menuju ke tempat upacara sambil membawa kepala kambing dengan diiringi slawatan, jarak antara balai desa sampai tempat upacara kurang lebih dua kilometer

Setelah sampai di Sebatur (tempat upacara), setiap pembawa tenong dibagikan masakan daging kambing dan dimasukkan dalam tenong. Kemudian setelah semuanya mendapatkan masakan daging kambing tersebut, segera Saparan Kalibuko dimulai, yang diawali dengan metak kepala kambing di Sebatur. Kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh rois yang isinya mohon berkah kepada Tuhan agar masyarakat diberi keselamatan, ketentraman dan karunia-Nya.

Pantangan yang Harus Dipatuhi

Dalam pelaksanaan Saparan Kalibuko terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi, masyarakat pendukung¬nya percaya apabila larangan ini sampai dilanggar atau tidak dipatuhi maka akan menyebabkan bencana bagi si pelanggar maupun bagi seluruh warga desa. Adapun pantangan-pantangan itu adalah sebagai berikut:

a. Dalam memasak daging kambing tempatnya harus di Sebatur, apabila tempatnya dipindah maka akan mengganggu keselarasan kehidupan warga desa. Hal ini pemah terjadi ketika dilaksanakan Saparan Kalibuko terjadi hujan sehingga memaksakan pindah keluar Sehatur dan menempati di sebuah rumah penduduk, tetapi akibatnya masakan daging kambing itu tidak dapat matang meskipun memasaknya seharian.

b. Waktu memasak daging kambing para petugas masak tidak boleh mencicipi masakain tersebut, sebab apabila sampai mencicipi maka dirinya akan mendapat musibah.

c. Saparan Kalibuko merupakan tradisi ritual, maka segala bentuk sesaji harus bersih atau suci, sehingga untuk menjaga kesucian tersebut yang melaksanakan masak daging kambing di Sebatur harus orang laki-laki.

d. Semua sesaji yang dibawa ke tempat upacara, baik itu yang dibawa dari rumah maupun sesaji daging kambing tidak boleh dimakan sebelum didoakan. Masyarakat pendukungnya percaya, apahila hal ini sampai dilanggar akan menyebahkan malapetaka bagi si pelanggar itu sendiri maupun lingkungannya.

e. Dalam keadaan apapun Saparan Kalibuko setiap tahunnya yaitu pada bulan Sapar harus dilaksanakan. Masyarakat Kalibuko mempunyai kepercayaan apabila Saparan tidak dilaksanakan maka di desanya akan terjadi musihah atau malapetaka, sehingga hidupnya menjadi tidak tenteram.


Makna Simbolik Saparan Kalibuko

Saparan Kalibuko diselenggarakan setiap tahun sekali dengan perhitungan tahun Jawa (AJ) dan jatuh pada setiap bulan Sapar; karena upacara ini dilakukan pada bulan Sapar maka dinamakan Saparan. Latar belakang pe-nyelenggaraan Saparan Kalibuko tidak lain merupakan memori atau kenangan tersendiri bagi segenap warga masyarakat Kalibuko atas jasa-jasa para wali dalam menentukan siapa yang akan menjadi raja di tanah Jawa.

Bentuk kenangan ini berupa pelaksanaan Saparan yang antara lain menirukan cara-cara yang dilakukan para wali dalam melaksanakan buka puasa di desanya; sehingga misteri kenangan itu menjadi nama desanya, Kalibuko.

Para wali melaksanakan puasa bukan pada bulan suci Ramadhan, hal ini terbukti bahwa puasanya diakhiri pada bulan Sapar. Kebiasaan puasa di luar bulan Ramadhan merupakan puasa untuk mengekang hawa nafsu dan juga untuk membentuk fikiran jernih, di samping menjalankan laku. Dalam hal ini para wali berpuasa untuk menjalani laku, untuk memilih bakal raja di tanah Jawa.

Hal ini merupakan tugas yang berat, sehingga para wali pun yang sudah dikenal dengan kepandaian dan kesaktiannya masih memerlukan hal-hal yang khusus demi keberhasilan dalam menentukan raja di tanah Jawa.

Di samping itu buka puasa pada bulan Sapar ditafsirkan sebagai buka tekad. Buka tekad dapat ditafsirkan sebagai buka puasa setelah menjalani laku atau buka tekad yang ditafsirkan telah selesainya menjalani suatu wejangan, pendidikan atau telah mencapai tingkat kesempurnaan hidup.

Pada masa kini aktualisasi yang dilakukan oleh para wali di Kalibuko adalah bahwa manusia hendaknya selalu hidup dengan fikiran jernih, fikiran jernih menyebahkan menyebabkan hidup menjadi tenteram.

Untuk mencapai fikiran yang jernih dapat dilakukan dengan taat beribadah; melakukan puasa sesuai dengan ajaran agama, sebab puasa dapat mengekang hawa nafsu dan mengendali¬kan fikiran-fikiran yang jelek.

Sedangkan buka tekad merupakan simbol bahwa hendaknya manusia itu dalam mencapai sesuatu harus dengan berusaha, sehingga apa yang dicapai benar-benar sesuai dengan yang diinginkan, di samping itu bahwa manusia apabila ingin mencapai kebahagiaan berbuatlah yang baik bagi dirinya maupun lingkungannya dan selalu ingat kepada Sang Pencipta.

Saparan Kalibuko bagi masyarakat Kalibuko merupakan tradisi nenek moyang yang harus-tetap dilestarikan. Oleh karenanya didukung segenap warga yang tinggal di desa tersebut. Penduduk Desa Kalibuko terdiri atas 3 penganut agama, mereka hidup saling berdampingan.

Hal ini tercermin dan sikap penduduk dalam memandang Saparan Kalibuko sebagai tradisi leluhurnya yang harus tetap dilestarikan. Mereka melihat Saparan sebagai suatu tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, mekipun pada mulanya tradisi ini bermula dari wali yang menganut agama Islam, namun pada masa kini Saparan Kalibuko sebagai salah satu cerminan kerukunan hidup beragama, karena dari ketiga agama yang dianut oleh warga Kalibuko mendukung berlangsungnya upacara Saparan tersebut.

Hal ini dapat dilihat pada waktu tahlitan dilakukan oleh warga yang menganut agama Islam, sedang penganut lainnya tetap tinggal di rumah berdoa untuk memohon keselamatan kepada Tuhan, di samping mempersiapkan perlengkapan upacara pada keesokan harinya.

Pada waktu pelaksanaan Saparan Kalibuko baik itu warga masyarakat beragama Islam maupun selain Islam secara bersama-sama melaksanakan tradisi Saparan yang merupakan warisan leluhurnya.

Pelaksanaan Saparan Kalibuko melibatkan seluruh warga Desa Kalibuko, mereka secara bersama-sama bekerja bergotongroyong untuk mendukung terlaksananya upacara tersebut. Mulai dan persiapan sampai akhir pelaksanaan Saparan, mereka mempersiapkan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan.

Sebelum pelaksanaan upacara mereka secara bersama-sama bergotongroyong rnembersihkan tempat upacara, jalan-jalan di desanya dan lingkungannya. Mereka secara sadar menerima kenyataan bahwa untuk mewujudkan desanya yang bersih indah dan tenteram perlu dukungan dari seluruh warga, termasuk dalam melaksanakan Saparan Kalibuko.

Pelaksanaan Saparan Kalibuko ini secara tidak langsung merupakan cerminan kegotongroyongan masyarakat Kalibuko, di samping merupakan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya.

Post a Comment

Previous Post Next Post

AdSense

Contact Form