DEWI KUNTULSINANTEN

 Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta Raden Kartawarma dari Tirtatinalang selaku juru panitisastra. Dalam pertemuan itu hadir pula sesepuh kerajaan, yaitu Resiwara Bisma dari Talkanda. Prabu Duryudana menyambut kedatangan sang kakek dan berkata dengan bangga bahwa ia telah berhasil menjadikan Kerajaan Hastina jauh lebih besar dan disegani daripada saat dipimpin Prabu Pandu Dewanata.



Resiwara Bisma mengucapkan selamat atas keberhasilan Prabu Duryudana mendapatkan pujian dari mancanegara. Namun sayangnya, kebesaran dan ketenaran Kerajaan Hastina tidak sebanding dengan apa yang terjadi di dalam. Resiwara Bisma melihat sendiri hampir dua pertiga rakyat Hastina hidupnya berada di bawah garis kemiskinan.

Banyak kaum muda yang tidak memiliki pekerjaan layak, banyak anak-anak yang tidak mampu mengenyam pendidikan dengan baik, serta banyak pula warga masyarakat yang apabila jatuh sakit tidak mendapatkan pengobatan secara memadai, sehingga angka kematian cukup besar.

Mendengar itu, Prabu Duryudana segera menuduh Patih Sangkuni telah menyampaikan laporan palsu bahwa keadaan rakyat baik-baik saja. Berarti selama ini Patih Sangkuni hanya menyampaikan laporan yang baik-baik saja, yaitu “asal raja senang”.

Patih Sangkuni pun menyangkal tuduhan itu. Ia menjawab bahwa dirinya beserta segenap jajaran para menteri telah berusaha keras mewujudkan kemakmuran di Kerajaan Hastina. Siang malam ia selalu bekerja keras untuk memajukan pembangunan di segala bidang. Namun, apalah artinya pembangunan jika tidak diimbangi dengan jaminan keamanan yang memadai? Masih banyak ancaman kejahatan yang menghantui masyarakat.

Pencuri dan perampok berkeliaran. Begal pun ada di mana-mana, membuat rakyat senantiasa resah dan gelisah, sehingga tidak dapat menikmati hasil pembangunan yang sudah diupayakan Patih Sangkuni.

Prabu Duryudana lalu bertanya kepada Adipati Karna selaku kepala angkatan bersenjata tentang kebenaran laporan itu. Adipati Karna pun membela diri dengan mengatakan bahwa ia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga keamanan Kerajaan Hastina. Bahkan, dalam sehari-hari dirinya lebih banyak berada di Hastina daripada di Awangga.

Itu semua karena sedemikian besar rasa tanggung jawabnya terhadap keamanan negara. Namun, apabila masih saja terdapat angka kejahatan yang cukup tinggi, maka itu bukan melulu kesalahan pihak aparat keamanan, tetapi karena adanya kesenjangan ekonomi di masyarakat. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Para pejabat Hastina beserta anak dan istrinya hidup berfoya-foya, pamer kekayaan, sedangkan rakyat jelata serba kekurangan. Jika terjadi kesenjangan ekonomi macam demikian, dapat dipastikan kejahatan akan muncul di mana-mana meskipun aparat keamanan sudah disediakan.

Prabu Duryudana kemudian bertanya kepada Resi Druna selaku pimpinan pujangga Kerajaan Hastina yang seharusnya bertanggung jawab atas pembangunan moral para pejabat. Perilaku korupsi, memupuk kekayaan pribadi, dan juga kegemaran berfoya-foya seharusnya dapat dihindari apabila Resi Druna memperbanyak acara siraman rohani kepada para pejabat.

Resi Druna pun menjawab bahwa dirinya sudah berusaha keras, namun godaan dari luar yang datang jauh lebih banyak. Barang-barang buatan luar negeri masuk tanpa terkendali membuat para pejabat dan orang-orang kaya Hastina tidak dapat mengendalikan nafsunya untuk berbelanja. Mereka menganggap barang buatan luar negeri jauh lebih berkelas daripada buatan dalam negeri.

Mereka pun berlomba-lomba belanja, terutama para istri pejabat yang selalu ingin tampil mewah. Perilaku para istri semacam inilah yang membuat para pejabat Hastina banyak yang menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri.

Meskipun Resi Druna sudah berusaha mengadakan acara siraman rohani seminggu sekali namun tidak berguna jika godaan dari luar datangnya bertubi-tubi. Patih Sangkuni selaku perdana menteri adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam membuat kebijakan untuk membatasi masuknya barang-barang dari luar negeri tersebut.


RESIWARA BISMA MENGABARKAN TENTANG DEWI KUNTULSINANTEN

Resiwara Bisma tersenyum melihat Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Resi Druna ribut sendiri saling menyalahkan tanpa ada yang mau bertanggung jawab. Menurutnya, ini semua adalah tanggung jawab Prabu Duryudana selaku pemimpin mereka.

Prabu Duryudana seharusnya bisa mengatur para bawahannya supaya bekerja benar. Resiwara Bisma terpaksa membandingkan dengan pemerintahan Prabu Pandu dulu, di mana para menteri dan punggawa seperti Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Banduwangka bahu-membahu saling bekerja sama, bukannya saling menyalahkan kawan.

Prabu Duryudana sangat tersinggung dan malu karena dirinya dibandingkan dengan mendiang Prabu Pandu, yaitu ayah para Pandawa yang sangat dibencinya. Patih Sangkuni segera menanggapi bahwa Prabu Pandu bisa seperti itu karena sebelumnya telah mendapatkan wahyu kepemimpinan. Lain halnya dengan Prabu Duryudana yang setiap hari sibuk memikirkan negara, sehingga tidak sempat bertapa atau berkelana untuk mencari wahyu.

