SENYUM DI AMBANG KEMATIAN

Jauh sebelum Baratayudha, Drona pernah mengajak Kurawa dan Pandawa berlatih perang di tepi sungai Gangga. Tapi sial, Drona terpeleset dan jatuh ke sungai. Seekor buaya mengejarnya. 

"Ee .. lolee, tolong nggeer ..!"

Di tengah kebingungan semua orang, Arjuna bertindak cepat.

"Jleb ..jleb !" 

Duryudana


Lima anak panah serentak tertancap di tubuh buaya. Atas kejadian itu Arjuna menerima hadiah mantra panah Bramashira. Sebuah senjata gaib yang hanya datang jika dipanggil.

Meskipun anaknya, yakni Aswatama merengek-rengek, tapi Drona tak perduli. Baginya hanya Arjuna, sesuai pesan gurunya dulu. Senjata itu tak akan ada artinya di tangan orang yang tidak tepat.

Konon menurut kisahnya hanya empat orang yang mampu memanggil panah Brahmasira, ialah Bisma, Drona, Kerpo dan Karno. Semua adalah murid Sang Maharesi Ramabargowo. 

Kini di tangan Arjuna, tuah Brahmashira menjadi berlipat-lipat. Arjuna mendapat tambahan dari Batara Brahma berupa busur Gandewa dan kanthong pusaka. Kelebihannya anak panah yang tersimpan di kanthong pusaka itu tak habis-habis jika dipanahkan.

Demikianlah, menjelang Baratayudha hari ke-10, Kurawa mengumumkan Senopati Agung yang akan maju adalah Begawan Bisma. Maka Kresna meminta Arjuna menyiapkan mantra Panah Brahmashira dan Hardodedali bagi Srikandi. Ketika Arjuna nampak ragu, Kresna berkata keras:

"Mokal lamun si Adi tak tahu watak Kresna. Jika kalian tak sanggup maka tak perlu lagi ada Pandawa. Aku sendiri yang akan menandingi mereka."

Dengan kecut Arjuna mengangguk hormat pada kakak iparnya.

Hari itu, di tengah riuhnya peperangan Kresna melarikan kereta mendekati sepak terjang Bisma. Disuruhnya Arjuna dan Srikandi turun dan menyelesaikan tugasnya.

"Wauto ..!"

Bisma yang melihat kehadiran Srikandi menjadi lungkrah. Eling-eling ia pernah menggenggam janji suci dengan Dewi Amba, maka bagi Bisma sekaranglah saatnya.

Dibayangkannya putri Giyantipura (Kasi) yang sempat mencuri hatinya. Semua lagak laku itu ternyata ada pada Srikandi. Tatapan matanya yang berani, sledat-sledotnya, wajahnya yang mbesengut saat tak sesuai. Oh .., mengapa seakan ia ada di depanku lagi? Bismapun termangu-mangu.

Di saat itulah, suara Kresna menhentak bagaikan petir.

"Cepat Srikandi !"

Kontan Hardodedali di tangan Srikandi meluncur. 

"Weet .. jleeb ...!" 

Anak panah itu tertanam di pundak Bisma. Namun lelaki tua itu masih tetap berdiri. 

"Heh, Yayi Arjuna, sekarang giliranmu !" Bentak Kresna lagi. Namun Arjuna yang bersembunyi di belakang Srikandi belum bereaksi.

"Hai bocah bagus, Permadi sang Senopati agung, lihatlah. Ribuan prajuritmu bosah-baseh terkena amukan resi Bisma !"

Kali ini suara Kresna itu ibarat badai di telinga Arjuna. 

"Wut .. wut .. wuuut !"

Ratusan Brahmashira memberondong tubuh Bisma. Busur Gendewa dan Kanthong Pusaka seperti mata air yang tak henti-henti mengeluarkan anak panah.

Tak ampun lagi tubuh Begawan Talkanda itu terajam panah bagaikan seekor landak. 

"Auch .. trim trima .. kasih Arjuna cucuku !"

Orang tua itu tersenyum, tubuhnya terguling lemas tersangga oleh ratusan anak panah yang masih menancap. 

"Thong thong thong ... !" suara kentongan raksasa.

Seketika perang dihentikan. Kurawa dan Pandawa mengerubung. Arjuna menangis sambil tak henti-henti meminta ampun. Senyum Bisma, tangannya mengelus wajah sang cucu.

Sore itu Kurawa dan Pandawa bekerja sama membangun kemah eyangnya. Tubuhnya tak bisa dipindahkan kemana-mana. Ia bagaikan tidur berkasur dan berselimutkan anak panah.

Sementara di sana, di tepi Kurusetra seorang bidadari meruntuhkan air mata. Sosok Kresna seakan memaksanya untuk hanya menunggu dari kejauhan. Menunggu sang putra yang bertekad mati di waktu Uttarayana, yaitu saat garis cakrawala seolah bergeser ke arah Utara. Di saat itulah Baratayudha akan berakhir oleh Gada Rujakpolo yang menghancurkan mahkota Duryudana.

Post a Comment

Previous Post Next Post

AdSense

Contact Form