Sri Maharaja Prajapati di Kerajaan Medang Gili dihadap kedua patihnya, yaitu Resi Drasta dan Resi Kusamba. Mereka sedang membicarakan permasalahan para penduduk yang terdiri dari bangsa manusia dan raksasa.
Tiba-tiba datang seorang manusia bernama Nadrika yang menghadap untuk memohon keadilan. Nadrika menceritakan bahwa istrinya telah tewas dimangsa raksasa. Akan tetapi, karena ia tidak mengetahui siapa nama raksasa itu sehingga Sri Maharaja Prajapati mengaku kesulitan untuk memutuskan perkara. Sri Maharaja Prajapati hanya bisa memberikan saran supaya Nadrika menikah lagi dengan perempuan lain.
Nadrika sangat kecewa terhadap keputusan Sri Maharaja Prajapati tersebut. Ia lalu pergi ke Gunung Mahendra untuk memohon keadilan kepada Sri Maharaja Balya, pemimpin Kerajaan Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya sangat prihatin mendengar kisah Nadrika.
Ia lalu memberikan daun rontal yang sudah ditulisi mantra Rajah Sengkali untuk membunuh kaum raksasa. Nadrika sangat berterima kasih dan segera membawa pulang daun rontal tersebut.
Sesampainya di Kerajaan Medang Gili, Nadrika pun menaruh daun rontal itu di jalanan dan mengintainya dari tempat persembunyian. Ada seorang raksasa bernama Ditya Srenggampa sedang mencari mangsa tanpa sadar melangkahi daun rontal tersebut. Seketika raksasa itu menjadi lemas dan kemudian roboh di tanah kehilangan nyawa.
Nadrika sangat gembira namun sekaligus ketakutan karena khawatir para raksasa yang lain akan mengejarnya untuk membalas dendam. Berpikir demikian, Nadrika pun meninggalkan Kerajaan Medang Gili untuk kemudian mengabdi kepada Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda.
KISAH INDUK BANTENG MEMINTA KEADILAN
Pada suatu hari ada seekor induk banteng yang kehilangan anak karena dimangsa harimau. Ia datang ke Kerajaan Medang Gora, menghadap Sri Maharaja Mregapati untuk meminta keadilan. Namun Sri Maharaja Mregapati justru memutuskan supaya si induk banteng membalas dengan cara memangsa anak harimau.
Si induk banteng merasa kecewa, kemudian pergi menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya sangat prihatin dan memberikan kekuatan pada tanduk banteng sehingga bisa lebih keras dan runcing untuk bisa digunakan sebagai senjata melawan harimau. Si induk banteng sangat berterima kasih dan mohon pamit kembali ke Kerajaan Medang Gora.
Maka, sejak itu banteng memiliki kemampuan untuk menghadapi serangan harimau dengan menggunakan kedua tanduknya.
SRI MAHARAJA MATSYAPATI KEMBALI MENJADI BATARA WISNU
Pada suatu hari Sri Maharaja Matsyapati di Kerajaan Medang Pura dihadap pemimpin ikan karena banyak rakyatnya yang mati dimangsa bangau. Sri Maharaja Matsyapati mengaku tidak bisa memberikan pengadilan, karena bangau termasuk binatang terbang yang tunduk kepada Sri Maharaja Kagapati di Kerajaan Medang Prawa.
Si pemimpin ikan merasa kecewa dan pergi menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda untuk memohon keadilan. Sri Maharaja Balya merasa prihatin dan memberikan minyak sakti kepada si pemimpin ikan yang bisa digunakan untuk menghindari serangan bangau. Si pemimpin ikan berterima kasih dan membagikan minyak itu kepada rakyatnya.
Namun karena jumlahnya terbatas, maka ada ikan yang mendapatkan minyak, ada pula yang tidak kebagian. Ikan yang mendapatkan minyak menjadi licin tubuhnya sehingga bisa berenang lebih gesit dan sulit ditangkap bangau.