Resiwara Bisma menyebut Patih Sangkuni terlalu mencari-cari alasan. Jika memang wahyu kepemimpinan yang dijadikan ukuran, maka tiada salahnya jika Prabu Duryudana mencoba mendapatkannya. Prabu Duryudana boleh pergi berkelana dalam beberapa hari untuk mencari wahyu kepemimpinan, jika memang itu bisa menjadikannya lebih percaya diri dalam memimpin negara. 

Resiwara Bisma menambahkan, dalam memimpin rakyat memang tidak cukup hanya mengandalkan kepandaian dan kegagahan tubuh, tetapi juga harus diimbangi dengan kekuatan batin yang tebal. Oleh sebab itu, seorang raja harus mau menjalani laku prihatin dan banyak-banyak berpuasa atau bertapa, bukan melulu hidup nyaman di dalam istana saja.

Prabu Duryudana berkata yakin bahwa dirinya pasti mampu memimpin negara dengan lebih baik daripada Prabu Pandu apabila memiliki wahyu kepemimpinan. Namun, ia tidak tahu di mana wahyu tersebut bisa diperolehnya.

Resiwara Bisma menjawab dirinya telah mendapat kabar bahwa dewata akan menurunkan Wahyu Purbalaras kepada Dewi Kuntulsinanten, putri sulung Prabu Janinraja dari Kerajaan Slagahima. Oleh karena itu, Prabu Duryudana tidak perlu susah payah pergi berkelana atau bertapa. Asalkan ia bisa menikahi dan memboyong Dewi Kuntulsinanten, maka Wahyu Purbalaras dengan sendirinya akan berpindah menjadi milik Kerajaan Hastina.

Apabila terjadi demikian, maka Prabu Duryudana akan menjadi raja yang lebih berwibawa, sedangkan Kerajaan Hastina akan menjadi negeri yang lebih makmur pula.

Prabu Duryudana sangat senang mendengarnya. Ia menganggap hal ini terlalu mudah karena tidak perlu bertapa, melainkan cukup menikah dengan seorang perempuan saja. Ia yakin lamarannya pasti diterima karena ia seorang raja yang gagah dan kaya raya.

Namun, ia sendiri ragu seperti apa wujud Dewi Kuntulsinanten itu, apakah cantik jelita ataukah buruk rupa? Kalau ternyata Dewi Kuntulsinanten berwajah jelek, apakah boleh Patih Sangkuni saja yang menikah dengannya?

Resiwara Bisma heran mengapa Prabu Duryudana bertanya demikian. Sebenarnya Prabu Duryudana ingin mencari wahyu atau hanya ingin bersenang-senang memuaskan nafsu? Prabu Duryudana pun menjawab dirinya sangat ingin mendapatkan Wahyu Purbalaras, tetapi jika Dewi Kuntulsinanten berwajah cantik tentunya akan lebih membangkitkan semangat perjuangan.

Resiwara Bisma berkata bahwa ia sendiri tidak tahu seperti apa paras Dewi Kuntulsinanten. Namun menurut kabar, putri Slagahima tersebut berkulit putih bersih seperti burung bangau yang disiram santan. Tentu tidak dapat dibayangkan seperti apa putihnya, sudah dilambangkan seperti burung bangau masih disiram santan pula.

Prabu Duryudana sangat tertarik mendengarnya. Ia membayangkan Dewi Kuntulsinanten pastilah sangat cantik dan berkulit putih mulus tanpa cela. Maka, ia pun bersemangat mengajak Patih Sangkuni dan Adipati Karna untuk berangkat hari itu juga menuju Kerajaan Slagahima. Setelah dirasa cukup, Resiwara Bisma undur diri, pamit pulang ke Padepokan Talkanda, sedangkan Resi Druna pamit pulang ke Padepokan Sokalima.


PRABU DURYUDANA BERPAMITAN KEPADA DEWI BANUWATI

Prabu Duryudana telah membubarkan pertemuan. Patih Sangkuni dan Adipati Karna telah bersiaga di luar bersama para Kurawa untuk menunggu perintah berangkat. Prabu Duryudana sendiri menemui sang permaisuri Dewi Banuwati untuk berpamitan. Ia mohon pamit hendak melamar Dewi Kuntulsinanten di Kerajaan Slagahima karena putri tersebut akan menerima Wahyu Purbalaras yang sangat penting bagi kemakmuran Kerajaan Hastina.

Dewi Banuwati langsung marah-marah karena saat itu dirinya sedang mengandung, tetapi suaminya justru ingin menikah lagi. Prabu Duryudana berusaha merayu dengan segala macam cara namun Dewi Banuwati tetap saja kesal. Hal ini membuat Prabu Duryudana merasa segan untuk berangkat. Namun, begitu membayangkan Dewi Kuntulsinanten yang berkulit putih mulus, semangatnya kembali bangkit. Setelah dirayu dengan susah payah, Dewi Banuwati akhirnya merelakan kepergian sang suami. Namun, ia hanya merelakan kepergiannya tanpa mendoakan keberhasilannya.

Prabu Duryudana menjawab itu saja sudah cukup. Ia lalu buru-buru keluar istana di mana rombongan telah menunggu. Mereka pun bersama-sama pergi menuju Kerajaan Slagahima.


SAYEMBARA TANDING PARA PUTRA SLAGAHIMA

Kerajaan Slagahima atau yang disebut juga Kerajaan Gendingkapitu dipimpin seorang raja bernama Prabu Janinraja Dewajumanten, atau yang disebut juga Prabu Wimanadewa. Raja ini memiliki sembilan orang anak, yaitu Dewi Kuntulsinanten, Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, Raden Dandanggaok, Raden Podangbinorehan, Raden Jangetkinatelon, Raden Celengdemalung, Raden Cecakandon, dan Raden Menjanganketawang.

Dewi Kuntulsinanten sang putri sulung berwajah cantik jelita, dengan kulit putih bersih seperti kapas pula. Itulah sebabnya banyak raja dan pangeran berdatangan dari berbagai penjuru untuk melamarnya. Apalagi tersiar pula kabar bahwa barangsiapa bisa menikahi Dewi Kuntulsinanten, maka dengan sendirinya akan mendapatkan Wahyu Purbalaras yang bisa membuatnya lebih berwibawa dalam memimpin negara.

Prabu Janinraja sendiri sedang gundah gulana karena putri sulungnya itu menghilang entah ke mana. Dewi Kuntulsinanten hanya berkata bahwa ia ingin bertapa menjemput turunnya Wahyu Purbalaras, tetapi tidak mengatakan ke mana hendak pergi. Padahal, para raja dan pangeran sudah banyak berkumpul di luar istana. Andai saja Dewi Kuntulsinanten ada, tentu sayembara pilih bisa segera dilaksanakan.

Melihat kegelisahan sang ayah, Raden Gagakbaka pun mengusulkan agar diadakan sayembara tanding saja. Kedelapan putra itulah yang nantinya tampil sebagai senapati dalam sayembara tersebut. Barangsiapa bisa mengalahkan mereka, maka ia berhak memperistri sang kakak sulung. Raden Dandangminangsi dan yang lain sepakat mendukung usulan tersebut. Karena semuanya telah setuju, maka Prabu Janinraja akhirnya mengizinkan para putra untuk mengadakan sayembara.

Demikianlah, sayembara tanding pun digelar di alun alun Kerajaan Slagahima. Raden Dandangminangsi yang tampil paling awal menantang para pelamar. Satu persatu para pelamar itu dibuat jatuh dari panggung oleh pangeran berkulit hitam legam tersebut. Hingga akhirnya ketika Raden Dandangminangsi letih kehabisan tenaga, Raden Gagakbaka maju menggantikan. Demikianlah seterusnya. Satu persatu para putra Slagahima maju bergantian menguji kehebatan para pelamar kakak sulung mereka.

Para raja dan pangeran itu akhirnya pulang semua karena tidak ada yang mampu mengalahkan para putra Slagahima. Pada saat itulah rombongan Prabu Duryudana bersama para Kurawa tiba di arena sayembara. Arya Dursasana segera maju menantang Raden Gagakbaka. Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka.

Raden Kartawarma maju membantu, dan segera dihadapi Raden Dandangminangsi. Raden Surtayu maju pula dan berhadapan dengan Raden Dandanggaok. Sementara itu Adipati Jayadrata berhadapan melawan Raden Podangbinorehan, serta Bambang Aswatama menghadapi Raden Jangetkinatelon. Dalam pertarungan itu, pihak Hastina kalah dan terlempar semua keluar panggung.

Melihat para Kurawa gagal memenangkan sayembara, Adipati Karna segera naik ke atas panggung menantang para putra Slagahima. Dengan lagak angkuh ia menantang kedelapan pangeran itu agar maju sekaligus melawan dirinya. Raden Gagakbaka dan saudara-saudaranya pun menanggapi tantangan tersebut. Pertempuran satu lawan delapan terjadi dan berlangsung seru. Adipati Karna terlanjur meremehkan lawan-lawannya.

Karena terlalu yakin pada kesaktiannya sendiri, ia menjadi lengah. Mahkota topong Bukasri yang ia pakai pun jatuh terkena pukulan Raden Gagakbaka, sehingga terlihatlah kepalanya yang pitak menjadi bahan tertawaan para penonton. Bagian kepala Adipati Karna yang pitak itu tidak lain adalah bekas luka tergores keris Raden Arjuna sewaktu mereka bertarung di Kerajaan Mandraka dahulu.

Adipati Karna sangat malu karena aibnya terbuka dan memilih turun panggung memperbaiki penampilan. Prabu Duryudana kemudian maju dengan memanggul Gada Singabrong mengamuk menghadapi para putra Slagahima. Pertarungan sengit pun terjadi di antara mereka. Namun, saat itu matahari mulai terbenam di ufuk barat. Prabu Janinraja segera menghentikan sayembara untuk dilanjutkan besok. Prabu Duryudana merasa belum kalah dan berjanji akan datang lagi untuk mengikuti sayembara ini. Ia kemudian mengajak rombongannya pergi mendirikan perkemahan di luar ibu kota Slagahima.


DEWI JATASINI JATUH CINTA KEPADA RADEN ARJUNA

Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Jatagimbal dari Kerajaan Selamangleng. Pada suatu hari ia memanggil kedua panakawannya, bernama Kyai Togog dan Bilung Sarahita untuk bertanya tentang silsilah leluhurnya. Kyai Togog pun bercerita bahwa Prabu Jatagimbal sesungguhnya masih keturunan Ditya Jatasura dari zaman kuno, yaitu raksasa berbadan kerbau yang merupakan adik Prabu Mahesasura raja Guakiskenda.