Sri Maharaja Matsyapati sangat malu mendengar Sri Maharaja Balya ternyata memiliki kebijaksanaan melebihi dirinya. Ia pun meninggalkan Kerajaan Medang Pura dan kembali ke Tanah Hindustan sebagai Batara Wisnu.
Sri Maharaja Prajapati di Kerajaan Medang Gili yang mendengar berita ini segera menjadikan Kerajaan Medang Pura sebagai negara bawahan, dengan menempatkan Resi Drasta sebagai wakil di sana. Namun Resi Drasta merasa tidak mampu mengemban kewajiban, sehingga ia kembali menjadi Batara Langsur dan pulang ke Tanah Hindustan.
Mendengar itu, Sri Maharaja Prajapati lalu mengirim Resi Kusamba untuk mewakilinya sebagai raja bawahan di Kerajaan Medang Pura.
TIGA MAHARAJA KEMBALI KE TANAH HINDUSTAN
Sri Maharaja Kagapati, Sri Maharaja Prajapati, dan Sri Maharaja Mregapati semakin hari semakin kehilangan wibawa karena rakyatnya banyak yang meminta perlindungan kepada Sri Maharaja Balya, kemudian menjadi penduduk Kerajaan Medang Siwanda pula.
Para penduduk itu juga melepaskan agama mereka masing-masing, untuk kemudian memeluk agama yang diajarkan Sri Maharaja Balya, yang disebut Agama Siwah. Semakin hari, jumlah pemeluk Agama Siwah semakin bertambah banyak dan mengalahkan jumlah pemeluk agama lainnya.
Akhirnya, ketiga maharaja tersebut tidak kuat lagi menahan rasa malu. Mereka pun memutuskan kembali ke Tanah Hindustan, yaitu Sri Maharaja Kagapati kembali menjadi Batara Sambu, Sri Maharaja Prajapati kembali menjadi Batara Brahma, dan Sri Maharaja Mregapati kembali menjadi Batara Bayu.
Sementara itu, Sri Maharaja Surapati menjadi satu-satunya raja yang hidup tenang tanpa merasa tersaingi oleh wibawa Sri Maharaja Balya. Hal itu karena rakyat Kerajaan Medang Gana adalah kaum resi dan jawata yang sudah tidak tertarik keinginan duniawi, sehingga jarang terjadi perselisihan di antara mereka.
Dengan demikian, di Tanah Jawa kini hanya tertinggal dua orang maharaja saja, yaitu Sri Maharaja Balya yang memimpin Kerajaan Medang Siwanda di Gunung Mahendra, serta Sri Maharaja Surapati yang memimpin Kerajaan Medang Gana di Gunung Mahameru. Selain mereka, juga ada Resi Kusamba yang menjadi raja bawahan di Kerajaan Medang Pura di Gunung Gora.
BATARA INDRA MEMBANGUN KAHYANGAN SURALAYA
Pada suatu hari Sri Maharaja Surapati di Kerajaan Medang Gana menerima kedatangan Batara Narada dan Batara Wrehaspati. Kedua dewa itu datang untuk menyampaikan perintah Batara Guru supaya Sri Maharaja Surapati mendirikan kahyangan di Gunung Mahameru sebagai perwakilan Kahyangan Jonggringsalaka di Gunung Kailasa.
Hal ini dikarenakan banyak penduduk Tanah Jawa yang tekun beribadah memeluk Agama Dewa dan mengurangi keterikatan duniawi, sehingga mereka pantas diangkat menjadi dewa dan tinggal di kahyangan.
Sri Maharaja Surapati berterima kasih telah mendapatkan kepercayaan dari Batara Guru. Ia pun kembali memakai nama Batara Indra yang juga bergelar Batara Surapati. Dengan dibantu Batara Narada dan Batara Wrehaspati, ia lalu membangun Kerajaan Medang Gana menjadi sama persis dengan Kahyangan Jonggringsalaka, dan diberi nama Kahyangan Suralaya.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya, sedangkan Batara Wrehaspati tetap tinggal di sana. Jika Batara Indra menjadi wakil Batara Guru, maka Batara Wrehaspati menjadi wakil Batara Narada di Tanah Jawa.