Pada zaman itu, Prabu Mahesasura pernah mengutus Patih Lembusura menyerang Kahyangan Suralaya karena lamarannya terhadap Batari Tara ditolak para dewa. Namun, Patih Lembusura akhirnya tewas melawan jago kahyangan yang bernama Kapi Subali dan Kapi Sugriwa. Setelah itu, kedua jago tersebut menyerang Kerajaan Guakiskenda. Seorang diri Kapi Subali berhasil menewaskan Prabu Mahesasura yang berwujud raksasa berkepala kerbau, sekaligus Ditya Jatasura yang berwujud kerbau berkepala raksasa.

Ditya Jatasura meninggalkan seorang putra bernama Ditya Purusandaka. Putranya itu lalu pergi berkelana meninggalkan Kerajaan Guakiskenda yang diduduki Kapi Subali dan Kapi Sugriwa. Ditya Purusandaka kemudian memiliki dua orang anak bernama Ditya Purusangkara dan Dewi Suhestri. Ditya Purusangkara lalu berputra Prabu Jatasarana yang mendirikan Kerajaan Selamangleng, sedangkan Dewi Suhestri menjadi istri seorang pendeta bernama Resi Kandiyana.

Prabu Jatasarana memiliki dua orang putra dan dua orang putri. Putra yang tertua bernama Prabu Jatasura, mendirikan Kerajaan Pageralun dan memiliki tiga orang anak, bernama Ditya Lembusa, Ditya Lembusana, dan Ditya Swalembana. Adapun putra Prabu Jatasarana yang kedua tidak lain adalah Prabu Jatagimbal sendiri, yang mewarisi Kerajaan Selamangleng.

Prabu Jatagimbal memiliki dua orang adik perempuan bernama Dewi Jatawati dan Dewi Jatasini. Dewi Jatawati telah menikah dengan Prabu Kirmira, raja Kerajaan Ekacakra, putra Prabu Baka. Adapun Dewi Jatasini si bungsu saat ini menghilang dari kerajaan. Konon menurut laporan para emban pengasuh, Dewi Jatasini jatuh cinta kepada pangeran tampan yang ia temui dalam mimpi. Pangeran tampan tersebut tidak lain adalah Raden Arjuna, kesatria Panengah Pandawa.

Kyai Togog dan Bilung menjelaskan bahwa Raden Arjuna memang seorang kesatria yang sangat tampan tiada cela. Tidak hanya tampan wajah, namun Raden Arjuna juga memiliki kesaktian yang sangat tinggi, serta merupakan lulusan terbaik Padepokan Sokalima.

Kabar terbaru yang diterima, Raden Arjuna baru saja menikah dengan Dewi Sumbadra dari Kerajaan Dwarawati. Merekaa berdua adalah pasangan yang sangat serasi. Raden Arjuna disebut sebagai laki-laki paling tampan di dunia, sedangkan Dewi Sumbadra adalah perempuan paling cantik tiada banding.

Prabu Jatagimbal tertarik mendengar cerita para panakawan. Ia menjadi penasaran ingin tahu seperti apa cantiknya Dewi Sumbadra tersebut. Maka, ia pun berencana hendak pergi mencari hilangnya Dewi Jatasini, sekaligus ingin memaksa Raden Arjuna agar bersedia menikahi adiknya itu. Jika Raden Arjuna menikah dengan Dewi Jatasini, maka Dewi Sumbadra akan menjadi janda dan dinikahi pula oleh Prabu Jatagimbal. Demikianlah rencana Prabu Jatagimbal dan ia pun kemudian berangkat seorang diri tanpa membawa teman.


DEWI JATASINI MENEMUI DEWI SUMBADRA

Sementara itu, sang raksasi Dewi Jatasini telah memasuki Kesatrian Madukara dan menemui Dewi Sumbadra yang duduk di Taman Maduganda. Para abdi taman pun menjerit-jerit ketakutan, tapi Dewi Sumbadra tetap tenang dan menyambut kedatangan raksasi itu dengan ramah.

Dewi Jatasini terkesan melihat sikap tenang Dewi Sumbadra yang tidak takut pada dirinya. Dengan berterus terang ia pun mengatakan bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Raden Arjuna dan ingin sekali menjadi istrinya. Maka, langkah pertama yang harus ia tempuh adalah membunuh Dewi Sumbadra selaku pesaing.

Dewi Sumbadra menjawab dirinya sama sekali tidak takut mati. Ia balik bertanya apabila dirinya mati apakah Raden Arjuna akan langsung menerima cinta Dewi Jatasini, ataukah justru akan sangat marah dan membalas dendam? Dewi Jatasini bingung menjawabnya. Ia lalu bertanya bagaimana sebaiknya yang ia lakukan. Padahal tadinya ia ingin membunuh Dewi Sumbadra, namun kini justru meminta saran kepada wanita itu.

Dewi Sumbadra kemudian mengheningkan cipta membaca mantra seperti yang pernah diajarkan oleh kakaknya, yaitu Prabu Kresna Wasudewa. Sambil membaca mantra, tangannya mengusap sekujur tubuh Dewi Jatasini. Seketika wujud Dewi Jatasini pun berubah menjadi sama persis seperti dirinya.

Dewi Jatasini bertanya mengapa dirinya diubah menjadi Dewi Sumbadra palsu. Dewi Sumbadra asli pun menjawab bahwa ia ingin menguji kesetiaan suaminya. Saat ini Raden Arjuna sedang pergi berkelana untuk mencari turunnya Wahyu Purbalaras.

Maka, Dewi Sumbadra palsu hendaknya pergi menyusul dan menggodanya. Apabila Raden Arjuna bersedia melayani Dewi Sumbadra palsu, maka Dewi Sumbadra yang asli akan mengalah dan memilih bunuh diri. Sebaliknya, jika Raden Arjuna tidak menanggapi, maka Dewi Jatasini tidak boleh memaksa lagi dan harus pulang ke negerinya dengan hati ikhlas. Dewi Jatasini harus membuang jauh-jauh pikiran ingin menjadi istri Raden Arjuna.

Dewi Jatasini alias Dewi Sumbadra palsu menyatakan setuju. Ia pun mohon pamit dan segera pergi berangkat menyusul Raden Arjuna. Ia berharap dirinya bisa menjadi pemenang dalam taruhan ini.


RADEN ARJUNA MENOLAK DEWI SUMBADRA PALSU

Raden Arjuna sendiri sedang pergi berkelana dengan ditemani para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Rupanya ia telah mendengar kabar bahwa Wahyu Purbalaras akan turun kepada Dewi Kuntulsinanten yang kini sedang bertapa di tengah laut, dekat negeri Slagahima. Oleh sebab itu, ia pun berniat pergi ke sana untuk memboyong putri sekaligus wahyu tersebut agar bisa menjadi milik Kerajaan Amarta.

Tak disangka Raden Arjuna tiba-tiba dihentikan oleh istrinya, yaitu Dewi Sumbadra. Istrinya itu mengaku sangat rindu, karena sebagai pengantin baru bukannya ditemani justru ditinggal pergi berkelana sendirian. Raden Arjuna heran karena tadi ia sudah berpamitan mengapa kini dipermasalahkan? Ia pun dengan tegas menolak diajak pulang karena perjalanan yang ia lakukan ini adalah demi kepentingan negara.

Dewi Sumbadra pun merayu Raden Arjuna bahwa dirinya ingin berhubungan badan saat ini juga, dan setelah itu sang suami boleh melanjutkan perjalanannya. Dewi Sumbadra mengaku ingin segera mempunyai anak sebagai temannya di kala kesepian.

Demikianlah ia merayu dan bermanja-manja di hadapan sang suami. Namun, hal ini justru membuat Raden Arjuna curiga karena ada gelagat yang kurang beres. Meskipun wajah wanita yang merayunya ini sama persis dengan istrinya, tetapi sekilas bau keringat mereka berbeda. Raden Arjuna dapat menyimpulkan bahwa yang ada di hadapannya adalah Dewi Sumbadra palsu. Secepat kilat ia pun berlari menghindar untuk menguji keaslian wanita itu. Sesuai dugaan, Dewi Sumbadra palsu mengejarnya dengan langkah cepat pula.


DEWI SUMBADRA PALSU BERTEMU RADEN ARJUNA PALSU

Raden Arjuna yang berlari menghindari Dewi Sumbadra palsu akhirnya bertemu dengan Prabu Jatagimbal yang sedang mencari Dewi Jatasini. Prabu Jatagimbal kagum melihat ada laki-laki sangat tampan berdiri di depannya, dan ia pun bertanya apakah benar yang sedang dihadapinya adalah Raden Arjuna.

Laki-laki tampan itu menjawab benar dirinya memang Raden Arjuna. Prabu Jatagimbal pun berkata terus terang bahwa ia ingin menikahkan Raden Arjuna dengan adiknya, serta menjadikan Dewi Sumbadra sebagai istrinya. Jika Raden Arjuna menolak, maka Prabu Jatagimbal mengancam akan langsung membunuhnya.

Raden Arjuna menjawab tidak perlu bunuh-membunuh untuk merebut istrinya. Ia merasa telah kecewa menikah dengan Dewi Sumbadra karena ternyata sang istri memiliki nafsu birahi yang sangat besar. Padahal, Raden Arjuna masih ingin bersenang-senang di luar, berkelana ke mana ia suka, tetapi istrinya itu selalu saja mengikuti dan ingin mengajak berhubungan badan tanpa kenal waktu. Terus terang, Raden Arjuna mengaku tidak kuat melayani nafsu birahi istrinya yang menggebu-gebu. Maka, Prabu Jatagimbal pun dipersilakan jika ingin menikahi Dewi Sumbadra sekarang juga.

Prabu Jatagimbal semakin kasmaran begitu mendengar Dewi Sumbadra ternyata memiliki nafsu birahi yang sangat besar. Ia pun meminta Raden Arjuna menyerahkan istrinya itu kepadanya jika memang sudah tidak sanggup melayani. Raden Arjuna berterima kasih dan segera membaca mantra lalu mengubah wujud Prabu Jatagimbal menjadi sama persis dengannya.

Prabu Jatagimbal bertanya mengapa wujudnya harus diubah segala. Raden Arjuna pun menjawab bahwa Dewi Sumbadra saat ini sedang kasmaran dengan dirinya. Oleh sebab itu, jika Prabu Jatagimbal ingin berhubungan badan dengannya, maka harus menggunakan wujud yang sama persis dengan Raden Arjuna.

Prabu Jatagimbal dapat memahami hal itu. Tak lama kemudian terdengarlah suara Dewi Sumbadra palsu memanggil-manggil. Raden Arjuna asli segera pergi, sedangkan Raden Arjuna palsu keluar menghampiri. Dewi Sumbadra palsu itu merengek manja mengapa dirinya ditinggalkan. Raden Arjuna palsu menjawab sebenarnya ia juga rindu kepada sang istri tetapi malu jika dilihat para panakawan. Keduanya sama-sama gemetar tidak kuasa lagi menahan diri. Mereka pun pergi mencari gubuk asmara untuk melampiaskan nafsu masing-masing.


DEWI KUNTULSINANTEN MENERIMA WAHYU PURBALARAS

Sementara itu, Dewi Kuntulsinanten sang putri Slagahima sedang bertapa di atas ombak samudera. Sudah berhari-hari ia melakukan tapa brata hingga sekujur tubuhnya pun dipenuhi tanaman ganggang yang begitu lebat menjalar ke sana kemari. Justru berkat tanaman gangang itulah, tubuh Dewi Kuntulsinanten selalu mengambang tanpa tenggelam, meskipun dihantam deburan ombak yang bergulung-gulung.

Sudah empat puluh hari lamanya Dewi Kuntulsinanten bertapa. Tiba-tiba dari angkasa muncul seberkas sinar yang merasuk ke dalam tubuhnya. Tidak lama kemudian datang pula Batara Narada membangunkan tapa gadis tersebut.

Dewi Kuntulsinanten membuka mata dan segera menyembah Batara Narada. Batara Narada menjelaskan bahwa sang putri tidak perlu lagi melanjutkan tapa karena Wahyu Purbalaras baru saja masuk ke dalam dirinya dalam wujud seberkas sinar. Namun demikian, Wahyu Purbalaras ini bukan menjadi hak milik Kerajaan Slagahima, tetapi ditakdirkan menjadi milik negara lain. Oleh sebab itu, Dewi Kuntulsinanten harus rela bersatu jiwa raga dengan raja yang dianggapnya cocok memiliki wahyu tersebut.

Dewi Kuntulsinanten pasrah jika memang itu yang menjadi ketetapan dewata. Karena sang putri telah sepakat, maka Batara Narada pun memisahkan badan jasmani dan rohani Dewi Kuntulsinanten. Mulai saat ini Dewi Kuntulsinanten hanya berbadan rohani saja, sedangkan badan jasmaninya disatukan dengan tanaman ganggang yang tadi menjalar di sekujur tubuhnya. Demikianlah, Batara Narada pun mengubah badan jasmani Dewi Kuntulsinanten sekaligus tanaman ganggang yang menutupinya menjadi seorang laki-laki, yang diberi nama Raden Tambakganggeng.

Batara Narada menjelaskan bahwa Raden Tambakganggeng adalah wujud jasmani Dewi Kuntulsinanten yang mewarisi kecerdasan pikirannya dan kebaikan hatinya. Kelak meraka pun akan selalu bersama. Raden Tambakganggeng akan mengabdi kepada raja yang menjadi titisan Dewi Kuntulsinanten. Usai berkata demikian, Batara Narada pun kembali ke kahyangan.


RADEN ARJUNA DITOLAK DEWI KUNTULSINANTEN

Setelah Batara Narada pergi, Dewi Kuntulsinanten dan Raden Tambakganggeng segera naik ke daratan. Mereka bertemu Raden Arjuna bersama para panakawan yang menjemput di pantai. Raden Arjuna heran melihat ada seorang wanita cantik tetapi tubuhnya tembus pandang seperti cahaya. Wanita itu pun menjawab bahwa dirinya bernama Dewi Kuntulsinanten dari Kerajaan Slagahima. Raden Arjuna merasa kebetulan dan ia pun berterus terang ingin melamar sang putri untuk diboyong ke Kerajaan Amarta.

Dewi Kuntulsinanten memaklumi Raden Arjuna pasti telah mendengar berita tentang Wahyu Purbalaras yang jatuh kepadanya. Ia pun bersedia diboyong Raden Arjuna apabila sang pangeran memang pantas menjadi tempatnya menitis. Raden Arjuna lalu berdiam mengheningkan cipta, sedangkan Dewi Kuntulsinanten masuk menyatu ke dalam dirinya.

Akan tetapi, hanya sekejap saja Dewi Kuntulsinanten sudah tidak kuat dan segera keluar dari dalam tubuh Raden Arjuna. Ia berkata bahwa Raden Arjuna bukan sosok yang ia cari karena masih diliputi watak mudah marah, dan tidak segan-segan menipu orang lain. Raden Arjuna terperanjat menyadari bahwa dirinya memang baru saja menipu Prabu Jatagimbal.

Raden Arjuna merasa ikhlas jika dirinya gagal memboyong Wahyu Purbalaras. Namun, ia penasaran ingin tahu siapa kiranya orang yang menjadi pilihan Dewi Kuntulsinanten. Maka, ia pun ikut menyertai putri tersebut pulang ke Kerajaan Slagahima.


RADEN ARJUNA MEMBUNUH PRABU JATAGIMBAL

Sementara itu, Raden Arjuna palsu dan Dewi Sumbadra palsu sedang sibuk melampiaskan nafsu birahi masing-masing di dalam sebuah gubuk asmara. Ketika mencapai puncak, tiba-tiba penyamaran Raden Arjuna palsu buyar dan wujudnya pun kembali menjadi Prabu Jatagimbal. Dewi Sumbadra palsu menjerit kaget dan wujudnya pun kembali menjadi Dewi Jatasini.

Prabu Jatagimbal dan Dewi Jatasini sangat malu bercampur sedih karena mereka ternyata telah melakukan hubungan badan dengan saudara sendiri. Dewi Jatasini hampir saja bunuh diri namun dapat dicegah sang kakak. Prabu Jatagimbal berkata bahwa ini semua adalah kesalahan Raden Arjuna yang telah menipu dirinya. Maka, ia pun berangkat untuk melabrak kesatria Pandawa tersebut demi melampiaskan sakit hati.

Raden Arjuna saat itu sedang menemani Dewi Kuntulsinanten dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Slagahima. Prabu Jatagimbal berhasil menyusul dan langsung menyerang Raden Arjuna. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Prabu Jatagimbal yang dibakar amarah menjadi kurang teliti dan kurang waspada. Akibatnya, keris Raden Arjuna pun berhasil merobek perutnya dan membuat raja raksasa dari Selamangleng itu tewas kehilangan nyawa.

Dewi Jatasini yang mengintai dari kejauhan sangat berduka melihat kematian kakaknya. Rasa cintanya kepada Raden Arjuna berubah menjadi benci. Ia pun bersumpah akan membesarkan anak hasil persetubuhannya dengan sang kakak agar kelak membalas dendam kepada Panengah Pandawa tersebut. Untuk sementara ini, ia berniat pergi mengungsi kepada kakak sulungnya, yaitu Prabu Jatasura di Kerajaan Pageralun untuk meminta perlindungan. (Kelak putra hasil hubungan Dewi Jatasini dengan Prabu Jatagimbal akan lahir dan diberi nama Prabu Kalasrenggi).


RADEN WREKODARA MENGALAHKAN PARA PUTRA SLAGAHIMA

Pagi itu Prabu Janinraja di Kerajaan Slagahima menerima kunjungan tiga orang raja, yaitu Prabu Kresna dari Dwarawati, Prabu Puntadewa dari Amarta, dan Prabu Baladewa dari Mandura. Ketiga raja tersebut juga mengajukan lamaran untuk meminang Dewi Kuntulsinanten. Prabu Janinraja menjelaskan bahwa putri sulungnya masih belum kembali dari bertapa menjemput turunnya Wahyu Purbalaras. Namun demikian, ia telah menetapkan barangsiapa bisa mengalahkan putra-putranya dalam sayembara tanding, maka orang itu berhak melamar Dewi Kuntulsinanten.

Arya Wrekodara yang ikut dalam rombongan ketiga raja segera mengajukan diri bahwa ia yang akan bertanding di dalam sayembara. Jika dirinya menang, maka Dewi Kuntulsinanten boleh memilih salah satu di antara ketiga raja yang datang bersamanya. Usai berkata demikian, sang Panenggak Pandawa itu pun segera naik ke atas panggung.

Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, dan adik-adik mereka segera naik ke panggung pula. Pertandingan pun dimulai. Satu persatu para putra Slagahima itu menyerang Arya Wrekodara, namun tidak satu pun dari mereka yang mampu mengalahkannya. Arya Wrekodara begitu tangkas dan perkasa, tidak mudah dirobohkan. Sebaliknya, ia justru mampu mendesak kedelapan lawannya. Kedelapan putra Slagahima itu pun maju bersama-sama mengerubut Arya Wrekodara. Tanpa gentar sedikit pun, Arya Wrekodara segera mengangkat Gada Rujakpolo dan menghantamkannya ke arah lawan-lawannya itu.

Sungguh ajaib, Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, Raden Dandanggaok, Raden Podangbinorehan, Raden Jangetkinatelon, Raden Celengdemalung, Raden Cecakandon, dan Raden Menjanganketawang tidak mati terkena pukulan gada tersebut, tetapi tubuh mereka menyusut menjadi lebih kecil daripada semula. Sebaliknya, Gada Rujakpolo di tangan Arya Wrekodara menjadi lebih besar setelah menghantam kedelapan pangeran tersebut. Menyadari kehebatan lawan, Raden Gagakbaka mewakili saudara-saudaranya pun mengaku kalah dan menyatakan Arya Wrekodara sebagai pemenang sayembara.


DEWI KUNTULSINANTEN MEMERIKSA ISI HATI KEEMPAT RAJA

Bersamaan dengan itu, Dewi Kuntulsinanten telah tiba di istana Slagahima beserta Raden Arjuna dan Raden Tambakganggeng. Ia menghadap sang ayah, Prabu Janinraja, untuk menyampaikan berita bahwa dirinya telah menerima Wahyu Purbalaras. Namun demikian, di sisi lain ia harus bersedia kehilangan badan jasmaninya sehingga kini hanya tinggal berbadan rohani saja. Adapun badan jasmani Dewi Kuntulsinanten tersebut kini telah menjelma sebagai laki-laki bernama Raden Tambakganggeng, yang hendaknya diakui pula sebagai putra Slagahima.

Prabu Janinraja terharu dan berusaha memeluk putri sulungnya yang kini tubuhnya remang-remang tidak dapat diraba. Ia juga memeluk Raden Tambakganggeng yang mulai hari ini dianggap sebagai putra kesepuluh. Setelah itu, Prabu Janinraja menceritakan semuanya dari awal hingga akhir kepada Dewi Kuntulsinanten. Kini, sayembara tanding telah dimenangkan oleh Arya Wrekodara yang bertindak sebagai senapati bagi ketiga raja. Untuk selanjutnya, silakan Dewi Kuntulsinanten memilih siapa dari ketiga raja tersebut yang ia terima sebagai suami penitisan.

Tiba-tiba Prabu Duryudana datang marah-marah menantang para putra Slagahima. Ia berkata bahwa pertandingan kemarin belum selesai karena terhalang matahari terbenam. Kini ia datang untuk meminta pertandingan dilanjutkan dan kemenangan Arya Wrekodara dianggap batal.

Prabu Puntadewa berusaha menyabarkan Prabu Duryudana agar tidak perlu marah-marah seperti itu. Sayembara hanyalah soal permainan. Kalah atau menang tidak penting. Sekarang keputusan ada di tangan Dewi Kuntulsinanten. Biarlah sang putri memilih salah satu di antara empat raja, bukan hanya tiga seperti disebutkan di awal tadi.

Prabu Duryudana luluh hatinya. Ia pun ikut berbaris bersama Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Prabu Puntadewa. Dewi Kuntulsinanten mohon izin untuk memeriksa hati nurani keempat raja tersebut. Prabu Duryudana yang datang sejak kemarin meminta diperiksa paling awal. Dewi Kuntulsinanten setuju. Ia kemudian masuk ke dalam diri raja Hastina itu untuk memeriksa kalbunya. Namun, hanya sekejap saja Dewi Kuntulsinanten sudah keluar lagi. Ia berkata jiwa Prabu Duryudana terlalu panas. Hatinya penuh dengan rasa iri dan dengki, serta wataknya serakah ingin menang sendiri, membuat Dewi Kuntulsinanten tidak dapat menerimanya sebagai suami penitisan.

Dewi Kuntulsinanten lalu masuk ke dalam diri Prabu Baladewa untuk memeriksa kalbu raja Mandura tersebut. Sama seperti tadi, hanya sebentar saja ia langsung keluar. Wanita itu berkata bahwa Prabu Baladewa berhati lembut tetapi sikapnya kasar, berwatak mudah kasihan tetapi gampang marah. Seorang raja yang berwatak semacam itu cenderung mudah dihasut dan diperdaya oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan.

Dewi Kuntulsinanten kemudian masuk ke dalam diri Prabu Kresna. Sama seperti sebelumnya, wanita itu pun keluar karena merasa tidak cocok dengan sifat sang raja Dwarawati. Menurut pengamatannya, Prabu Kresna memang seorang yang berbudi luhur, juga sangat cerdas dan bijaksana. Akan tetapi, sifatnya kurang jujur dan suka menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan. Ia tidak segan-segan berbohong jika memang itu dianggap bermanfaat. Hal ini ternyata kurang disukai oleh Dewi Kuntulsinanten.

Yang terakhir, Dewi Kuntulsinanten masuk ke dalam diri Prabu Puntadewa. Kali ini ia merasa sangat nyaman dan cocok terhadap isi kalbu sang raja Amarta. Menurut pengamatannya, Prabu Puntadewa seorang jujur dan adil, mengutamakan kebenaran dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan. Prabu Puntadewa juga berani berkorban demi kebahagiaan banyak orang, serta merelakan penderitaan untuk ia tanggung sendiri.

Dewi Kuntulsinanten pun menerima Prabu Puntadewa sebagai suaminya, namun pernikahan mereka adalah pernikahan secara batin. Untuk selamanya, roh Dewi Kuntulsinanten menyatu di dalam diri Prabu Puntadewa dan tidak akan keluar lagi. Demikianlah, Dewi Kuntulsinanten yang berkulit putih kini bersatu jiwa dengan Prabu Puntadewa yang berdarah putih.


PARA PUTRA SLAGAHIMA MENJADI PATIH AMARTA DAN JODIPATI

Prabu Kresna dan Prabu Baladewa mengucapkan selamat atas terpilihnya sepupu mereka. Dulu mereka telah mendapatkan Wahyu Purbasejati, sehingga sudah sepantasnya jika Wahyu Purbalaras kini menjadi milik Prabu Puntadewa. Sebaliknya, Prabu Duryudana marah-marah dan mengamuk ingin memaksa Dewi Kuntulsinanten agar keluar dari dalam diri Prabu Puntadewa. Melihat itu, Arya Wrekodara segera bertindak menendang keluar sepupunya tersebut.

Prabu Duryudana pun memanggil para Kurawa agar membantu. Arya Dursasana, Raden Kartawarma, Adipati Jayadrata, dan yang lain segera maju. Arya Wrekodara segera menendang mereka satu persatu hingga semuanya lari tunggang langgang meninggalkan Kerajaan Slagahima.

Keadaan kini tenang kembali. Prabu Janinraja menerima takdir Yang Mahakuasa bahwa putri sulungnya harus bersatu jiwa dengan Prabu Puntadewa. Tidak hanya itu, Raden Tambakganggeng juga memohon izin agar diperbolehkan mengabdi kepada Prabu Puntadewa, agar dirinya selalu dekat dengan Dewi Kuntulsinanten. Prabu Janinraja pun mengizinkannya. Prabu Puntadewa lalu mengangkat Raden Tambakganggeng sebagai patih Kerajaan Amarta. Selama ini sejak pertama kali berdiri, Kerajaan Amarta belum memiliki seorang patih karena Prabu Puntadewa merangkap jabatan, di mana ia menangani langsung segala urusan pemerintahan negerinya.

Sementara itu, Raden Gagakbaka dan adik-adiknya juga ingin mengabdi kepada Arya Wrekodara yang telah berhasil mengalahkan mereka dalam sayembara. Prabu Janinraja pun mengizinkan putra-putranya itu apabila ingin ikut pindah ke Kerajaan Amarta, tepatnya di Kesatrian Jodipati. Namun, sebagian harus tetap tinggal di Kerajaan Slagahima. Tidak baik jika negara sampai kosong karena para pangerannya lebih memilih hidup di luar negeri.

Demikianlah, kedelapan putra Prabu Janinraja pun dibagi menjadi dua kelompok. Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, Raden Podangbinorehan, dan Raden Jangetkinatelon mengabdi kepada Arya Wrekodara di Kesatrian Jodipati, sedangkan Raden Dandanggaok, Raden Celengdemalung, Raden Cecakandon, dan Raden Menjanganketawang tetap tinggal di Kerajaan Slagahima bersama ayah mereka.

1 Comments

Previous Post Next Post

AdSense

Contact Form